Penangkapan Ahmed Mohamed di Texas menyoroti melembaganya Islamophobia yang mengkahwatirkan di sekolah-sekolah AS.
Dengan mengenakan kaos NASA, Ahmed Mohamed berjalan menuju kelas sembilan pada hari Senin pagi. Dengan bangga, ia memegang jam yang dirakitnya secara hati-hati di rumah. Siswa Muslim Amerika berusia 14 tahun itu, dengan penuh semangat merakit, membongkar, dan memperbaiki radio, komputer, dan go-karts, dengan harapan mendapatkan pujian dari gurunya. Namun nahas, polisi Dallas malah dipanggil ke sekolah, tangan Ahmed lalu diborgol, dan siswa SMA itu dibawa polisi dari sekolahnya.
Sekolah itu secara rutin memberikan penghargaan atas inovasi, kreativitas, dan kerja keras. Akan tetapi, Mohamed adalah seorang Muslim, sehingga hal pertama yang ada di benak gurunya dan administrator sekolah adalah mengira jam digital buatan itu sebagai bom; dan kedua, menghubungkan keahlian elektroniknya untuk kegiatan teroris.
Lebih dari sekedar kasus kefanatikan individu atau kelalaian institusional, kasus Mohamed menunjukkan menyebarnya fanatisme anti-Muslim atau “Islamophobia”, ke dalam ruang yang paling formatif dan rentan dalam masyarakat Amerika—sekolah.
Islamophobia adalah psikosis orang Amerika yang menggoyahkan pandangan masyarakat dan kebijakan formal. Tetapi juga harus dipahami sebagai bentuk rasisme yang menembus sekolah-sekolah Amerika dan membahayakan para pemuda Muslim Amerika dalam ruang di mana diri, kecerdasan, dan kepintaran mereka seharusnya terjaga, bukan malah dihukum.
Pemuda Muslim Dikriminalkan
Kaum Muslim, baik secara politik maupun diskursif, sering dikaitkan dengan terorisme. Ancaman yang ditimbulkan oleh Muslim, bahkan ketika mereka terlibat dalam kegiatan berbahaya, menimbulkan rasa takut atau dicurigai menjadi ancaman keamanan nasional. Program-program kepolisian yang sudah dibuat, sebagai tambahan inisiatif baru yang seperti “Melawan Ekstrimisme Kekerasan” (CVE), menggambarkan bagaimana Islamophobia hanya merupakan persepsi berlebih masyarakat dan kesalahan persepsi terhadap Muslim, juga menjadi alat bagi para pejabat lokal.
Para pemuda Muslim Amerika tidak luput dari Islamofobia dan jaring kepolisian. Meskipun siswa tersebut sangat baik, tidak memiliki catatan kejahatan, catatan yang baik mengenai Mohamed langsung hilang karena dia adalah Muslim. Realitas palsu itu diberikan oleh bayangan sekolah akan ancaman teror, sehingga mengubah siswa yang dicintai menjadi seorang yang radikal. Ahmed juga orang Amerika asal Sudan, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa rasisme anti-kulit hitam saling tumpang tindih dengan Islamophobia sehingga melemparkannya menjadi orang yang mencurigakan dan mengancam.
Tentu saja, jika dia seorang siswa non-Muslim yang memiliki minat untuk memperbaiki alat-alat elektronik, yang memberikan kepada gurunya jam buatannya sendiri, tidak akan berakhir dengan diborgol. Namun, kenyataannya tidak demikian bagi siswa Muslim, yang diri, bakat, dan minatnya sangat rentan terhadap ketakutan irasional atas pengembangan intelektual dan pribadi mereka.
Antara Intimidasi dan Ketakutan
Selain dipolisikan dan profiling dari administrator sekolah, para siswa Muslim Amerika sering menjadi target bullying siswa lain. Ide-ide dan gambar-gambar yang menghubungkan kaum Muslim dengan “teroris”, “ekstrimis”, dan “subversif” menembus melintasi batas-batas sekolah, dan mempersenjatai para siswa dengan kebencian yang diarahkan pada teman-teman sekelas mereka yang Muslim.
Selain stereotip berbahaya ini telah dilebih-lebihkan di media berita dan film, para pemuda dan remaja menyerapnya pada tingkat yang semakin tinggi lewat saluran media sosial.
Dalam jajak pendapat tahun 2013, 50 persen siswa Muslim Amerika yang disurvey mengaku mereka mengalami intimidasi “karena agama mereka”. Ancaman bullying lebih mengancam bagi para siswa Muslim Amerika yang mengungkapkan agama mereka secara mencolok, terutama para gadis-gadis muda muslim yang berjilbab. Namun, 35 persen dari siswa yang disurvei menyatakan bahwa laporan mengenai bullying (bagi administrator sekolah) “tidak pernah, jarang, atau kadang-kadang” membantu. Hanya 17 persen yang menyatakan bahwa pelaporan itu “sering” atau “sangat sering” membantu. Hal ini menggambarkan rendahnya tingkat kepercayaan diri, dan sangat mungkin, keyakinan di antara para siswa Muslim di mana para administrator sekolah sendiri memiliki pandangan Islamophobia.
Antara teman-teman sekelas yang melakukan bullying dan kecurigaan administrator, para siswa Muslim Amerika terperangkap dalam dua front kebencian. Kebijakan dan bullying yang terjadi di wilayah di mana para siswa Muslim Amerika sangat diharapkan untuk mengembangkan keterampilan dan perspektif mereka untuk menjadi dewasa. Beberapa jam setelah insiden itu, Presiden Barack Obama turun tangan, dengan menegaskan misi inti pendidikan.
Mengajarkan Inferioritas
Bahaya yang ditimbulkan pada siswa Muslim Amerika, dari kedua belah pihak, menurunkan pertumbuhan mereka dalam jangka pendek. Namun juga, seperti yang ditunjukkan oleh “Study Test Doll” yang menjadi terkenal oleh kasus Brown v Dewan Pendidikan dari kasus Topeka, yang mengakhiri segregasi sekolah di AS, rasisme yang melembaga di sekolah-sekolah memunculkan rasa rendah diri yang kompleks dan rasisme internal di antara para siswa lainnya.
Terutama, hal ini berlaku bagi para siswa Muslim Amerika sekarang, yang menjadi korban karena agama, keluarga, dan penampilan fisik mereka pada setiap kesempatan. Hal ini sering ditampilkan pada dinding-dinding di ruang kelas mereka, di mana harga diri dan kepercayaan diri sama pentingnya dengan pelajaran membaca dan matematika.
Jika administrator sekolah dan teman-teman sekelasnya diajarkan untuk takut dan membenci kaum Muslim, pedagogi sosial ini secara bertahap dapat menginstruksikan para siswa Muslim Amerika untuk takut dan membenci diri mereka sendiri. [] (rz)
ditulis oleh Khaled A Beydoun, Asisten Profesor Hukum di Universitas Barry Dwayne O Andreas School of Law
Sumber: http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2015/09/150917075602963.html