HTI-Press. FGD Tokoh Intelektual yang diselenggarakan HTI Jabar bekerjasama dengan Lemlit UNPAD pada hari Senin (16/02) berjalan cukup hangat, mengingat tema yang dibahas menyangkut permasalahan yang sedang banyak diperbincangkan, yakni tentang Golput. Diskusi yang bertempat di Lemlit UNPAD, Jl. Cisangkuy No. 62 tersebut diantaranya dihadiri oleh politisi senior Tjetje Padmadinata, M.Si., Dr. Bahtiar Muin, Jend (Pur), Purnawirawan Polisi Nudin Rusli, Ketua Masyarakat Golput Zaky Mubarok, dan tokoh lainnya. Adapun prawacana diskusi disampaikan oleh Dr. Dede Mariana, Ketua KPU Jabar Ferry Kurnia Rizkiansyah, M.Si. dan Humas HTI Jabar Luthfi Afandi.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Ust. Ahmad Ponsen tersebut terungkap, bahwa faktor penyebab Golput sangatlah beragam. Menurut Dr. Dede Mariana, Golput bisa disebabkan karena faktor administratif, yakni karena banyak pemilih yang tidak terdaftar, tidak ada basis data kependudukan yang valid dan up to date dan tidak ada kewajiban untuk memberikan suara. Selain itu, menurut Dede, bisa juga karena faktor politis, yakni karena pilihan politik untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap parpol/calon yang ada, atau karena apatisme bahwa pemilu tidak akan berdampak signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan dan praktik pemerintahan yang lebih baik. Terakhir, menurut Dede, karena faktor ekonomi, yakni karena masyarakat lebih memilih bekerja dibanding datang ke TPS, terutama di kalangan pekerja yang memperoleh upah secara harian. Dalam konteks hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan, Dede Mariana menjelaskan bahwa demokrasi dan kesejahteraan tidak bersifat linier-kausalistik, melainkan nonlinier-kondisional yang melibatkan banyak faktor, seperti pengalaman sejarah, basis sosial, struktur masyarakat, tingkat pendidikan, penegakan hukum, kemantapan/kelenturan institusi politik.
Sementara itu, Ketua KPU Jabar, Ferry Kurnia R., M.Si menjelaskan, boleh jadi angka golput akan menurun di pemilu 2009 ini, karena sistem pemilu yang mengharuskan semua caleg turun gunung untuk meraih simpati masyarakat, termasuk keluarga terdekatnya. Menurutnya, –mengutip riset LSI—bahwa besarnya angka golput, bukan karena aspek politis atau ideologis, melainkan karena faktor administratif, yakni karena tidak terdaftar sebagai pemilih dan karena tidak tahu kalau namanya terdaftar sebagai pemilih. Sementara itu, Luthfi Afandi lebih menyoroti opini yang berkembang, yakni seolah rakyat yang disalahkan karena besarnya angka Golput. Rakyat tidak bisa disalahkan, ujarnya. Yang harusnya diperhatikan adalah faktor penyebabnya, yakni karena kegagalan demokrasi dalam menyejahterakan rakyat dan karena proses demokrasi tidak memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Lebih lanjut Luthfi menjelaskan, bahwa selamanya demokrasi hanya berada dalam dunia mitos. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, faktanya menurut Luthfi para kepala negara dan anggota parlemen negara-negara demokrasi, seperti AS dan Inggris sebenarnya bukan mewakili rakyat, melainkan mewakili kehendak kaum kapitalis yakni pemilik modal dan konglomerat. Demokrasi yang janjinya Pemerintahan Rakyat, faktanya tidak pernah terwujud, karena menurut Luthfi tidak mungkin seluruh rakyat yang memerintah, sehingga tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari partai politik, pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer. Luthfi memberikan contoh, tidak pernah terjadi dalam sejarah demokrasi perwakilan, anggota legislatif menanyakan satu persatu pendapat para pemilihnya. Janji demokrasi untuk kebebasan pun hanya mitos. Menurut Luthfi, kebebasan dalam demokrasi hanya diperbolehkan selama mendukung sekulerisme sebagai azas demokrasi, akan tetapi apabila mendukung azas syariat Islam, maka ia akan dihancurkan. Begitupun halnya dengan janji kesejahteraan. Kesejahteraan ketika memilih demokrasi hanyalah propaganda barat agar negara dunia ketiga menerapkan demokrasi, akan tetapi realitasnya demokrasi hanya memakmurkan negara-negara kapitalis, dan agen-agennya, itupun hasil mengeksploitasi dunia ketiga. Apalagi harapan stabilitas. Yang paling nyata adalah pilkada yang justru malah menumbuh konflik dan menyuburkan instabilitas.
Oleh karena itu, menurut Luthfi, karena kritik Islam terhadap demokrasi sangat mendasar dan juga karena demokrasi pasti pasti akan menjauhkan ummat dari syari’at, maka harus dimunculkan sistem yang lain untuk menggantikan demokrasi. Sistem itu, menurut Luthfi adalah Syari’at Islam dan Khilafah Islam. (Kantor Humas HTI Jabar)
Setuju dengan bang lutfi.. Harus dimunculkan sistem selain demokrasi, itulah khilafah..
WE WILL NOT GO DOWN!!!