[Al-Islam edisi 778, 17 Muharram 1437 H – 30 Oktober 2015 M]
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebaran asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan terus meluas. Berdasarkan pantauan satelit Himawari dari BMKG pada Ahad (25/10) pukul 08.30 WIB terdeteksi lebih dari tiga perempat wilayah Indonesia tertutup asap (Bijaks.net, 26/10).
Jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) juga makin banyak. Data BNPB, hingga 23 Oktober 2015, sebanyak 900.862 jiwa warga di Sumatera dan Kalimantan telah terpapar serangan ISPA.
Menurut peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo (BBC Indonesia, 27/10), dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp 200 trilliun. Hitungan itu didasarkan pada angka kerugian pada tahun 1997 ditambah dengan kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura. Hitungan itu masih sangat kasar dilihat dari kerugian ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa dan juga penerbangan.
Para Kapitalis Rakus
Kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang tiap tahun pada dasarnya akibat dari kerakusan para kapitalis lokal, nasional bahkan global. Kerakusan itu bersekongkol dengan nafsu jabatan dan kekuasaan.
Peneliti CIFOR, Herry Purnomo, mengungkapkan (Rappler.com, 4/9/2015), “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya, membuka lahan perkebunan.”
Menurut Herry Purnomo, pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit sekaligus mendongkrak harga lahan. Biaya lahan yang dibakar hanya $10-20 perhektar, sementara lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 perhektar (BBC Indonesia, 24/9).
Di luar masyarakat yang menderita kerugian akibat kabut asap, sekelompok orang justru menikmati hasil dari kebakaran hutan. Mereka adalah orang pengejar keuntungan ekonomi dari pembakaran seperti kelompok tani, pengklaim lahan, perantara penjual lahan dan investor sawit. Investor sawit ini adalah para kapitalis tingkat lokal, nasional, regional maupun global; perorangan maupun perusahaan.
Persekongkolan Jahat
Kebakaran lahan dan hutan terjadi terus berulang dan makin rumit di antaranya akibat persekongkolan jahat para kapitalis dengan elit politik, politisi dan penguasa. Indikasinya, setiap kali mendekati Pilkada dan Pemilu terjadi obral penguasaan lahan. Pengusaan lahan ditengarai dijadikan cara mengumpulkan modal politik dan imbalan kepada para pendukung khususnya para cukong. Hubungan itu juga diisyaratkan dari hasil penelitian tentang ‘Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan’ dari peneliti CIFOR, Herry Purnomo. Hasil penelitian itu mengungkap, kebakaran lahan dan hutan marak terjadi dan berulang setiap kali mendekati Pilkada dan Pemilu.
Hasil penelitian Herry Purnomo mengungkap fakta dan kesimpulan (BBC Indonesia, 24/10), ada sekitar 20 aktor yang terlibat di lapangan dan mendapat keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan dan lahan. Sebagian besar dari jaringan kepentingan dan aktor yang mendapat keuntungan ekonomi ini menyulitkan langkah penegakan hukum. Aksi Pemerintah memenjarakan atau menuntut individu serta perusahaan yang diduga membakar lahan tak akan cukup untuk mencegah kabut asap berulang. Kerumitan di lapangan terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun kelas-kelas menengah dan perusahaan, selalu berhubungan dengan orang-orang kuat mulai tingkat kabupaten, nasional, bahkan sampai tingkat ASEAN.
Pemerintah Gagap, Sistem Gagal
Bencana asap ini berulang terjadi tiap tahun sehingga seharusnya sudah bisa diantisipasi dan dicegah oleh Pemerintah. Nyatanya, Pemerintah tetap saja gagap; tak ada kebijakan dan tindakan cepat dan tanggap serta minim ketegasan.
Hal itu diperparah oleh penanganan kebakaran lahan dan hutan yang masih menggunakan pendekatan sektoral. Penanganannya hanya mengandalkan koordinasi, di antaranya oleh BNPB. Tentu itu tidak bisa maksimal dalam mengerahkan sumberdaya serta untuk melibatkan dan menggerakkan struktur pemerintahan dan semua sektor.
Adanya ego daerah akibat sistem politik dan otonomi daerah yang kebablasan makin menyulitkan. Program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak berjalan efektif di daerah. Contohnya, pembangunan sekat kanal. Dana sudah disiapkan melalui pos BNPB hingga Rp 15 miliar, tetapi tak kunjung digunakan dan terkesan dipersulit oleh Pemda. Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, pihaknya telah berkali-kali mendorong Pemda untuk membangun sekat kanal. “Harusnya sudah sejak 1 Juni dilaksanakan, tetapi Pemda tidak mau…,” ujar Siti (Republika.co.id, 30/8).
Kepemimpinan yang kuat dari seorang kepala negaralah yang bisa mengatasi problem sektoral sehingga semua sektor bergerak bersama, harmonis dan maksimal. Struktur pemerintahan hingga yang terendah juga bisa digerakkan. Semua sumberdaya yang dibutuhkan juga bisa dikerahkan. Sayang, hingga kini hal itu belum terlihat. Penanganan baru dikomandoi oleh Menko Polhukam. Itu pun baru satu minggu ini.
Solusi Total
Solusi total dan tuntas untuk menangani dan mengatasi persoalan ini pada dasarnya ada yang jangka pendek dan jangka panjang. Yang jangka pendek dan segera di antaranya: Pertama, menghentikan kebakaran lahan dan hutan yang menjadi sumber kabut asap. Berbagai cara yang sudah dilakukan seperti water bombing, hujan buatan, pemadaman darat, pembuatan sekat kanal, pembuatan sumur, penyekatan area, dan sebagainya harus terus dilakukan dan digencarkan. Struktur pemerintahan hingga paling bawah mestinya bisa digerakkan. Masyarakat juga bisa digerakkan secara besar-besaran. Untuk itu, mereka bisa diberi honor sebagai pengganti atau kompensasi waktu dan tenaga mereka. Pemilik lahan perorangan dan perusahaan mesti dipaksa ikut memadamkan api secara maksimal.
Kedua, memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan kepada korban kabut asap secara gratis dan besar-besaran, sebab jumlah korban sangat besar dan cakupan wilayahnya sangat luas. Untuk itu juga semua struktur dan sumberdaya harus digerakkan. Keterlibatan masyarakat bisa dimaksimalkan. Perlu juga dipikirkan pemberian ganti kerugian kapada masyarakat terdampak.
Dana untuk hal pertama dan kedua ini bisa dikeluarkan dari APBN sampai mencukupi tanpa dibatasi, sebab ini berkaitan dengan nasib rakyat. Dana itu juga bisa ditagihkan kepada pelaku pembakaran dan penguasa lahan baik perorangan maupun perusahaan sebab mereka langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Ketiga, penindakan hukum secara tegas terhadap para pelaku pembakaran dan siapa saja yang terlibat. Ini harus dilakukan secara tegas dan tanpa pilih kasih. Bukan hanya yang kecil yang ditindak, tetapi juga yang besar. Selama ini masyarakat melihat, penindakan baru menyentuh yang kecil, sementara yang besar dibiarkan.
Untuk jangka panjang harus diadakan infrastruktur untuk mencegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan; baik berupa pembuatan kanal, penghutanan kembali, pembuatan sumur sumber hidran, embung, tata ruang dan lahan, termasuk mungkin pembelian pesawat water bombing yang diperlukan.
Lebih dari itu, kebakaran terjadi karena adanya UU dan peraturan yang membenarkan hal itu. Ada pula peraturan yang membenarkan pemberian konsesi sangat luas sampai ratusan ribu hektar kepada swasta. Padahal penguasaan lahan yang sangat luas itu menjadi salah satu akar masalah kebakaran hutan. Selain itu, seperti disinggung di atas, maraknya kebakaran lahan ada kaitannya dengan sistem politik demokrasi yang sarat biaya. Politisi dan penguasa di antaranya mengumpulkan dana politik dengan pemberian penguasaan lahan. Semua itu harus dicabut dan diganti. Itulah problem sistem dan peraturan perundangan, yang justru menjadi akar masalah kebakaran lahan dan kabut asap. Karena itu sistem dan peraturan itu harus dicabut dan diubah.
Wahai Kaum Muslim:
Bencana kabut asap hanyalah salah satu problem di antara banyak problem yang melanda bangsa dan negeri ini. Semua ini mestinya membuka mata, pikiran dan hati kita bahwa itu adalah akibat penyimpangan terhadap hukum Allah SWT dalam bentuk penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme yang rusak. Karena itu diperlukan solusi total dan tuntas. Caranya tidak lain adalah dengan mengganti sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi biang masalahnya menjadi sistem politik dan sistem ekonomi Islam. Dengan kata lain, solusi total dan tuntasnya adalah dengan kembali ke ketaatan kepada Allah SWT; kembali pada sistem dan hukum Islam dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Bersiaplah melihat tagihan listrik membengkak tahun depan. Pemerintah dan DPR sepakat memangkas subsidi listrik untuk golongan 450 VA dan 900 VA mulai 1 Januari tahun depan (Kompas.com, 25/10).
- Inilah bukti ke sekian bahwa Pemerintah bersungguh-sungguh menjalankan liberalisasi energi. Itu artinya, negeri ini makin tenggelam dalam neoliberalisme. Padahal neoliberalisme jadi pangkal problem negeri ini.
- Makin total neoliberalisme diterapkan, makin besar beban yang ditimpakan atas rakyat negeri ini.