HTI Press . Majelis Hakim – seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya- akhirnya memvonis bebas majalah Playboy (Elshinta 5/4/ 2007, jam 13:20). Terang saja keputusan ini mendapat keceman berbagai pihak terutama dari umat Islam yang selama ini gigih mengingingankan bangsa ini selamat dari ancaman pornographi. Majelis Hakim sepertinya tidak perduli dengan keresahan umat Islam, meskipun 1 juta umat sudah turun ke jalan menolak pornographi dan porno aksi di Indonesia.
Dugaan Majelis Hakim bermasalah pun muncul. Bukan rahasia umum lagi hakim di Indonesia gampang disuap. Keputusan hakim yang memvonis bebas pimred majalah Playboy, kembali mengokohkan anggapan tersebut. KH Muhammad al Khoththoth misalnya melihat keputusan hakim ini aneh. Menurut Sekjen FUI (Forum Umat Islam) ini , hakim mendasarkan keputusannya dengan alasan dakwaan jaksa tidak bisa diterima, jadi bukan dinyatakan bersalah atau tidak bersalah. Hakimpun lebih mengedepankan UU Pers tentang pengaturan dari hukum umum seperti KUHP. “ Sepertinya hakim memang mencari-cari celah hukum untuk membebaskan terdakwa.,” ujar al Khoththoth.
Sejak awal sikap majelis Hakim memang banyak dipertanyakan. Ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus ini Efran Basuning SH berkilah persidangan tertutup itu sesuai dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang menerapkan pasal 282 ayat (1) dan (3) KUHP, yakni termasuk tindak pidana kesusilaan sehingga harus dilaksanakan secara tertutup. Majelis juga mendasarkan sikapnya pada ketentuan pasal 153 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan: Untuk keperluan pemeriksaan hakim, ketua sidang membuka sedan dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
Argumen majelis hakim ini konyol. Erwin Arnada, sang pemimpin redaksi bukanlah orang yang secara langsung melakukan tindak pencabulan, pemerkosaan, pelecehan atau sejenisnya. Ia didakwa dengan pasal 282 karena telah menyebarkan gambar yang melanggar kesusilaan dengan menerbitkan majalah untuk tujuan sebagai mata pencaharian/pekerjaan guna mendapat keuntungan. Apa yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah tindakan yang merugikan objek pribadi/seseorang tapi merupakan masalah publik. Korban perbuatan terdakwa adalah masyarakat umum/publik.
Apa yang dilakukan majelis hakim sekarang sangat berbeda ketika PN Jakarta Selatan mengadili kasus yang sama terhadap Majalah Matra tahun 2000. Saat itu, Nano Riantiarno, pemimpin majalah itu disidangkan secara terbuka untuk umum sejak awal hingga akhir sidang.
Sementera itu MR Kurnia dari Lajnah Siyasi Hizbut Tahrir Indonesia menilai bahwa pengadilan sudah dibeli dan menunjukkan pengadilan Indonesia tidak bisa diharapkan untuk membela kepentingan umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini, sekaligus menunjukkan pemerintah SBY-JK memang benar-benar tidak peduli terhadap akhlak bangsa. Hedi Muhammad sekjen FUII yang berdomisili di Bandung juga melihat vonis bebas ini selain bertentangan dengan syariat Islam juga merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan keberadaban.
Gugatan lebih jauh disampaikan Harry Mukti, mantan rocker yang kini jadi mubaligh. ”Hakim dan hukum yang berlaku dinegeri ini tidak akan menyelesaikan masalah apapun, sudah terbukti dengan dibebaskannya pemred majalah Playboy. Pernyataan senada disampaikan oleh KH Siddiq Al Jawie, pengasuh Ma’ahad Taqiyuddin Yogyakarta, menurutnya vonis bebas ini merupakan bukti bahwa sistem hukum yang ada telah menjadi agen kapitalisme global. ” Fenomena ini semakin membongkar fakta betapa bobroknya seluruh sendi kekuasaan negeri ini (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), karena semuanya merupakan agen penjajah kafir”, gugatnya. (FW; 06/04/2007)