Transkrip yang dijadikan barang bukti Sudirman itu justru mengkonfirmasi keterlibatan semua pejabat tinggi dalam proses perpanjangan kontrak Freeport.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto menilai, transkrip yang dijadikan barang bukti Sudirman itu justru mengkonfirmasi keterlibatan semua pejabat tinggi dalam proses perpanjangan kontrak Freeport. “Malah sudah ancang-ancang mau beli privat jet segala. Inilah era corporate state, inilah sistem demokrasi, di mana negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha yang menjadikan negara sekadar sebagai instrumen atau alat bisnis mereka,” tandasnya.
Ismail mengingatkan, “Jangan ada di antara kita yang bilang, Presiden tidak terlibat. Setya Novanto justru sedang mengatakan yang sebenarnya. Karena dia juga melakukan itu. Presiden sebelumnya juga begitu, mungkin kecuali Gus Dur. Semua rente seeker (pencari rente). Semua mentransaksikan kewenangan.,”
Ia menyatakan kasihan kepada rakyat. “Kasihan juga mereka yang masih saja percaya pada pejabat-pejabat yang kayak gitu.”
Makanya, menurutnya, penting soal Freeport ini untuk terus dibuat ribut. Tidak boleh didiamkan. Ini agar pejabat-pejabat itu itu tidak bisa diam-diam membuat keputusan yang merugikan negara demi kepentingan mereka dan kelompoknya.
Panggung politik Indonesia kembali gaduh. Setelah sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjadi bulan-bulanan karena mengeluarkan surat kepada PT Freeport yang mengindikasikan pemerintah Indonesia akan memperpanjang kontrak Freeport, kini ia menembak pihak lain yang ditudingnya sebagai mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak PT Freeport.
Tak tanggung-tanggung, yang dituding Sudirman adalah Ketua DPR Setya Novanto. Makanya ia melaporkan kasus ini kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Ia datang ke Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/11/2015) sekitar pukul 09.45 WIB.
Kepada MKD, Sudirman membawa bukti berupa transkrip pembicaraan yang berisi percakapan tiga orang, yaitu Novanto yang dituliskan dengan inisial Sn, pimpinan PT Freeport berinisial Ms dan seorang pengusaha minyak berinisial R.
Menteri ESDM mengungkapkan, transkrip tersebut berasal dari rekaman percakapan dalam pertemuan pimpinan PT Freeport dengan Setya Novanto dan pengusaha minyak berinisial R. Pertemuan itu dihelat di sebuah hotel di kawasan Pacific Place 8 Juni 2015 lalu pada pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB. Pertemuan itu adalah pertemuan ketiga. Hanya saja ia tak menjelaskan darimana ia mendapatkan transkrip tersebut.
Terhadap laporan tersebut, Ketua DPR RI Setya Novanto membantah disebut mencatut nama Presiden Jokowi. Novanto yang hari ini berkali-kali ditanya wartawan soal isu pencatutan nama Presiden dan Wapres bertahan dengan jawabannya, dirinya tak pernah melakukan pencatutan.
“Yang jelas saya selaku pimpinan DPR tidak pernah untuk bawa-bawa nama presiden atau mencatut nama presiden,” kata Novanto.
Usai menemui menemui JK di kantor Wapres, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (16/11/2015), ia pun membah bahwa kunjungan itu merupakan upaya dirinya untuk mengklarifikasi isu yang menerpa dirinya. Namun JK mengungkap fakta berbeda.
JK malah mengungkap informasi soal adanya pertemuan Setya Novanto dengan pihak PT Freeport. Hanya saja Wapres tak mengungkap secara rinci informasi soal pertemuan tersebut. Menurut JK, Novanto bertemu dengan pimpinan PT Freeport tidak dalam kapasitas sebagai Ketua DPR RI.
“Pasti bertemu bukan sebagai ketua DPR, karena tidak ada urusannya itu. Saya tidak tahu secara pribadi gimana tetapi setahu saya tentu tidak ada pertemuan dengan ketua DPR tentang itu,” kata JK.
Kepada awak media JK mengatakan, “Saya kan tidak tahu persoalannya, saya menjadi pendengar yang baik,” ujar JK.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung ketika dicegat wartawan di Bandara Halim Perdana Kusuma tak banyak komentar tentang apa yang dilakukan Sudirman Said. “Semua itu terserah menterinya, (Menteri) ESDM, saya tidak mau ikut campur,” kata Pramono Senin (16/11/2015).
Tindak Lanjut
Sementara itu Wakil Ketua MKD Junimart Girsang menyatakan akan memverifikasi laporan tersebut selama 14 hari. “Penerimaan laporan ini 14 hari dari sekarang kita akan tentukan sikap terhadap laporan ini,” kata Junimart di gedung DPR, Jakarta, Senin (16/11/2015).
“Kita tadi tekankan agar Sudirman sesegera mungkin memberikan rekaman sesuai transkrip yang kita terima. Kita berharap besok atau lusa Pak Sudirman sudah bisa serahkan rekaman itu supaya tenaga ahli (MKD) bisa lakukan verifikasi,” kata politisi PDIP itu.
Menurutnya, saat melaporkan ke MKD tadi, Sudirman memang sudah mengatakan akan menyusulkan rekaman aslinya kepada MKD. Tinggal menunggu kapan akan diserahkan. “Ya nggak cukup (hanya transkrip) dong, harus combine antara transkrip dan rekaman. Kan bisa saja transkrip dipotong-potong,” tuturnya.
Setelah 14 hari itulah maka MKD akan memutuskan apakah laporan Sudirman bisa ditindaklanjuti. Jika bisa, maka MKD akan melakukan penyelidikan dan memanggil pihak-pihak terkait untuk diklarifikasi hingga memutuskan ada pelanggaran etik atau tidak.
Apakah MKD nanti akan turut memanggil pimpinan PT Freeport, pengusaha, dan anggota DPR untuk klarifikasi rekaman itu? “Sesuai dengan hasil verifikasi, nanti siapa yang akan kita panggil ke MKD untuk membuat perkara jelas dan terang tentu setelah verifikasi,” jawabnya. [] emje
Transkrip itu……
Transkrip tersebut beredar di kalangan wartawan. Berikut sejumlah petikannya.
MS: Bapak, juga nanti baru bisa bangun setelah kita purchsing garanty, lho Pak. Nah, purchsing garanty-nya dari kita Pak.
R: PLTA-nya.
MS: Artinya patungan? Artinya investasi patungan? 49 – 51 persen. Investasi patungan, off taker kita juga? Double dong Pak. Modalnya dari kita, off taker-ya dari kita juga.
R: Ok deh, Freeport gak usah ikut.
MS: Oh kalau komitmen, Freeport selalu komitmen. Terus untuk smelter, Desember nanti kita akan taruh 700 ribu dolar. Tanpa kepastian lho Pak. Sori, 700 juta dolar.
SN: Presiden Jokowo itu sudah setuju di sana, di Gresik, tapi pada ujung-ujungnya di Papua. Waktu saya ngadep itu, saya langsung tahu ceritanya. Ini waktu rapat sama Darmo …
Agar perpanjangan kontrak Freeport berjalan mulus, Setya diduga meminta sejumlah imbalan. Dalam permintaan ini dia mengatasnamakan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain itu, ada pula permintaan jatah saham pada proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Uru Muka di Kabupaten Mimika, Papua, yang berkapasitas 1 gigawatt (GW).
Total kepemilikan yang diminta 49 persen. Sejumlah saham tersebut akan diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20 persen. Untuk Jokowi 11 persen dan JK 9 persen. Bukan hanya jatah saham, dia pun berharap Freeport menjadi investor sekaligus pembeli (off taker) listrik yang akan dihasilkan pembangkit ini.
Selain, Presiden dan Wakil Presiden, dalam transkrip rekaman tadi juga muncul nama lain, yakni Luhut. Nama ini disebut-sebut mengarah kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.
SN: Kalau nggak salah Pak Luhut waktu itu bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut itu sudah ada yang mau diomongin.
R: Gua udah ngomong dengan Pak Luhut. Ambilah sebelas, kasilhlah Pak JK sembilan. Harus adil, kalau nggak, rebut.
SN: Jadi kalau pembicaraan Pak Luhut dan Jim di Santiago, empat tahun yang lampau itu dari 30 persen, itu 10 persen dibayar pakai deviden.. Ini menjadi perdebatan sehingga mengganggu konstalasi.. Ini begitu masalah cawe-cawe itu. Presiden nggak suka, Pak Luhut.