Tahun 2015 telah berakhir. Tahun 2016 telah hadir. Dalam konteks nasional, dalam rentang setahun tentu banyak peristiwa—politik, ekonomi, sosial, moral, dsb—terjadi di Tanah Air. Yang pasti, selama setahun lalu, di tangan rezim Jokowi-JK, Indonesia makin liberal dan makin terjajah, khususnya di bidang ekonomi.
Di sisi lain, umat Islam sepanjang setahun lalu kembali mengalami diskriminasi. Kasus Tolikara dan Manokwari di Papua adalah di antaranya.
Bagaimana sebetulnya gambaran umum peristiwa sepanjang tahun 2015 lalu? Apa saja peristiwa yang menonjol? Mengapa Indonesia makin liberal dan makin terjajah? Bagaimana pula dengan kondisi umat Islam sepanjang setahun lalu? Bagaimana solusi atas berbagai persoalan yang terus membelit bangsa ini? Lalu apa sebetulnya yang harus menjadi agenda umat Islam ke depan?
Untuk membincangkan itu semua, Redaksi mewawancarai Ketua DPP HTI Rochmat S. Labib. Berikut petikannya.
Sepanjang tahun 2015, perkembangan positif apa yang menonjol terjadi pada umat Islam umumnya, khususnya di Indonesia?
Saya kira tidak ada perkembangan yang menonjol. Meskipun demikian, ada beberapa catatan positif yang patut diapresiasi. Pertama: kepedulian umat Islam terhadap agamanya. Ini bisa dilihat saat ada upaya untuk makin meminggirkan Islam, secara spontan umat melakukan pembelaan. Sebagai contoh, ketika Mendikbud hendak menghapus doa sebelum belajar dengan cara Islam, umat mengecam rencana tersebut. Demikian pula saat ada wacana dari rezim penguasa hendak menghilangkan kolom agama, umat juga menentang rencana tersebut. Meskipun masih sebatas dalam perkara ritual, ini cukup menggembirakan.
Yang kedua?
Menguatnya ukhuwah dan solidaritas di antara umat Islam. Bahkan melintas batas teritorial nasional. Ini terlihat jelas dari sikap umat Islam terhadap para pengungsi dari Rohingya. Saat nelayan-nelayan Aceh menjumpai mereka terombang-ambing di lautan, mereka segera memberikan pertolongan. Para pengungsi Rohingya itu dibawa ke daratan untuk ditempatkan dalam penampungan. Kemudian umat pun berbondong-bondong membawa bantuan untuk mereka.
Sikap ini sungguh luar biasa. Pasalnya, sebelumnya Pemerintah sudah melarang para pengungsi Rohinya itu masuk ke wilayah Indonesia. Tentara-tentara pun dikerahkan untuk menghalau pangungsi tersebut. Akan tetapi, umat Islam di Aceh tidak mengindahkan larangan tersebut. Mereka menunjukkan solidaritas sebagai sesama umat Islam. Saat HTI membuka Posko Peduli Rohingya, bantuan dari berbagai daerah juga mengalir cepat. Saat kita menyalurkan bantuan, mereka pun menyambutnya dengan amat gembira. Seolah-olah kita adalah saudara.
Yang ketiga?
Meningkatnya dukungan umat terhadap syariah dan Khilafah. Di antara tanda yang amat jelas adalah makin banyaknya umat Islam yang bergabung dalam perjuangan kita. Berbagai kegiatan yang kita adakan juga semakin banyak dihadiri umat. Di antaranya adalah kegiatan Rapat dan Pawai Akbar (RPA) yang kita adakan di tiga puluh enam kota pada Mei tahun lalu. Di Jakarta saja, sekitar seratus ribu umat Islam dari Jabodetabek plus Banten memenuhi stadion GBK. Belum lagi di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Makassar, dan kota-kota lainnya.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari semua itu?
Pertama: umat Islam harus bersikap tegas terhadap siapa pun yang mencoba mengganggu Islam dan umatnya. Dalam kasus pertama, saat umat keras menyuarakan penolakan, Pemerintah akhirnya mundur. Bahkan kemudian mengoreksi pernyataan semula. Ini menunjukkan bahwa umat ini memiliki kekuatan yang diperhitungkan. Jika mereka bersatu menentang kezaliman penguasa, mereka juga akan gentar.
Demikian pula pada kasus kedua, umat Islam tidak boleh menyerah begitu saja terhadap larangan yang merugikan umat Islam. Saat umat dengan sukarela menolong dan membantu pengungsi Rohingya, Pemerintah pun akhirnya melunak.
Kedua: Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu, yang didasarkan atas dasar keimanan. Dengan demikian persatuan ini amat kuat. Karena itu, untuk mempersatukan umat ini kembali berada dalam satu negara sesungguhnya amat mudah.
Ketiga: kebangkitan umat Islam semakin dekat. Terus membesarnya dukungan umat terhadap syariah dan Khilafah merupakan tanda yang jelas untuk ini. Jumlahnya bisa jadi belum signifikan untuk melakukan perubahan mendasar. Namun, harus diingat, jumlah itu dinamis. Seiring dengan gencarnya dakwah, jumlah mereka akan terus membesar. Sebaliknya, kepercayaan terhadap demokrasi dan rezimnya terus menyusut. Insya Allah, dengan izin dan pertolongan-Nya, syariah dan Khilafah akan segera tegak.
Apa masalah yang mendera umat sepanjang tahun 2015?
Pertama: Meningkatnya sikap intoleransi dan tindakan diskriminatif terhadap umat Islam, terutama di daerah-daerah minoritas Muslim.
Bisa disebutkan contohnya?
Kasus penyerangan terhadap umat Islam di Tolikara Papua tahun lalu adalah salah satunya. Bayangkan, awalnya umat Islam dilarang mengadakan shalat Idul Fitri di kota itu. Mengapa dilarang? Apakah ibadah itu mengganggu mereka? Lebih parah lagi, saat sedang menunaikan shalat Idul Fitri, umat Islam diserang secara brutal oleh ratusan orang Nasrani. Shalat pun terpaksa bubar. Setelah itu, mereka membakar masjid, kios-kios, dan rumah-rumah umat Islam. Ini jelas tindakan intoleransi yang tidak dapat diterima.
Sikap intoleransi juga dialami umat Islam di Manokwari. Masjid yang sedang dibangun harus dihentikan setelah mendapatkan penolakan keras dari kaum Nasrani. Padahal semua perizinan dan syarat legal lain sudah dipenuhi. Hal serupa juga terjadi di Bitung dan beberapa daerah minoritas Muslim lainnya.
Bagaimana tindakan Pemerintah terhadap sikap intoleransi tersebut?
Ini yang amat kita sesalkan. Pemerintah nyata telah bersikap diskriminatif terhadap umat Islam. Tidak ada pelaku penyerangan yang ditangkap dan diadili kecuali hanya beberapa orang. Padahal pelakunya jelas ratusan orang. Aktor intelektualnya tidak disentuh. Bahkan mereka diundang presiden ke Istana Negara sebagai tamu istimewa.
Sikap ini jelas berkebalikan dengan sikap Pemerintah terhadap kasus pembakaran gereja di Singkil, Aceh. Pemerintah segera bertindak tegas terhadap pelakunya. Alih-alih diundang ke Istana Negara, mereka justru segera ditangkap sebagai pelaku kriminal.
Ini juga sangat berbeda dengan Peristiwa Monas 1 Juni 2008 ketika terjadi bentrok FPI dengan kaum liberal. Habib Rizieq yang tidak berada di tempat kejadian ditangkap dan dipenjara.
Selain intoleransi dan diskriminasi?
Isu radikalisme dan terorisme. Keduanya selalu dilekatkan kepada umat Islam. Radikalisme sering dituding sebagai bibit terorisme. Umat Islam yang menginginkan tegaknya Islam secara kâffah sering dituduh sebagai pelakunya. Ini jelas propaganda untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.
Demikian juga dengan isu terorisme. Sebutan itu hanya digunakan untuk menyebut kelompok Islam yang melakukan tindakan kekerasan. Adapun jika dilakukan oleh pihak lain, tidak disebut sebagai tindakan terorisme. Kasus ‘Bom Alam Sutera’ adalah fakta yang amat jelas. Setelah diketahui pelakunya Cina Nasrani, status teroris tidak diberlakukan. Pelakunya hanya disebut kriminal biasa. Tidak dikenakan Undang-Undang Terorisme. Demikian juga OPM, yang jelas-jelas membunuhi banyak polisi dan tentara, tidak disebut sebagai organisasi teroris. Israel, Amerika dan negara-negara kafir penajajah lainnya tidak disebut negara teroris. Padahal mereka jelas-jelas membunuhi penduduk sipil tak berdosa.
Oleh karena itu, kedua isu tersebut adalah untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.
Apa ada upaya lain untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya?
Setidaknya ada tiga. Pertama: Mengembalikan tradisi dan kebudayaan lokal pra Islam. Seolah-olah itulah jatidiri bangsa kita. Berbagai program digalakkan untuk tujuan ini, termasuk mewacanakan ‘Islam Nusantara’. Seolah-olah Islam baru sempurna ketika diwarnai dengan Nusantara.
Kedua: Tuduhan anti Pancasila dan NKRI. Tuduhan ini selalu disuarakan terhadap perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. Tujuannya adalah menakut-nakuti dan menekan para pejuang dan simpatisannya.
Patut dicatat, tuduhan tersebut sebenarnya lebih bersifat propaganda. Sebab, tuduhan itu tidak pernah ditujukan kepada penguasa yang menyerahkan kekayaan alam kepada asing dan menumpuk utang luar negeri sehingga membuat kedaulatan tergadai, Mengapa mereka tidak disebut anti Pancasila dan NKRI? Demikian juga terhadap OPM yang jelas-jelas melakukan tindakan sparatisme dan membunuhi para polisi dan tentara. Mengapa mereka tidak dituduh anti Pancasila dan anti NKRI?
Ketiga: Penerapan sistem dan pemikiran impor dari Barat. Dalam politik, demokrasi diterapkan. Dalam ekonomi, sistem ekonomi liberalisme dijalankan. Selain itu, berbagai pemikiran yang lahir dari akidah sekularime seperti HAM, pluralisme, kebebasan, marak juga massif dipropagandakan.
Sampai di mana keberhasilan upaya jahat tersebut?
Dalam tataran sistem, upaya jahat bisa dikatakan telah berhasil. Sistem politik di negeri ini makin demokratis. Sistem ekonominya makin liberal. Banyak undang-undang liberal berhasil disahkan. UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Penanaman Modal adalah di antaranya.
Apa akibatnya bagi negeri ini?
Dalam sistem ekonomi liberal, peran negara dalam semua kegiatan ekonomi, termasuk dalam sektor vital dipinggirkan. Liberalisme juga meniscayakan persaingan bebas. Akibatnya, kekayaan alam kita yang melimpah-ruah dengan mudah dikuasai asing. Demikian pula sektor-sektor yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena semua sektor ekonomi diserahkan kepada swasta, pendapatan utama negara berasal dari pajak. Ironisnya, semua itu dilegalkan undang-undang produk demokrasi.
Apakah masih ada harapan buat negeri ini?
Masih. Sekalipun dalam tataran sistem, demokrasi dan liberalisme telah berhasil diundangkan, hal itu tidak serta-merta membuat umat Islam larut dengan sistem kufur tersebut. Masih ada di antara umat yang konsisten dengan Islam. Mereka tidak silau dengan gemerlapnya peradaban Barat. Bahkan sebaliknya, mereka melihat dengan jelas kebobrokan demokrasi dan liberalisme. Apalagi setelah diterapkan dalam kehidupan yang mengakibatkan negeri ini makin terjajah. Seperti saya katakan tadi, jumlah mereka makin banyak. Alhamdulillah.
Bagaimana membuat harapan itu bisa menjadi kenyataan?
Kita harus melakukan langkah-langkah yang mendekatkan harapan tersebut. Kita juga tidak boleh disibukkan oleh berbagai PR yang dibuat oleh kafir. Umat Islam harus memiliki agenda sendiri yang harus diperjuangkan secara konsisten dan sungguh-sungguh.
Apa agenda tersebut?
Tegaknya Khilafah yang menerapkan syariah secara kâffah. Inilah agenda utama yang harus diperjuangkan. Hizbut Tahrir meyebut ini sebagai al-qadhiyyah al-mashîriyyah; perkara amat penting hingga menyangkut hidup dan mati. Inilah yang harus dijadikan sebagai agenda perjuangan umat.
Bagaimana mengaitkan agenda tersebut dengan kondisi umat saat ini?
Pertama: Menguatkan penolakan umat dan rakyat negeri terhadap ideologi beserta semua pemikiran dan sistem yang terlahir darinya, seperti demokrasi, liberalisme, HAM, pluralisme dan lain-lain; bahwa semua itulah adalah biang penyebab keterpurukan negeri ini.
Kedua: Mengokohkan pemahaman umat bahwa tidak ada solusi yang baik dan benar kecuali Islam. Itu hanya akan terwujud manakala syariah diterapkan secara kâffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Inilah yang harus terus menerus diserukan ke tengah umat hingga menjadi tuntutan umat sekaligus menjadi keinginan dan tekad ahlul-quwwah, para pemegang kekuasaan riil. Bahkan mereka tak ragu menyerahkan kekuasaan kepada gerakan Islam yang sungguh-sungguh berjuang untuk mengakkan Khilafah.
Ketiga: Meyakinkan umat bahwa nasib mereka ditentukan oleh mereka sendiri. Karena itu umat harus bergerak dan berjuang menegakkan Khilafah. Jangan sekali-sekali meminta perolongan kepada negara-negara kafir penjajah. Apalagi menyerahkan nasib kita kepada mereka. Jika diserahkan kepada mereka, bukan solusi yang didapat, namun justru bencana. Mereka akan terus membuat berbagai makar untuk menghancurkan Islam dan umatnya.
Insya Allah, dengan izin dan pertolongan Allah SWT, harapan itu akan benar-benar menjadi kenyataan. []