Badan Cyber Tak Boleh Jadi Alat Memata-matai Rakyat

internetWacana pembentukan Badan Cyber Nasional (BCN) mulai menarik perhatian publik. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2014—2015 Tedjo Edhy Wibowo mengungkapkan hal tersebut ke publik pada bulan Maret 2015. Tedjo mengatakan bahwa BCN berfungsi melindungi seluruh institusi pemerintahan dari penyadapan, termasuk Presiden.

Menkopolhukam Luhut Pandjaitan yang menggantikan Tedjo pascaperombakan kabinet, menyatakan bahwa BCN merupakan salah satu prioritas utamanya selama menjabat. Dalam sebuah kesempatan, Luhut mengutarakan bahwa “Badan cyber ini super penting untuk kita”.

Pembicaraan BCN berjalan terus sepanjang tahun 2015 dan melibatkan kementerian lain seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Sekretariat Kabinet. Bahkan, sebagaimana yang dilansir ayobandung.com, pada 22 Juni 2015, Bappenas menyetujui penambahan anggaran persiapan pembentukan Badan Cyber Nasional di awal tahun 2016 sebesar Rp3 miliar.

Hingga awal September 2015, pembahasan BCN sudah memasuki tahap akhir. Kajian-kajian yang dihasilkan Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional (DK2ICN) sedang dibahas oleh tim khusus bentukan Kemenkopolhukam dan hasilnya akan dilaporkan pada Presiden Joko Widodo pada Oktober 2015. Ketua DK2ICN Marsekal Muda TNI Agus Ruchyan Barnas, yang juga menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kemenkopolhukam, mengemukakan bahwa BCN akan dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres).

Rencana Pemerintah untuk membentuk BCN kian mengusik perhatian publik. Sebab, beredar pemberitaan bahwa pembentukan Badan Cyber Nasional ini akan dilakukan melalui kerja sama dengan Amerika Serikat. Dengan begitu, Badan Cyber Nasional akan berkolaborasi dengan Central Intelligence Agency (CIA). Badan ini nanti kewenangannya juga bisa masuk ke wilayah privasi warga negara seperti yang dilakukan National Security Agency (NSA) di Amerika Serikat. Sistem itu dirumorkan bakal mampu menyadap pembicaraan pribadi di aplikasi WhatsApp, BlackBerry Messenger, dan program-program jejaring media sosial lainnya.

Meski isu tersebut telah dibantah oleh pemerintah melalui Menkopolhukam Luhut Pandjaitan juga Menkominfo Rudiantara, namun tetap saja kekhawatiran publik masih belum terjawab. Sebab, adanya kemungkinan intervensi dari lembaga intelijen Amerika dianggap sebagai hal yang bisa saja terjadi. Bahkan, kemungkinan penyadapanpun lebih besar, karena hampir semua perangkat yang digunakan oleh Indonesia masih menggunakan produk buatan asing.

Pengamat dari Indotelko Forum Doni Darwin mengatakan, jika campur tangan itu bisa saja ditiadakan. Namun, tetap tidak bisa mencegah kemungkinan adanya penyadapan pihak asing terhadap data siber di Indonesia. “Permasalahan penggunaan teknologi asing seharusnya bisa ditolak oleh pemerintah. Tapi, ya, kemungkinan disadap pasti adalah,” kata Doni kepada VIVA.co.id (25 /08).

Oleh sebab itu, kita perlu sama-sama mengawal dan mengawasi lembaga ini. Bila tidak, bisa terulang kerja sama pemerintah dengan pihak asing dalam melindungi data Indonesia. Contoh, sempat ramai diperbincangkan, tidak kerja dengan Singapura dalam implementasi e-government. Namun ternyata pemerintah, melalui Kemenpan, akhirnya juga kerja sama dengan Singapura.

Kerjasama dengan pihak asing seperti ini jelas merupakan perkara yang dilarang. Sebab hal terebut sama saja dengan memberi jalan kepada mereka untuk menguasi negeri kita melalui data, apalagi bila kerjasama itu dilakukan dengan Amerika. Dalam pandangan Islam, AS jelas merupakan negara kafir harbiy. Peperangannya melawan umat Islam demikian nyata di seluruh negeri-negeri kaum muslimin. Setiap upaya yang bisa memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin merupakan tindakan yang diharamkan. Allah SWT berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 141)

Mengenai hal ini, Ibnu Katsir berkata bahwa ulama telah menjadikan ayat ini sebagai dalil larangan menjual budak Muslim kepada orang kafir (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/386). Artinya, haram menjadikan seorang Muslim, sekalipun ia budak, ada di bawah kekuasaan orang kafir. Jika budak Muslim saja dilarang berada di bawah kekuasaan orang kafir, apalagi kaum muslim yang merdeka, bahkan kedaulatan negara, tentu lebih diharamkan lagi. Penggunaan huruf “lan” yang menunjukkan pengertian selamanya (lit ta’bîd) merupakan qarînah (indikasi) tentang larangan keras orang kafir menjadi penguasa atas kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 192; Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 22).

Terlebih jika terbukti nantinya menjadi alat pemerintah untuk memata-matai rakyat. Jelas hal itu merupakan tindakan yang diharamkan. Sebab hal itu merupakan tindakan Tajassus (memata-matai) yang dilarang, sesuai firman Allah SWT:

 

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prangsangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain)…” (TQS. Al Hujurat: 12)

Dalam hal penerapan larangan tajassus dalam ayat ini, para fuqaha membagi aktivitas tajasuss ini berdasarkan sasarannya. Jika yang menjadi sasaran adalah kaum muslimin, baik perorangan, kelompok, maupun Negara, maka  hukumnya  haram. Hal yang sama juga berlaku terhadap  Kafir  dzimmi,  yang menjadi rakyat Negara Islam, maka  hukumnya  juga  haram. Dalam menafsirkan ayat tadi, at-Thabari menukil pendapatnya Qatadah, ia bertanya, “Tahukah kamu apa itu tajassus? Tajassus itu adalah aktivitas Kamu memonitor dan mencari-cari aib saudaramu,  kemudian  kamu menelaah  rahasianya.”  (at-Tha-bari, Tafsir at-Thabari, Juz XXVI, hal. 85). Namun, jika yang menjadi sasaran adalah kafir harbi, baik yang secara  nyata  memerangi  kaum Muslim  (harbi  fi’lan),  maupun yang tidak (harbi hukman), maka hukumnya  mubah  bagi  kaum Muslim, dan wajib bagi Negara.

Kaum Muslim memata-matai pergerakan kaum kafir Quraisy saat perang Badar (Badr ad-Din al-‘Aini, ‘Umdatu  al-Qari,  Juz  II, hal.  24).  Dalam  kaidah  ushul dinyatakan, “Jika ada perbuatan yang diharamkan, kemudian dilanggar,  bahkan  diperintahkan oleh Nabi, maka perbuatan tersebut hukumnya wajib.” Karena itu, melakukan tajassus terhadap kafir harbi hukumnya wajib bagi negara. Namun, mubah bagi kaum Muslim  karena  Nabi  SAW memberikan pilihan kepada delapan personel lain, selain Abdullah bin Jahsy, untuk tetap bersamanya atau tidak.

Adapun tentang fakta kegiatan yang terkatagori sebabagai tindakan tajassus maka dapat dikembalikan kepada makna bahasanya. Dalam bahasa Arab, istilah tajassus mempunyai  konotasi “memata-matai”, melakukan spionase, dan “mencoba mendapatkan  informasi  tentang”  (Munir Ba’albakki, al-Maurid, kata “tajassus”). Oleh sebab itu, upaya mencari, memonitor,  memeriksa,  menyelidiki, mengeksplorasi, dan menyimpulkan informasi merupakan tindakan tajassus. Kegiatan tafahush al-akhbar disebut tajassus, ketika informasi  yang  ada,  baik  yang masih rahasia maupun terbuka, dikumpulkan, dimonitor, diperiksa, diselidiki untuk ditelaah, dan disimpulkan.  Kegiatan  mencari, memonitor, dan mengumpulkan informasi tidak disebut tajassus, jika  tidak  disertai  investigasi, telaah, dan penyimpulan. Sebagaimana  yang  dilakukan  oleh wartawan  (an-Nabhani,  as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, hal. 204).

Menurut Imam As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum Muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, Ibnu Mas’ud RA dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan, “Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi).” (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363)

Alhasil, berbagai perkara yang dikhawatirkan masyarakat dari terbentuknya Badan Cyber Nasional ini, khususnya yang menyangkut kerjasama dengan pihak asing dalam hal melindungi data Negara atau kemungkinan tindakan memata-matai rakyat sendiri, sejatinya adalah perkara-perkara yang merupakan tindakan yang diharamkan. Negara justru wajib mengarahkan tindak tajassus itu kepada Negara kafir harbiy yang jelas-jelas membahayakan negara dan rakyat. Walllahu a’alam. (Abu Muhtadi,Lc/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*