Pemimpin Barisan Nasional Prancis, Marine Le Pen, hadir di pengadilan Lyon untuk menghadapi dakwaan memicu kebencian rasial karena menyamakan umat Islam yang sembahyang di jalan dengan pendudukan Nazi.
Dia menyampaikan komentar itu dalam sebuah pawai di Lyon pada tahun 2010, ketika berjuang untuk merebut kepempinan di partai beraliran politik kanan tersebut.
Di luar ruang sidang, Selasa (20/10), Marine Le Pen menegaskan dia tidak melakukan kesalahan dan mempertanyakan waktu pengadilan.
“Kita satu bulan lagi dari pemilihan daerah dan masalah ini berasal dari lima tahun lalu,” tuturnya kepada para wartawan.
Jika terbukti bersalah maka dia terancam hukuman maksimal satu tahun penjara dan denda €45.000 atau sekitar Rp615 juta.
Dukungan meningkat
Pesan-pesan Lepen yang antiimigrasi dan anti-Uni Eropa belakangan ini tampaknya menarik dukungan yang lebih banyak di Prancis.
Partainya diperkirakan akan meraih kemenangan di dua wilayah Prancis dalam pemilihan lokal Desember mendatang.
Kekhwatiran akan meningkatnya Barisan Nasional Prancis ini sampai memicu Presiden Francois Hollande memperingatkan bahwa Prancis tidak akan mengambil risiko mendukung politik esktrem kanan.
“Jangan bermain dengan cara memilih hanya untuk menyampaikan pesan, hanya karena tidak senang dan marah,” jelasnya dalam sebuah wawancara radio.
Marine Le Pen memimpin Barisan Nasional sejak tahun 2011 dan sejak saat itu berupaya untuk membawa partai menjauh dari citra masa lalunya yang rasis dan anti-Semitisme.
Komentar yang disampaikannya tahun 2010 lalu itu merujuk pada umat Islam yang bersembahyang Jumat di jalanan karena tidak mendapat tempat lagi di dalam masjid.
Namun setelah protes dari masyarakat, sembahyang di jalanan sudah dilarang sejak 2011. (bbc.com, 20/10/2015)