Sebagai yang sudah diduga sebelumnya, Konferensi Riyadh yang disponsori Saudi, menghasilkan keputusan yang berlawanan dengan tujuan revolusi Islam di Suriah. Antara lain kesepakatan peserta Konferensi untuk membangun negara demokratis. Adalah perkara jelas negara demokratis yang dimaksud adalah negara sekuler yang bukan berdasarkan syariah Islam.
Seperti dilansir Kiblat.net dengan mengutip situs Al-Jazeera Kamis malam (10/12) , perwakilan berbagai gerakan oposisi Suriah sepakat membangun negara demokratis dan bukan sistem kerajaan. Negara tersebut merupakan negara politik baru yang tidak ada tempat bagi Bashar Assad dan pilar-pilarnya.
Tidak hanya itu, peserta konferensi inipun sepakat semua proses politik di Suriah dibawah pengawasan PBB. Meskipun sudah diketahui pasti, semua kebijakan PBB dalam kontrol negera-negara Barat terutama Amerika Serikat.
Dalam pernyataannya, oposisi menyatakan siap ikut serta dalam negosiasi dengan delegasi rezim yang bersandar pada kesepakatan pertemuan Jenewa pertama. Negosiasi harus di bawah pengawasan PBB.
Konferensi yang dihadiri 100 perwakilan gerakan oposisi itu juga sepakat merealisasikan masa transisi di Suriah sebagaimana yang disepakati di Jenewa yang pertama . Disebutkan pula Bashar Assad dan pilar-pilarnya harus meninggalkan pemerintahan selama masa transisi tersebut.
Termasuk kesepakatan konferensi itu membentuk Badan Tinggi Oposisi Suriah. Badan ini diisi 32 anggota, sepuluh di antaranya perwakilan faksi militer, enam dari Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah, lima dari Badan Koordinator Revolusi dan delapan dari independen.
Perwakilan dari berbagai gerakan oposisi Suriah, yang ada di dalam maupun di luar negeri, sejak Selasa lalu menggelar pertemuan di Riyadh. Konferensi yang difasilitasi oleh Saudi ini bertujuan membentuk kekuatan oposisi bersatu, yang nantinya menjadi wakil untuk bernegosiasi dengan rezim. (AF)