بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
Apakah Bid’ah itu dan Batasannya?
Dan Apa Perbedaan Bid’ah dengan “Orang Yang Mencontohkan Contoh yang Baik”
Kepada Radwan Yusuf
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Pertanyaan saya, saya berharap Amir menjawabnya dan pertanyaan saya itu penting sekali. Apa itu bid’ah dan apa batasannya? Apa perbedaan antara bid’ah dengan orang yang mencontohkan contoh yang baik (man sanna sunnatan hasanah)? Apakah tidak adanya Rasul saw mencontohkan sesuatu bisa dinilai sebagai dalil syar’iy yang sah untuk beristidlal? Banyak kami berdiskusi dengan beberapa jamaah, dia mengatakan kepada Anda, itu bid’ah, Nabi saw tidak melakukannya. Pertanyaan tersebut penting. Barakallah fikum. Saya ingin mendapat penjelasan dan saya berharap di dalam jawaban ada contoh-contoh sehingga mudah bagi kami memahaminya.
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Sebelumnya kami telah mengeluarkan jawaban pertanyaan seputar topik bid’ah pada tanggal 18/9/2009. Kemudian kami telah melansir jawaban untuk pertanyaan salah seorang Ikhwah di facebook seputar bid’ah pada tanggal 6/6/2015. Anda bisa merujuk kepada dua jawaban itu… Akan tetapi saya akan menghimpun untuk Anda apa yang mengandung kecukupan untuk pertanyaan Anda, in sya’a Allah:
- Bid’ah adalah menyalahi perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan tatacara penunaiannya … Ini adalah makna yang ditunjukkan oleh hadits:
«وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ» [البخاري ومسلم]
“Dan siapa saja yang melaksanakan perbuatan yang tidak ada perintah (ketentuan) kami maka tertolak.” (HR Muslim)
Jika Rasul melaksanakan suatu perbuatan yang menjelaskan tatacara menunaikan perintah yang ada di dalam al-Kitab atau as-Sunnah kemudian Anda menunaikan perintah itu berbeda dengan perbuatan Rasul saw maka Anda telah mendatangkan bid’ah dan bid’ah itu adalah sesat dan di situ ada dosa besar:
- Misalnya, Allah SWT berfirman:
﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾
“Dan tunaikanlah shalat.” (TQS al-Baqarah [2]: 110)
Ini adalah redaksi perintah. Akan tetapi, manusia tidak dibiarkan untuk shalat seperti yang dia inginkan. Akan tetapi, Rasul saw menjelaskan dengan perbuatan beliau, tatacara menunaikan shalat, mulai takbiratul ihram, berdiri, membaca, ruku’, sujud … Abu Dawud telah mengeluarkan dari Ali bin Yahya bin Khalad dari pamannya… Nabi saw bersabda:
«إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ، فَيَضَعَ الْوُضُوءَ – يَعْنِي مَوَاضِعَهُ – ثُمَّ يُكَبِّرُ، وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ، وَيُثْنِي عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيُكَبِّرُ…»
“Sungguh tidak sempurna shalat seseorang hingga dia berwudhu, lalu ia meletakkan wudhu –yakni tempat-tempatnya- kemudian dia bertakbir dan memuji Allah jalla wa ‘azza dan menyanjung Allah, dan membaca apa yang mudah dia baca dari al-Quran, kemudian dia mengatakan: Allahu akbar, kemudian dia ruku’ sehingga sendi-sendinya tenang, kemudian dia berkata: sami’allahu liman hamidah –Allah mendengar orang yang memujiNya- sehingga ia tegak berdiri. Kemudian dia berkata: Allahu akbar, kemudian bersujud sehingga sendi-sendinya tenang. Kemudian dia berkata: Allahu akbar, kemudian dia mengangkat kepalanya sehingga dia duduk tegak. Kemudian dia berkata: Allahu akbar, kemudian bersujud sehingga sendi-sendinya tenang. Kemudian dia mengangkat kepalanya lalu bertakbir …”
Maka siapa yang menyalahi tatacara ini maka dia telah mendatangkan bid’ah. Siapa yang bersujud tiga kali sujud dan bukan dua sujud maka dia telah mendatangkan bid’ah dan itu sesat…
- Misalnya, Allah SWT berfirman:
﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ﴾
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah …” (TQS Ali ‘Imran [3]: 97)
Ini adalah redaksi perintah mengerjakan haji, “berita bermakna tuntutan”. Demikian juga Rasul saw menjelaskan dengan perbuatan beliau tatacara menunaikan haji … Al-Bukhari telah mengeluarkan dari az-Zuhri:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا»
“Rasulullah saw jika melempar jamrah yang menyertai Mina, beliau melemparnya tujuh kerikil, beliau bertakbir setiap kali melempar satu kerikil, kemudian beliau maju ke depannya dan beliau berdiri menghadap kiblat, beliau mengangkat kedua tangan beliau dan berdoa, beliau memperpanjang berdiri, kemudian beliau mendatangi Jamrah kedua, dan beliau melemparnya sebanyak tujuh kerikil, beliau bertakbir setiap kali melempar satu kerikil, kemudian bergerak ke arah kiri setelah lembah, beliau berdiri menghadap kiblat seraya mengangkat kedua tangan dan berdoa, kemudian beliau mendatangi jamrah yang ada di ‘aqabah, dan beliau melempar tujuh kerikil, beliau bertakbir setiap kali melempar kerikil, kemudian beliau pergi dan tidak berdiri di situ.”
Siapa yang menyalahi tatacara ini dengan melempar delapan kerikil dan bukannya tujuh kerikil maka ia telah mendatangkan bid’ah.
Begitulah, banyak ibadah telah Rasul jelaskan melalui perbuatan beliau tatacara penunaiannya. Maka siapa yang menyalahi perbuatan Rasul dalam menunaikannya maka ia telah mendatangkan bid’ah, dan bid’ah itu sesat dan di dalamnya ada dosa besar.
- Ini berarti bahwa bid’ah terjadi dalam menyalahi perbuatan yang telah dijelaskan oleh Rasul saw. Adapun melakukan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasul saw dan tidak dinyatakan tatacara penunaiannya maka itu jatuh dalam bab hukum-hukum syara’ berupa khithab at-taklif atau khithab al-wadh’i. Rasul saw sujud dua kali sujud sedangkan Anda sujud tiga kali sujud maka Anda telah mendatangkan bid’ah. Sebab Rasul saw bersujud dua kali sujud sedangkan Anda bersujud tiga kali sujud menyalahi perbuatan Rasul saw tersebut. Adapun jika Anda melakukan suatu perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasul saw seperti mengendarai mobil sementara Rasul saw tidak mengendarai mobil maka tidak dikatakan bahwa Anda mendatangkan bid’ah, akan tetapi dikaji perbuatan itu sesuai hukum-hukum syara’. Maka dikatakan, mengendarai mobil adalah mubah, begitulah…
- Menyalahi perintah asy-Syâri’ yang tidak dinyatakan tatacara penunaiannya, akan tetapi dinyatakan secara umum atau mutlak, maka tidak jatuh dalam bab bid’ah, akan tetapi dalam bab hukum-hukum syara’. Sehingga dikatakan tentangnya “haram atau makruh…” Jika itu berupa khithab at-taklif. Atau dikatakan “batil atau fasid …” jika berupa khithab wadh’i. Hal itu sesuai qarinah yang menyertai:
- Misalnya, sabda Rasul saw:
«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ» [أخرجه البخاري]
“Siapa saja yang melakukan salaf (salam) pada sesuatu maka dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas.” (HR al-Bukhari)
Di sini, Rasul memerintahkan salaf (salam) dengan redaksi kalimat syarat. Rasul memerintahkan agar seorang melakukan salam itu dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan tempo yang jelas. Akan tetapi, asy-Syâri’ tidak menjelaskan tatacara proses pelaksanaannya, seperti dua orang yang berakad itu berdiri berhadapan, membaca sesuatu dari al-Quran, kemudian melangkah ke depan satu langkah, dan saling berjabat tangan kemudian saling menyeru dalam topik salam… Setelah itu sempurna berlangsung ijab dan qabul … Perkaranya tidak demikian. Asy-Syâri’ tidak menjelaskan proses pelaksanaan itu, akan tetapi asy-Syâr’ membiarkan secara umum sesuai kesepakatan keduanya. Karena itu, jika orang melakukan salaf ‘yakni mengakadkan akad salam” menyalahi perintah asy-Syâri’, yakni tanpa takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan tempo yang jelas, tidak dikatakan ia telah mendatangkan bid’ah, melainkan dikatakan bahwa akad ini menyalahi ketentuan asy-Syâri’, akad tersebut batil atau fasid sesuai jenis penyimpangan tersebut.
- Misalnya, imam Muslim mengeluarkan dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw:
«يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ، عَيْنًا بِعَيْنٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ ازْدَادَ، فَقَدْ أَرْبَى»
“Beliau melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali sama, barangnya dengan barangnya, maka siapa yang menambah atau meminta tambah, sungguh ia telah berbuat riba.”
Seandainya seorang Muslim menyalahi hadits ini lalu emas dijual dengan emas dengan tambahan, tidak sama timbangannya, maka tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah, akan tetapi dikatakan bahwa ia telah melakukan keharaman yakni riba… Hal itu karena di dalamnya beliau tidak menjelaskan proses pelaksanaan seperti yang telah kami jelaskan, akan tetapi hal itu dibiarkan secara umum sesuai kesepakatan keduanya.
- Misalnya, Rasul saw bersabda:
«فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ» [البخاري]
“Maka utamakan yang memiliki (kebaikan) agama niscaya selamat tanganmu.” (HR al-Bukhari)
Siapa saja yang menikahi wanita yang tidak memiliki kebaikan agama, tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah. Akan tetapi dikaji hukum syara’ menikahi wanita yang tidak memiliki kebaikan agama. Hal itu karena syara’ tidak menjelaskan langkah-langkah praktis dalam memilih, misalnya orang yang mengkhitbah berdiri di depan wanita itu dan membaca ayat kursi, kemudian maju satu langkah dan membaca surat al-Falaq dan an-Nas, kemudian maju satu langkah dan membaca basmalah, kemudian mengulurkan tangan kanannya dan menyampaikan khitbah… Akan tetapi, perkara itu dibiarkan sesuai syarat-syarat in’iqad dan syarat-syarat sah. Dengan begitu, kajian penyimpangan itu ada dalam bab hukum syara’ dan bukan dalam bab bid’ah.
Hal itu ditegaskan oleh apa yang dinyatakan di dalam hadits-hadits yang mulia, berupa penyifatan semisal penyimpangan ini dengan hukum syara’ dan bukan dengan penyifatan bid’ah:
- Dari Ummul Mukminin Aisyah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ …»
“Wanita siapa saja yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil…” (HR Ibnu Majah)
Di sini, pernikahan tanpa wali disifati dengan batil, dan bukan bid’ah.
- Dari Abu Sa’id al-Khudzri dalam hadits al-adhahiy
«… وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ…»
“… dan semua yang memabukkan adalah haram…” (HR Malik)
Di sini disebutkan bahwa sesuatu yang memabukkan adalah haram dan tidak disebutkan bid’ah.
- Dan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa Rasulullah saw bersabda:
«أَكْلُ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ حَرَامٌ»
“Memakan hewan buas yang memiliki taring adalah haram.” (HR Malik)
Di sini disebutkan bahwa itu adalah haram, dan bukan bid’ah.
- Dari Abdullah bin Zurair yakni al-Ghafiqiy bahwa ia mendengar Ali bin Abi Thalib ra berkata, bahwa Rasulullah saw:
«أَخَذَ حَرِيرًا فَجَعَلَهُ فِي يَمِينِهِ وَأَخَذَ ذَهَبًا فَجَعَلَهُ فِي شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي»
“Rasulullah saw mengambil sutera dan beliau letakkan di sebelah kanan beliau dan beliau mengambil emas dan beliau letakkan di sebelah kiri beliau, kemudian berliau bersabda: “sesungguhnya dua barang ini adalah haram atas laki-laki umatku”. (HR Abu Dawud)
Di sini penyimpangan itu disifati dengan haram.
Begitulah, sebagian besar, jika bukan semua, muamalah dan akad, adalah bersifat umum atau mutlak sesuai syarat-syarat sah dan syarat-syarat in’iqad yang dinyatakan di dalam syara’. Di dalamya tidak ada langkah-langkah implementatif untuk menunaikan sebagaimana dalam banyak dari ibadah. Karena itu, penyimpangan dalam muamalah dan akad-akad pada galibnya ada dalam bab hukum-hukum syara’ dan bukan dalam bab bid’ah.
- Ringkasnya:
- Menyalahi tatacara yang dilakukan oleh Rasul dalam menunaikan perintah dari al-Kitab dan as-Sunnah, penyimpangan ini menjadi bid’ah, dan di dalamnya ada dosa besar. Dan perkara tersebut wajib ditunaikan sebagaimana Rasul menunaikannya dengan perbuatan beliau.
- Adapun jika Rasul tidak melakukan suatu perbuatan sementara Anda melakukannya, maka pembahasannya dalam bab hukum-hukum syara’ dari sisi khithab at-taklif atau khithab al-wadh’i, dan berikutnya jelaslah hukum syara’ tentangnya apakah fardhu, mandub, mubah, makruh atau haram… ataukah batil, fasid, …
- Adapun menyalahi ketentuan asy-Syari’ yang bersifat mutlak atau umum yang asy-Syâri’ tidak menjelaskan tatacara penunaiannya, penyimpangan ini ada di bawah hukum-hukum syara’ “at-taklif –haram, makruh…” atau “al-wadh’i –batil, fasad …”
- Adapun pertanyaan Anda tentang “siapa yang mencontohkan contoh yang baik –man sanna sunnatan hasanatan-“…, maka ini adalah topik lain. Itu artinya bahwa siapa yang lebih dahulu menunaikan apa yang diperintahkan oleh syara’ lalu hal itu mendorong orang lain dan mengikutinya, maka ia mendapatkan pahala semisal pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun… dan siapa yang lebih dahulu melakukan apa yang dilarang oleh syara’ lalu mendorong orang lain dan mengikutinya, maka ia mendapat dosa semisal dosa mereka tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. Dalil hal itu adalah:
- Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: orang-orang arab baduwi datang kepada Rasul saw, dan mereka memakai pakaian tebal dan kasar maka beliau melihat buruknya kondisi mereka dimana kebutuhan telah menimpa mereka. Maka Beliau mendorong orang-orang untuk bersedekah. Mereka lambat sehingga terlihat hal itu dalam wajah beliau. Jarir berkata: kemudian seorang laki-laki dari Anshar datang dengan membawa dirham, kemudian datang yang lain, kemudian berturut-turut sehingga diketahui kebahagiaan di wajah beliau. Maka Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»
“Siapa yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang baik, lalu dilakukan setelahnya karena contohnya itu, dituliskan untuknya semisal pahala orang lain yang melakukannya, dan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa saja yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang buruk, lalu dilakukan setelahnya karenanya, dituliskan atasnya semisal dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Jelas dari hadits ini bahwa mereka lambat bersedekah, kemudian seorang laki-laki dari Anshar bersegera bersedekah dan diikuti oleh orang lain sehingga diketahui kebahagiaan di wajah Rasul saw.
Saya berharap ini telah cukup , dengan izin Allah.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
8 Dzulhijjah 1436 H
22 September 2015 M
http://hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3637
https://www.facebook.com/Ata.abualrashtah/photos/a.154439224724163.1073741827.154433208058098/496926557142093/?type=1&theater