[Al-Islam edisi 773, 11 Dzulhijjah 1436 H – 25 September 2015 M]
Hari ini (Jumat) kita berada pada awal Hari Tasyriq. Selain kemarin (Kamis) sebagai Hari Nahr, hari ini dan dua hari ke depan adalah hari-hari pensyariatan penyembelihan hewan kurban.
Idul Adha dan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban tahun ini berada di tengah situasi perekonomian yang makin sulit. Kurs rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Daya beli masyarakat terus menurun. Harga-harga berbagai kebutuhan terus naik. Beban ekonomi akibat inflasi makin tinggi. Pajak makin mencekik. Berbagai subsidi terus dikurangi bahkan dicabut. Pengangguran makin bertambah. Demikian seterusnya.
Meski perekonomian tengah sulit, semangat kaum Muslim untuk berkurban masih menggelora, padahal harga hewan kurban saat ini juga ikut naik. Hal ini tidak lain dilakukan semata-mata demi memenuhi seruan Allah SWT dan Rasulullah saw. Dengan kata lain, pengorbanan itu dilakukan untuk membuktikan ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Begitu pula dengan jutaan jamaah haji yang saat ini tengah melaksanakan manasik haji dengan melempar jumrah di Mina. Mereka rela mengorbankan harta yang tak sedikit. Mereka berpayah-payah meski tak sedikit dari mereka yang telah lanjut usia dan didera penyakit. Semua itu tidak lain semata-mata untuk memenuhi seruan Allah SWT.
Nabi Ibrahim as., istri beliau Hajar, dan putra beliau Ismail as., telah memberikan teladan pengorbanan paripurna dan ketaatan mutlak di sepanjang kehidupan mereka. Keteladanan mereka ini diabadikan oleh Allah SWT yang tercermin dalam tatacara manasik haji, syariat kurban dan Idul Adha. Setiap tahun, syariat haji, kurban dan Idul Adha memperbarui spirit dan tekad dalam diri kita untuk memberikan pengorbanan paripurna dan mewujudkan ketaatan mutlak itu secara nyata di tengah-tengah kehidupan kita.
Tentu, spirit pengorbanan paripurna dan ketaatan mutlak itu tidak boleh berhenti selama ibadah haji dan kurban saja. Spirit itu harus terus dipupuk dan diwujudkan secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan. Apalagi dalam kondisi memprihatinkan yang sedang dihadapi oleh kaum Muslim dan umat manusia saat ini.
Sebagaimana kita rasakan, saat ini dunia telah disesaki dengan ragam kezaliman, ketidakadilan, perampasan hak serta penghisapan darah, keringat dan harta manusia. Kaum Muslim di seluruh dunia dizalimi, dianiaya dan hak mereka dirampas; seperti yang terjadi di Myanmar, Eropa, beberapa negeri Afrika dan lainnya. Saat kaum Muslim menjadi mayoritas, mereka pun dizalimi oleh para penguasa mereka sendiri. Harta kekayaan mereka dirampok oleh para kapitalis dan pihak asing serta banyak disia-siakan dan dihambur-hamburkan oleh penguasa mereka. Penerapan berbagai kebijakan sekular kapitalistik oleh para penguasa kaum Muslim, termasuk di negeri ini, membuat kehidupan kaum Muslim makin memburuk. Krisis demi krisis terus mendera dan berulang makin cepat.
Pangkal dari semua itu adalah penyimpangan terhadap aturan Allah SWT dalam bentuk kemaksiatan sistemik melalui penerapan sistem dan ideologi sekular demokrasi kapitalis. Padahal Allah SWT telah jauh-jauh hari memperingatkan kita semua:
﴿ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴾
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Menurut Imam Ibnu Katsir, “berpaling dari peringatan-Ku” bermakna: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku (al-Quran), melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, V/323).
Allah SWT telah memperingatkan, bahwa Dia akan menimpakan sebagian akibat dari penyimpangan itu sebagai peringatan agar manusia segera kembali pada ketaatan kepada-Nya:
]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Oleh karena itu, untuk menghentikan segala bentuk kerusakan (fasâd) yang terjadi, maka langkah pertama adalah dengan segera menghilangkan faktor penyebabnya, yakni penerapan ideologi dan sistem sekular demokrasi kapitalis itu. Setelah itu ganti dengan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan (politik, pemerintahan, politik luar negeri, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya). Allah SWT tegas berfirman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan—baik di level individu, masyarakat maupun negara—tentu dibutuhkan institusi pelaksananya. Institusi tersebut tidak lain adalah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang berfungsi sebagai munaffidzah asy-syarî’ah (pelaksana syariah). Hanya dengan Khilafah, Islam dapat ditegakkan secara sempurna dan syariahnya dapat dilaksanakan secara menyeluruh.
Khilafah Rasyidah juga akan mewujudkan penjagaan dan perlindungan terhadap kaum Muslim dan siapapun yang menjadi rakyatnya. Dengan itu darah, kehormatan, harta dan hak-hak mereka akan terjaga. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nawawi, Imam/Khalifah merupakan benteng/tameng karena ia melindungi rakyat dari serangan musuh terhadap kaum Muslim, memelihara hubungan kaum Muslim satu sama lain dan menjaga kekayaan mereka.
Oleh karena itu, segera mewujudkan penegakan kembali Khilafah Rasyidah menjadi sangat mendesak saat ini. Itulah kunci agar Islam bisa tegak secara sempurna, syariahnya bisa Islam diterapkan secara menyeluruh, serta kaum Muslim dan seluruh rakyat yang bernaung di bawahnya bisa terjaga dan terlindungi. Imam al-Ghazali dalam bukunya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, menyatakan, “Agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Karena itu dikatakan, ‘Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga.’ Sesuatu tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang.”
Imam al-Amidi dalam bukunya, Ghâyah al-Marâm, juga menyatakan, “Mengangkat imam (khalifah) termasuk kemaslahatan paling penting untuk kaum Muslim dan pilar paling agung untuk agama. Hal itu menjadi wajib karena telah diketahui dengan wahyu bahwa yang demikian adalah maksud dari syariah dan bukan perkara yang mungkin dikatakan kewajibannya secara akal semata.”
Karena itulah, upaya mewujudkan Khilafah Rasyidah yang menerapkan syariah Islam secara kâffah harus menjadi agenda utama kaum Muslim.
Wahai Kaum Muslim:
Spirit pengorbanan paripurna dan ketaatan mutlak, sebagaimana tercermin dalam ibadah haji dan kurban, harus segera diwujudkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan dengan menerapkan syariah Islam untuk menghukumi semua urusan masyarakat. Itulah sesungguhnya karakter Mukmin sejati.
] إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [
Sesungguhnya jawaban kaum Mukmin itu, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi mereka, ialah mereka mengucapkan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung (TQS al-Nur [24]: 51).
Jika kini kita bersegera dan dengan ringan memenuhi perintah berkurban, padahal itu menurut jumhur fukaha hukumnya sunnah, maka semestinya kita lebih bersegera dan dengan lebih ringan menerapkan syariah Islam dan memutuskan perkara dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Sebab, menerapkan syariah Islam hukumnya wajib, dan itu hanya sempurna diwujudkan dengan penegakan Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
Sekaranglah saatnya kita menorehkan kemuliaan dengan berjuang sungguh-sungguh dan berkurban untuk menegakkan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah, yang akan menerapkan seluruh syariah Islam yang akan mendatangkan kerahmatan untuk umat manusia dan alam semesta. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Menurut Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, gini rasio yang menjadi indikator kesenjangan terus meningkat sejak 2002 hingga 2014. Saat ini, menurut dia, 20 persen penduduk teratas atau penduduk kelas atas menguasai hampir 50 persen konsumsi perekonomian Indonesia. Sebaliknya, 40 persen penduduk terbawah atau kelas bawah hanya menguasai 20 persen konsumsi perekonomian. Puan juga menyebutkan jumlah penduduk yang menganggur saat ini diperkirakan mencapai 7,2 juta jiwa. Namun, lanjut dia, kurang lebih 40 juta penduduk lainnya masih atau sedang akan mencari pekerjaan yang lebih layak (Kompas.com, 21/9/2015).
- Ingat, semua itu akibat nyata dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Karena itu tidak layak sistem seperti itu terus dipertahankan dan diterapkan.
- Sebelum terlambat, segera tinggalkan sistem kapitalisme dan ganti dengan sistem Islam, niscaya perekonomian yang diliputi pemerataan, keadilan dan keejahteraan akan benar-benar terwuju