Di tengah kabut perselisihan AS-Rusia tentang pengaturan pertemuan yang rencananya akan fokus pada krisis Suriah, maka pada hari Senin besok akan digelar KTT dua presiden: Barack Obama dan Vladimir Putin di New York. Sebelumnya, Gedung Putih mengatakan bahwa Rusia meminta dan mendesak agar Obama menerima untuk menggelar KTT dengan Putin. Sementara Kremlin meresponnya dengan mengatakan bahwa sebenarnya Amerika yang meminta untuk menggelar pertemuan, dan apa yang mereka katakan mengenai pengaturan KTT adalah “penyesatan”. Semua tahu bahwa presiden Amerika menolak pertemuan dengan Putin sejak pertemuan terakhir mereka pada bulan Juni 2013 di Irlandia Utara. Dalam hal ini, tampaknya Obama berpura-pura marah terkait kebijakan Moskow mengenai Ukraina, dan khususnya Suriah.
KTT AS-Rusia ini dilakukan di tengah bayang-bayang pengumuman banyak negara “yang pura-pura mendukung revolusi Syam” menyusul perubahan sikapnya terhadap masa depan Assad, setelah pernyataan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang menunjukkan sikap “fleksibilitas” tentang masa depan Bashar Assad.
Sementara itu, meski juru bicara Kementerian Luar Negeri Perancis, Romain Nadal mencoba untuk mengurangi penurunan sikap Perancis tentang masalah ini, di mana ia mengatakan bahwa pertemuan di Paris antara Menteri Luar Negeri Laurent Fabius, Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond, dan Menteri Luar Negeri Jerman Frank Walter Steinmeier, juga dihadiri perwakilan Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri yang diwakili oleh Frederica Mogherini “menunjukkan kesesuaian yang luas seputar transisi politik, yang merupakan satu-satunya cara untuk mencapai solusi krisis Suriah”. Namun ia menegaskan bahwa transisi politik adalah “satu-satunya yang bisa mengakhiri kekacauan”, dan “jika Assad adalah elemen dari solusi, tentu kami telah melihatnya sejak empat tahun lalu”. Sementara fakta menunjukkan bahwa “keberadaannya justru memperburuk krisis, sehingga lengsernya adalah bagian dari solusi”. Dan itulah sikap Perancis sebenarnya yang dikenal pemalu, yang sekarang berusaha untuk menggabungkan semua kontradiksi dalam masalah ini, dimana ia ingin dari sikapnya ini untuk mendapatkan sedikit kredibilitas dari mereka yang tertipu oleh penjajahan gaya lama.
Sikap Eropa saat ini, yang bisa digambarkan sebagai sikap yang plin-plan dijelaskan oleh Hammond Menteri Luar Negeri Inggris, yang mengatakan dalam sebuah wawancara: “Assad harus lengser, dan ia tidak mungkin menjadi bagian dari masa depan Suriah.” Namun ia menambahkan: “Adalah penting berbicara dengan Assad sebagai pihak dalam proses ini, jika kita mencapai kesepakatan mengenai otoritas transisi, maka Assad merupakan bagian dari solusi itu.” Ini merupakan sikap naif hanya untuk menyenangkan Amerika, yang dari awal telah menginginkan untuk mempertahankan anteknya, Bashar Assad, ketika mencoba untuk menipu rakyat Suriah. Padahal mengalahkan revolusi Syam dan mencegah lepasnya umat Islam dari ketergantungan pada kaum kafir penjajah merupakan tujuan yang telah disepakati oleh semua negara besar: Amerika, Rusia dan negara-negara Eropa, seperti Inggris, Perancis dan Jerman ; … ketika mobilitas militer Rusia terus merapat di pantai, di mana telah mendarat setidaknya 15 pesawat kargo Rusia yang mengangkut “peralatan dan orang”dalam waktu dua minggu di pangkalan militer Humaimam, di bandara Basil al-Assad, di provinsi Lattakia, dalam rangka Moskow memperkuat kehadirannya di Suriah, seperti yang dikatakan oleh sumber militer Suriah.
Sementara surat kabar Al-Quds Al-Arabi (18/9) melaporkan bahwa tampaknya segala sesuatu yang terjadi seperti dukungan militer Rusia yang terbuka pada Damaskus muncul di tengah kesepakatan AS-Rusia, dan kepuasan Eropa, pada saat dimana ibukota-ibukota Eropa menunjukkan fleksibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pidato para pemimpinnya terhadap Presiden Suriah Bashar Assad, terutama Jerman, Inggris dan Spanyol, yang menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak keberatan dengan peran Assad di fase berikutnya.
Al-Quds Al-Arabi juga melaporkan bahwa para intelijen negara-negara Eropa memberitahu kepemimpinan Suriah tentang keinginannya untuk kerjasama jangka panjang dengan Damaskus dalam rangka memerangi organisasi negara (ISIS) (kantor berita HT, 29/9/2015).