Harga minyak mentah dunia diperkirakan menembus level paling rendah US$ 20 per barel. Kondisi ini tentu akan berdampak luas bagi Indonesia, mulai dari penurunan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas), sampai nasib PT Pertamina (Persero) dan seluruh perusahaan migas di Indonesia.
Pengamat Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengungkapkan, kondisi politik di Indonesia di tengah tertekannya harga minyak dunia akan memicu rasa egoisme masing-masing.
“Pasti pada mikirin diri masing-masing, seperti PT Pertamina (Persero) pasti akan mikir bagaimana dia bertahan di situasi seperti ini,” ujarnya saat Diskusi Energi Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (24/1/2016).
Menurut Daeng, Pertamina memproduksi migas dengan porsi 18 persen dari total produksi nasional, sementara keuntungan terbesar disumbang dari sektor hulu. Sehingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini pasti berpikir bagaimana sektor hulu bisa bertahan dan hilirnya bisa menopang korporasi secara keseluruhan.
“Pertamina punya aset sekitar US$ 50 miliar, dan ribuan karyawan, kalau harga minyak anjlok ke US$ 20 per barel, sumbangan keuntungan dari hulu bisa nol. Bagaimana korporasi sebesar ini bisa berdiri, jika hulunya ambruk dan harus ditolong di sektor hilir,” jelasnya.
Dampak lain, kata Daeng, yang terkena imbas dari kemerosotan harga minyak dunia adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menyangkut puluhan ribu kontrak migas di Indonesia, di mana perusahaan migas raksasa di Tanah Air berniat memutus kontraknya, seperti Chevron. Chevron di Indonesia, sambungnya memproduksi migas 48 persen dari total minyak nasional.
“Tidak sanggup lagi beroperasi, jadi konsekuensinya ke pemerintah (APBN), karena dapat penerimaan dari bagi hasil minyak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika perusahaan asing tutup, darimana menutup defisit APBN yang besar. APBN kita bergantung pada industri migas,” terangnya.
Ujung-ujungnya, Daeng mengatakan, pemerintah terpaksa menambal defisit APBN dengan berutang, diantaranya menerbitkan surat utang dalam denominasi Rupiah maupun valuta asing.
Dikutip dari data Bank Dunia, ia menyebut, terjadi kenaikan utang pemerintah Rp 510 triliun dari penerbitan sekuritas di 2015 dan Rp 52 triliun dari penerimaan utang luar negeri langsung dari lembaga keuangan internasional.
Dengan demikian, pemerintah menciptakan utang baru sepanjang tahun lalu sebesar Rp 562 triliun. Kemudian penambahan utang tahun ini rencananya sekitar Rp 600 triliun dari penerbitan surat utang.
“Yang mikir masing-masing lagi adalah industri nasional akibat harga minyak anjlok. Industri kita siapa yang urus, apalagi industri kita harus menghadapi MEA. Industri kita punya hubungan dengan pekerjaan rakyat dan neraca eksternal,” jelas Daeng.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Ramson Siagian mengatakan, apabila asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) merosot mengikuti harga minyak dunia yang sekitar US$ 28-29 per barel, terjadi penurunan penerimaan dari sektor minyak Rp 63 triliun.
“Jadi memang berpengaruh pada struktur APBN dari PNBP di sektor migas hingga Rp 35 triliun. Pajak minyak juga turun karena pendapatan kontraktor migas jeblok. Ini berdampak juga buat Pertamina dan perusahaan migas non Pertamina,” pungkas Ramson. (liputan6.com, 24/1/2016)