Kesabaran umat Islam kembali diuji dengan adanya berbagai penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang membenci Islam dan umatnya. Sebagai contoh, menjelang akhir tahun 2015 yang lalu, kita dibuat terkejut dengan beredarnya terompet yang dibuat dari sampul al-Quran. Sedikitnya 345 buah terompet berbahan sampul al-Quran disita oleh Kepolisian dari empat penjual di kawasan alun-alun dan Stadion Anjuk Ladang Kabupaten Nganjuk. Saat diperiksa, keempat penjual terompet tersebut mengaku memperoleh terompet dari seorang perajin bernama Loso yang beralamat di Desa Ploso, Kecamatan Kota, Kabupaten Nganjuk. Petugas pun bergerak ke rumah Loso dan mendapati pria itu tengah memproduksi terompet. Saat ditanya terkait bahan baku kertas untuk membuat terompet tersebut, Loso berkilah tidak tahu kalau itu adalah kertas sampul al-Quran.
MUI sudah melaporkan pihak yang membuat terompet bersampul al-Quran kepada Kepolisian di Jawa Tengah agar dipidanakan. KH Ma’ruf Amin mengatakan, terompet dengan sampul al-Quran itu sudah bisa dikenai pasal penodaan, penistaan agama, dan penghinaan agama. “Saya kira orang yang membuat terompet dari sampul al-Quran itu disengaja dan orang yang membuat terompet itu tahu bahwa sampulnya adalah al-Quran,” kata KH. Ma’ruf Amin.
Terus Berulang
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. dan Islam memang penuh kesengajaan. Buktinya, penghinaan terhadap Nabi, al-Quran dan Islam itu terus berulang. Beberapa tahun lalu, Ayaan Hirsi Ali, mencari popularitas dan jabatan politik dengan menghina Islam. Politisi Belanda kelahiran Somalia ini mengecam Islam sebagai agama terbelakang dan merendahkan wanita. Dia juga menuduh Rasulullah Muhammad saw. sebagai orang yang sesat karena menikahi Aisyah ra. yang masih kanak-kanak. Dengan sangat keji, dia menuduh Rasulullah saw. itu pervers (mempunyai kelainan seksual). Hirsi juga membantu Theo Van Gogh membuat film yang berjudul, “Submission”. Dalam film itu dia menuduh al-Quran mendorong kekacauan dan pemerkosaan terhadap seluruh anggota keluarga.
Contoh lain adalah apa yang seperti terjadi di Bekasi, seorang Kristen menginjak al-Quran sambil mengacungkan jari tengah yang merupakan isyarat yang melecehkan. Di Batu Malang pada bulan April 2007, sekelompok Kristen juga mengadakan ritual yang mencaci-maki al-Quran. Sang pendeta mengatakan al-Quran telah menyesatkan berjuta-juta orang. Pendeta itu lalu meletakkan al-Quran di lantai dan kemudian menyuruh seluruh jamaah untuk bersama-sama menghujat dan memaki-maki al-Quran.
Penghinaan terhadap Islam juga dilakukan di negeri-negeri Barat. Di Amerika Serikat ada Pastor Terry Jones asal Florida. Ia mengajak seluruh warga AS membakar al-Quran dalam peringatan Tragedi 9/11. Ajakan itu dilakukan di depan Gereja Dove World yang berada di 5805 NW 37th Street, Ahad (29/4) sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Pastor Jones berpidato di depan para jamaahnya. Setelah hampir satu jam berpidato, ia pun membakar al-Quran dan gambar yang diklaim sebagai gambar Nabi Muhammad saw. di sebuah lubang api portabel.
Koran Jyllands-Posten Denmark menerbitkan kartun-kartun Nabi Muhammad saw. Dalam kartun tersebut digambarkan Rasulullah saw. membawa pedang dan menenteng bom. Bahkan dalam salah satu kartunnya, Rasulullah saw. digambarkan sebagai orang yang bersorban. Di sorbannya terselip bom (terlihat dari bentuk dan sumbunya). Lalu Januari 2006 kartun-kartun itu dimuat di media massa Norwegia. Bahkan karikatur-karikatur tersebut muncul di berbagai koran harian Prancis, seperti France Soir. Februari 2008, kartun-kartun tersebut dimuat kembali oleh sebelas media massa terkemuka di Denmark dan televisi nasional. Sedikitnya tiga harian di Eropa, yaitu Swedia, Belanda dan Spanyol juga mencetak karikatur penuh kebencian itu.
Tidak kalah menyakitkan lagi adalah apa yang dilakukan oleh Majalah Prancis Charlie Hebdo. Majalah ini memang gencar menerbitkan karikatur yang menghina umat Islam. Terakhir majalah ini menerbitkan gambar seorang Yahudi mendorong Nabi Muhammad saw. di atas kursi roda. Di halaman ceritanya, Charlie Hebdo menggambarkan Nabi saw. sedang telanjang. Bahkan ada dialog Nabi Muhammad saw. yang mengatakan dirinya sendiri seorang Yahudi.
Pada edisi ‘If Mohammed Comes Back’ atau ‘Si Mohammet Revenait’, media ini menggambarkan Nabi Muhammad saw. dipenggal kepalanya oleh kelompok ISIS. Karikatur ini menceritakan bahwa seandainya Nabi Muhammad saw. kembali pun ke bumi ini, maka dia akan bernasib tragis dengan cara dipenggal oleh ISIS. Karikatur terakhir ini diterbitkan justru ketika umat Islam seluruh dunia sedang merayakan Idul Adha.
Kita juga masih belum bisa melupakan bagaimana politikus Belanda, Geert Wilders, yang merupakan pemimpin Partij voor de Vrijheid (PVV) di Parlemen Belanda, membuat dan menayangkan film Fitna pada 27 Maret 2008. Tayangan tersebut menggambarkan pandangannya yang nyinir terhadap Islam dan al-Quran.
Kehadiran film “Innocence of Muslims” di YouTube juga telah menimbulkan aksi demonstrasi kemarahan umat Islam di berbagai penjuru dunia. Meski telah menimbulkan korban, termasuk Duta Besar AS untuk Libya, J. Christopher Stevens (12/9) lalu, hal itu tak membuat musuh-musuh Islam berhenti, apalagi takut mendiskreditkan Islam dan Nabi Muhammad saw.
Penghinaan yang menyita perhatian publik juga pernah terjadi pada tahun 1988 oleh Salman Rushdie dengan novelnya yang berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Dalam novel ini ia menggambarkan Muhammad sebagaimana mitos yang berkembang di Barat.
Anehnya, negara-negara yang mengaku demokratis, menjunjung tinggi nilai HAM dan berperadaban tinggi itu tidak mengambil tindakan yang berarti. Seakan orang yang menghina itu dilindungi atas nama kebebasan berekspresi sebagaimana kebebasan dalam demokrasi.
Jika kita analisis, kita bisa melihat ada beberapa hal yang bisa dijadikan motif di balik penghinaan yang terus berulang tersebut, di antaranya:
- Menciptakan stigma negatif terhadap Islam.
Berulangnya penghinaan yang selalu dilakukan oleh musuh-musuh Islam tidak terlepas dari motif mereka untuk menciptakan pandangan yang negatif terhadap Islam. Islam mereka gambarkan penuh dengan segala hal yang seolah-olah jauh dari nilai-nilai kemanusian; Islam agama para teroris, bersifat mengekang kebebasan, penuh dengan kekerasan. Akibatnya, masyarakat awam yang tidak pernah mendapatkan penjelasan tentang Islam secara langsung dari sumbernya akan menyimpulkan bahwa Islam adalah sebuah agama yang sebagaimana digambarkan oleh mereka yang membenci Islam.
- Kebencian terhadap Islam dan umatnya.
Penghinaan dan pelecehan terhadap Islam yang terjadi berulang hanyalah menunjukkan kebencian mereka kepada Islam. Itu lahiriahnya. Apa yang ada di dalam hatinya sungguh lebih besar daripada itu. Allah SWT berfirman:
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
Telah nyata kebencian dari mulut-mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati-hati mereka lebih besar lagi (QS Ali ‘Imran [3]:118).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan bahwa kebencian telah tampak dari wajah, sikap serta ucapan mereka; namun apa yang mereka tunjukkan tidak mencakup semua kebencian yang ada di dalam dada mereka. Karena itu jangan heran bila kebencian mereka berulang-ulang dan tidak akan berhenti hingga ada yang menghentikannya. Realitas menunjukkan negara-negara yang ada tidak dapat menghentikan. Aksi, protes dan kutukan terhadap pelakunya berlalu begitu saja. Hanya Khilafah yang dapat menghentikan para penghina Nabi saw., al-Quran dan Islam secara keseluruhan.
Dengan berlindung di balik salah satu slogan demokrasi, yakni freedom of behavior, mereka leluasa untuk menghina umat Islam. Bukti nyata adalah sikap diamnya Pemerintah AS terhadap pembakaran dan penyobekan al-Quran. Ini menunjukkan bagaimana kebebasan berpendapat identik dengan kebebasan menghina agama. Wildert, politikus ultranasionalis Belanda yang jelas-jelas menghina Rasulullah saw. dan al-Quran, dibenarkan dengan alasan kebebasan berpendapat.
Sikap kontradiktif pun tampak saat Kanselir Jerman Angela Merkel mengecam pembakaran al-Quran. Namun, di sisi lain dia memberikan penghargaan terhadap kartunis Denmark penghina Rasulullah saw. Kanselir Jerman Angela Merkel menyalami dengan penuh senyum Kurt Westergaard.
- Menjauhkan umat Islam dari upaya penerapan kembali syariah secara total di bawah naungan Khilafah.
Saat ini kesadaran umat Islam akan tanggung jawab dan kewajiban mereka untuk menegakkan kembali syariah Islam secara kaffah melalui tegaknya institusi politiknya, yakni Khilafah Islamiyah, makin meluas dan membesar. Demikian pula kesadaran mereka terhadap berbagai macam kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme-demokrasi-sekular.
Hal ini tentu membuat musuh-musuh Islam berupaya kuat untuk membendung laju derasnya perjuangan tersebut. Salah satunya adalah dengan terus melakukan penghinaan dan stigmatisasi negative terhadap Islam, khususnya ide syariah dan Khilafah. Akibatnya, sebagian umat Islam enggan berupaya untuk kembali menerapkan syariah secara menyeluruh di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Padahal ketiadaan Khilafahlah yang menyebabkan umat Islam terus menerus dihina oleh musuh-musuh mereka.
Al-Imam al-Jalil Syaikh Izzuddin bin ‘Abdissalam yang dikenal dengan julukan Sulthân al-Ulamâ’ pernah mengatakan, “Jika Khilafah tiada, jalan-jalan tak kan aman bagi kita. Orang lemah jadi santapan orang kuat di antara kita.”
Jauh sebelumnya, Hanzhalah bin Shaifi al-Katib, salah seorang sekretaris Nabi saw., pernah berkata saat ada fitnah untuk menggulingkan Khalifah Ustman bin Affan: “Aku heran dengan apa diobrolkan manusia. Mereka ingin Khilafah lenyap. Padahal jika Khilafah lenyap, kebaikan dari mereka pun lenyap. Setelah itu mereka akan hina-dina.”
Jadi, belumkah tiba saatnya umat Islam untuk sungguh-sungguh berjuang bagi tegaknya Khilafah Islam? Tanpa Khilafah umat menjadi sangat lemah. Ini bukti ke sekian kali, betapa penghinaan terhadap Islam, Nabi Muhammad saw. dan al-Quran menunjukkan bahwa umat Islam dewasa ini memang sangat lemah sehingga gampang diperlakukan secara semena-mena. Khilafah akan menyatukan umat. Dengan persatuan umat, Islam akan menjadi kuat kembali sehingga mampu menegakkan ’izzul Islam wal Muslimin; termasuk melindungi kehormatan ajaran Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad saw yang mulia.
Lihatlah dulu masa Khilafah Utsmaniyah pada abad ke 19 M saat pertunjukan Drama karya Voltaire berjudul, “Muhammad dan Kefanatikan”, yang isinya menghina Nabi Muhammad saw., akan digelar di Paris Prancis. Saat itu Dubes Khalifah Turki Utsmani di Paris segera memprotes hal itu kepada penguasa Paris. Semula Penguasa Paris keberatan atas protes tersebut dan mengatakan bahwa drama itu adalah kebebasan rakyat Prancis untuk berekspresi. Apalagi rakyat masih hangat dengan slogan Revolusi Perancis: Liberty-Egality-Fraternity. Namun, karena Dubes Khalifah mengancam Prancis, penguasa Paris akhirnya membatalkan rencana pementasan drama tersebut. Kemudian grup drama itu beralih pindah ke London untuk pentas di sana. Kembali Dubes dari Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah Turki Utsmani yang berada di London pun protes. Ketika pemerintah London mengatakan bahwa rakyat London memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasan lebih besar daripada hak rakyat Paris, maka Dubes Khalifah mengancam bahwa umat Islam sedunia akan melakukan jihad akbar melawan pemerintah Inggris yang telah menghina Nabi Muhammad saw. Pemerintah London pun akhirnya membatalkan rencana drama yang menghina Nabi Muhammad saw tersebut. AlLâhu akbar![Adi Victoria (Humas HTI Kaltim)]