Pabrik vaksin halal dunia pertama dengan nilai pengembangan atau gross development value (GDV) mencapai RM 330 juta atau sekitar 1,06 triliun rupiah di Bandar Enstek, Negeri Sembilan, Malaysia, direncakanan beroperasi pada awal 2018. Dr Tabassum Khan, Direktur Pengelola AJ Pharma Holding Sdn Bhd, pemilik pabrik, mengatakan fasilitas produksi vaksin yang akan menempatkan Malaysia sebagai pemain internasional di pasar vaksin itu akan dikembangkan oleh GB Asiatic Ventures Sdn Bhd dan mitra strategis, China Mesin Machinery Engineering Corp (CMEC).
“Perumusan, pengisian dan penyelesaian state-of-the-art fasilitas ” ditempatkan di bawah AJ Biologics Sdn Bhd yang diharapkan akan menghasilkan lebih dari 1.000 vaksin di negara itu, lima tahun dari sekarang,” kata Tabassum Khan, demikian laporan Bernama yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Dengan fasilitas ini, lanjutnya, akan lebih mudah dan lebih cepat untuk mengekspor vaksin yang dihasilkan dari Malaysia dibandingkan negara-negara tetangga lainnya di kawasan itu, saat Malaysia juga merupakan anggota dari organisasi internasional yang menangani pengawasan obat (Pharmaceutical Inspection Corporation Scheme/PICS).
http://mirajnews.com/…/
Di bawah tatanan Kapitalisme, industri farmasi termasuk riset dan pengembangan vaksin sangat dan selalu tergantung pada investor. Maka tidak heran jika pertimbangan ekonomi selalu ada jika tidak dikatakan lebih mendapat prioritas di atas etika dalam pengambilan keputusan. Penelitian terhadap virus yang mematikan sekalipun bisa saja terabaikan hingga puluhan tahun jika dinilai berdaya jual rendah. Bisa karena calon konsumennya adalah para penduduk miskin yang tidak mampu membayar mahal, atau pemakaian obat yg singkat sehingga dianggap tidak mampu menutup biaya riset dan pengembangan serta biaya-biaya kegagalan setelah uji pra klinis dan uji klinis untuk bisa memasuki pasar. Belum lagi resistensi mikroba yang selalu menjadi tantangan besar dunia kesehatan, mutlak membutuhkan riset dan pendanaan yang berlanjut. Maka tidak heran, insentif dari modal menjadi harapan.
Inilah peradaban dunia sekarang yang tidak dirancang untuk membuat keputusan berdasarkan etika tapi motif ekonomi. Ini menunjukkan kebangkrutan moral Kapitalisme. Pengembangan vaksin halal jelas sangat dibutuhkan umat, tetapi dalam Kapitalisme populasi muslim yang membutuhkan produk-produk halal beserta daya belinya jauh lebih penting dan menggiurkan.
Berbeda dengan Khilafah, tanggungjawabnya terhadap pemeliharaan urusan umat serta pemahamannya berkenaan dengan hadits “Tidak ada penyakit yang Allah telah ciptakan, kecuali bahwa Dia juga telah menciptakan pengobatannya.” (HR. Al-Bukhari) menjadikannya terdorong untuk menciptakan lingkungan yang subur bagi pengembangan ilmu pengetahuan-teknologi dan penelitian medis, termasuk pengobatan dan pengembangan vaksin. Sebagai contoh, Khilafah akan menyediakan dana penelitian yang akan dipersaingkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, dengan cara ini Khilafah dapat mengarahkan penelitian dan pengembangan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kepentingan dakwah Islam.
Tidak hanya itu, dalam Islam, kesehatan merupakan hak publik yang tanggungjawabnya diserahkan kepada Negara. Khilafah menjamin akses yang mudah terhadap layanan kesehatan bagi setiap warga Negara, tanpa ada diskriminasi. Khilafah akan membangun fasilitas kesehatan yang didukung sarana dan prasarana memadai di seluruh wilayah sekaligus menyiapkan sumberdaya manusia berkualitas dengan kuantitas mencukupi. Khilafah mampu melakukan semua itu dengan syariat Islam yang dijalankan di seluruh bidang kehidupan, politik pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pergaulan hingga sistem sanksi. Demikianlah Khilafah, kembalinya akan menjadi rahmat bagi semesta.[]