Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyatakan penyebab pemburu rente marak di kalangan pejabat pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Kalau pejabat dan anggota dewan sering memburu rente itu benar. Hanya kita memang tidak dapat membuktikan saja. Hal itu terjadi karena kekuasaan yang mereka miliki sekarang,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid Media Umat Edisi 163: Heboh Freeport, Perseteruan Antar Geng Pengkhianat, 22 Shafar – 6 Rabiul Awal 1437 H/ 4 – 17 Desember 2015.
DPR itu wewenangnya sampai pada kekuasaan anggaran, evaluasi anggaran, memanggil menteri-menteri, memanggil direksi-direksi BUMN, pejabat-pejabat pemerintah lainnya. Wewenang yang besar dalam pengawasan ini membuat rawan karena mereka juga berwenang menyusun anggaran. “Tentu ini jadi lahan bancakan saat penyusunan anggaran, saat pengawasan,” ungkapnya.
Sumber masalahnya karena ada pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, antara pemerintah dan DPR. Pemerintah mempunyai hak menyusun anggaran, punya hak melaksanakan anggaran, punya hak melakukan evaluasi internal. DPR juga punya hak menyusun anggaran, juga punya hak mengawasi anggaran, bahkan bisa merancang proyek-pyorek tertentu melalui usulan DPR. Pada saat yang sama, kedua lembaga ini bersaing satu sama lainnya.
“Ruang-ruang persaingan, ruang-ruang saling mengawasi jadikan sebagai lahan mencari kesempatan untuk menggarong uang negara,” bebernya.
Setelah MPR dihapus, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka, sehingga mereka berbuat semau-maunya mereka, yang penting kompromi. “Kompromi itu maksudnya kongkalikong lah. Antara pemerintah dan DPR itu kongkalikong untuk menggolkan kepentingan-kepentingan yang menguntungkan mereka secara ekonomi, keuangan dan politik,” tegas Daeng.
Daeng juga menyatakan hakekat dari DPR dan pemerintah dari sistem semacam ini. “Kita juga tahu, DPR dan pemerintah ini representasi partai politik bukan representasi rakyat. Partai politiknya sendiri bukan representasi rakyat tetapi representasi saudagar, pedagang, taipan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo