Perangkat hukum dalam menangani terorisme dinilai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto sudah banyak, sehingga Badan Intelijen Negara (BIN) tidak perlu lagi diberi kewenangan untuk menangkap.
“Kewenangan kepada BIN untuk menangkap seperti pisau bermata dua dan kembali ke rezim represif ala Orde Baru. Waduh intelijen boleh menangkap, kacau itu. Tidak boleh menangkap saja sudah begini, apalagi boleh menangkap,” ujarnya kepada mediaumat.com soal wacana revisi UU Terorisme yang memberikan kewenangan kepada BIN untuk melakukan penangkapan, Kamis (21/1) melalui ponsel.
Selain BIN yang mengkoordinasikan informasi intelijen, ada kepolisian yang dilengkapi dengan Densus 88 yang melakukan penangkapan ditambah lagi badan khusus yang menangani masalah ini yakni BNPT. “Logikanya kan dengan perangkat yang semakin banyak itu kinerjanya semakin bagus. Kenyataannya kok begini rupa?” ujarnya menyesalkan.
Maka menurutnya, sebelum pemerintah mewacanakan revisi UU Terorisme yang penting dilakukan adalah mengevaluasi masalah terorisme secara menyeluruh.
Pertama, tentukan dulu dengan jelas apa sebenarnya teroris dan terorisme itu. Dalam hal ini publik melihat ada hal yang ambigu, tidak jelas. Kalau yang dianggap teroris itu orang yang meraih tujuan dengan kekerasan atau mempunyai tujuan untuk makar, seperti sparatis dan melawan petugas. Pertanyaannya mengapa Gerakan Papua Merdeka (OPM) tidak pernah dikatakan teroris padahal mereka sudah membunuh banyak orang bahkan korbannya tidak sedikit dari TNI dan Polri juga. Bandar narkoba juga menggunakan kekerasan kemarin bahkan ada polisi yang mati. Mengapa itu tidak dikatakan teroris.
“Kesannya seolah-olah yang disebut teroris itu harus yang dikait-kaitkan dengan Islam. Kalau begitu, justru ini yang menimbulkan komplikasi persoalan. Publik itu akhirnya mendapatkan pembenaran bahwa perang melawan teroris itu sebenarnya perang melawan Islam,” ujarnya.
Kedua, harus ada evaluasi yang menyeluruh terhadap kinerja pemberantasan terorisme. Mengapa dengan sekian puluh orang meninggal dan ratusan orang ditahan, teroris itu tidak habis-habis? Ceritanya seperti apa dan bakal mau ke mana? tidak ada transparansi.
Ketiga, cara penindakannya juga harus dievaluasi. Publik banyak mencatat data bagaimana Densus 88 melakukan tindakan yang semena-mena dalam penindakan dan penangkapan mulai dari salah tangkap, penyiksaan hingga pembunuhan di tempat kepada orang yang baru saja diduga (extra judicial killing).
“Baru terduga teroris sudah dihajar mati. publik selalu disuguhi narasi tunggal dari pihak kepolisian. Kita tidak tahu sanggahannya karena orangnya sudah meninggal,” bebernya.
Dari evaluasi itu semua baru publik tahu, jangan-jangan yang terjadi ini bukan pemberantasan teroris, tetapi penumbuhkembangan teroris karena salah tindakan.
“Jadi alih-alih menimbulkan kesadaran, ketundukan, menuju jalan benar, yang ada malah dendam karena kita tidak pernah mengayomi keluarga dari terduga yang dihajar sedemikian rupa oleh Densus 88. Ini akan menimbulkan lingkaran kekerasan yang tak berujung,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo