Investigasi Al Jazeera mengungkapkan pemerintah Myanmar memicu kekerasan komunal yang mematikan untuk mendapatkan kepentingan politik.
28 Oktober 2015
Unit Investigasi Al Jazeera telah menemukan apa yang merupakan sejumlah “bukti kuat” atasgenosida terkoordinir oleh pemerintah Myanmar terhadap orang-orang Rohingya, menurut penilaian dari Yale University Law School.
The Lowenstein Clinic menghabiskan delapan bulan untuk menilai bukti-bukti dari Myanmar itu, termasuk dokumen-dokumen dan kesaksian yang diberikan oleh Al Jazeera dan kelompok advokasi Fortify Rights.
“Mengingat skala kekejaman dan cara para politisi berbicara tentang Rohingya, kami mengira sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa niat [untuk melakukan genosida] memang ada,” pungkas klinik itu.
Bukti eksklusif diperoleh oleh Unit Investigasi Al Jazeera dan Fortify Rights yang mengungkapkan pemerintah telah memicu kekerasan komunal demi mendapatkan kepentingan politik dengan cara menghasut kerusuhan anti-Muslim, menggunakan pidato kebencian untukmemberikan rasa ketakutan di antara penduduk Myanmar tentang Muslim, dan menawarkan uang kepada kelompok-kelompok garis keras Buddhis yang memberikan dukungan mereka di belakang kepemimpinan Myanmar.
Saat pemilihan umum pertama sepenuhnya diperebutkan dalam 25 tahun pada tanggal 8 November, para saksi mata dan bukti-bukti dokumenter rahasia yang diperoleh oleh Al Jazeera mengungkapkan bahwa pemerintahan, yakni Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan yang didukung militer (USDP) telah berusaha untuk meminggirkan Muslim dan menargetkan Rohingya.
Al Jazeera telah membuat meminta komentar kepada kantor Kepresidenan Myanmar dan juru bicara pemerintah tapi belum mendapat tanggapan.
Agenda genosida
Penyelidikan, yang disajikan dalam sebuah film dokumenter baru, yang berjudul GenocideAgenda, berkonsultasi dengan para ahli hukum dan para ahli diplomatik mengenai apakah kampanye pemerintah adalah pemusnahan sistematis.
Profesor University of London Penny Green, direktur International Negara mengenai Inisiatif Kejahatan (ISCI) mengatakan: “Presiden Thein Sein [dari USDP] siap menyampaikan pidato-pidato kebencian untuk mencapai tujuan pemerintahnya sendiri, dan itu adalah denganmeminggirkan, memisahkan, dan mengurangi penduduk Muslim di Burma.
“Itu adalah bagian dari proses genosida.”
Sebuah laporan independen oleh ISCI menyimpulkan bahwa saat kerusuhan tahun 2012, yangmerupakan konflik antara etnis Rakhine dan Muslim Rohingya Buddha meletus, adalah hal yang direncanakan. Kekerasan ini menyebabkan sejumlah orang tewas, dan puluhan ribu orang mengungsi setelah beberapa ribu rumah dibakar.
“Ini bukan kekerasan komunal,” kata Green. “Itu adalah kekerasan yang direncanakan. Bus-bus cepat telah diorganisir” untuk membawa Rakhine Buddha dari daerah-daerah terpencil untuk ikutdalam penyerangan itu.
“Minuman, dan makanan disediakan,” katanya. “Hal itu harus dibayar oleh seseorang. Semua ini menunjukkan bahwa hal itu direncanakan dengan sangat hati-hati.”
Apa yang diungkapkan oleh film Genocide Agenda
- Terdapat bukti bahwa para agen pemerintah Myanmar telah terlibat dalam memicu kerusuhan anti-Muslim
- Sebuah dokumen resmi militer menggunakan pidato kebencian dan mengklaim Myanmar berada dalam bahaya karena ‘dikuasai’ oleh Muslim
- Peringatan rahasia dokumen “kerusuhan komunal tingkat nasional” itu sengaja dikirim ke kota-kota lokal untuk menghasut ketakutan anti-Muslim
- Sebuah laporan oleh Yale Law School menyimpulkan terdapat “bukti kuat” genosida terjadi di Myanmar
- Seorang mantan Pelapor PBB tentang Myanmar mengatakan Presiden Thein Sein sekarang harus diselidiki atas kasus genosida ini
- Terdapat bukti bahwa para biksu terlibat dalam Saffron Revolution tahun 2007 dimanakekuasaan militer menawarkan uang kepada kelompok pro-pemerintah anti-Muslim untuk bergabung
- Sebuah laporan oleh Initiative Kejahatan Negara Internasional di Universitas London, menegaskan bahwa genosida memang berlangsung. Tim mengumpulkan bukti-bukti independenmengenai kerusuhan pada tahun 2012 yang menewaskan ratusan orang Rohingya dan lebih dari seratus ribu orang menjadi tunawisma; suatu hal yang memang direncanakan
Mantan Pelapor PBB mengenai Myanmar Tomas Ojea Quintana, sementara itu menyerukan Presiden Thein Sein dari USDP dan menteri urusan dalam negeri dan imigrasi untuk menyelidikigenosida.
Mendorong Kebencian
Genocice Agenda menyajikan bukti bahwa agen-agen pemerintah Myanmar terlibat dalam memicu kerusuhan anti-Muslim.
Sebuah dokumen resmi militer, yang salinannya diperoleh oleh Al Jazeera, menunjukkan penggunaan pidato kebencian, dengan mengklaim Myanmar berada dalam bahaya “dilahap” oleh umat Islam.
Al Jazeera merilis dokumen-dokumen dengan terjemahan bersama dengan bahan dokumenter.
Penyelidikan juga mengungkapkan bagaimana pemerintah menggunakan para preman untuk membangkitkan kebencian.
Seorang mantan anggota layanan Intelijen Militer Myanmar yang ditakuti menggambarkan bagaimana dia menyaksikan para agen provokator tentara memprovokasi masalah dengan kaumMuslim.
“Tentara mengendalikan peristiwa ini dari balik layar. Mereka tidak terlibat secara langsung,” katanya, saat berbicara secara anomim. “Mereka membayar uang kepada orang-orang dari luar.”
Di antara temuan lainnya adalah peringatan rahasia dokumen tentang ‘kerusuhan komunal nasional’ yang sengaja dikirim ke kota-kota lokal untuk menghasut ketakutan anti-Muslim.
Bukti lebih lanjut dari dan sumber-sumber dari Sangha, atau para pendeta, mengungkapkan bahwa para biksu yang menantang kekuasaan militer dalam Saffron Revolution tahun 2007 menawarkan uang untuk bergabung kepada kelompok pro-pemerintah anti-Muslim.
Meskipun terdapat bukti bahwa para penguasa militer Myanmar sengaja memprovokasi kerusuhan komunal selama bertahun-tahun kediktatorannya, sampai sekarang belum ada bukti bahwa hal ini berlanjut setelah masa transisi menuju demokrasi parsial.
Matt Smith, pendiri kelompok advokasi Fortify RIghts, mengatakan bahwa secara keseluruhan, bukti-bukti menunjukkan tren ini naik kembali.
“Dalam kasus Rohingya, dalam kasus negara bagian Rakhine, hal ini bisa mencapai tingkatkejahatan genosida,” kata Smith. “Beberapa dari orang-orang yang paling kuat di negeri ini harus menjadi subjek penyelidikan internasional dalam hal situasi di negara bagian Rakhine.”
Kaum Muslim kehilangan haknya
Dalam pemilihan umum November, USDP berkampanye kepada berbagai etnis dan partai lainnya, tetapi terutama terhadap Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang dipimpin oleh Aung Sang Suu Kyi.
Pemungutan suara dipandang sebagai tahap berikutnya yang penting dalam langkah menuju demokrasi penuh.
Reformasi di Myanmar telah berlangsung sejak tahun 2010 ketika pemerintahan militer digantikan oleh pemerintahan sipil yang didukung militer.
Tapi karena junta militer mundur pada tahun 2011, kelompok Buddha garis keras telah mengambil keuntungan dari liberalisasi untuk mendapatkan pengaruh dalam politik negara itu.
Kandidat Muslim telah banyak yang dikecualikan dari pemilu, dalam apa yang tampaknya menjadi upaya untuk meredakan kaum garis keras.
Ratusan ribu Muslim Rohingya kehilangan haknya awal tahun ini ketika pemerintah mencabut kartu kewarganegaraan sementara yang memungkinkan mereka untuk memilih. (rz)
(riza/Sumber: Al Jazeera)
https://youtu.be/UrQRYrpp2cI