Pertumbuhan Ekonomi Kapitalis (Simbol Kemakmuran Menipu dan Semu)

krisis ekonomi globalPresiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2015 mencapai 5,04 persen.

“Alhamdulillah baru tadi pagi sudah diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kita naik ke 5,04 persen. Ini menjadikan kita optimis, ini menjadikan kita modal berani menatap ke depan karena situasi-situasi yang sangat berat tahun kemarin bisa kita hadapi,” kata Jokowi dalam sambutannya pada Musyawarah Kerja Nasional PKB di Balai Sidang Jakarta (05/2/2016).

Sementara beberapa waktu yang lalu siaran pers Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan ada 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih menderita kelaparan setiap hari. Jumlah ini adalah sepertiga dari 60 juta orang yang tercatat masih menderita kelaparan di Asia Tenggara. (Kompas.com)

Kita tidak ingin membahas apakah laporan BPS itu valid atau tidak. Apakah Presiden Jokowi berbohong, berdusta, atau menipu. Karena nyatanya PHK di mana mana, sektor pertambangan anjlok, harga produk ekspor unggulan seperti karet, kelapa sawit mengalami penurunan.

Sebaliknya impor barang begitu massif, dan tingkat konsumsi masyarakat juga menurun akibat harga pangan yang kian mahal. Tapi memang, ribuan buruh China membanjiri beberapa wilayah negeri dan aliran investasi (utang) dari China sangat deras.

Fokus tulisan ini adalah pada persoalan pertumbuhan ekonomi kaitannya dengan kemakmuran dalam sistem Ekonomi Kapitalis. Pertumbuhan dan kemakmuran dalam Ekonomi Kapitalis jauh panggang dari api. Bahwa pertumbuhan ekonomi tidak pernah memberikan kemakmuran nyata bagi seluruh rakyatnya.

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dunia –dalam sistem Kapitalis– justru hanya semakin meniscayakan jurang pemisah antara kaya dan miskin.

Oxfam –sebuah badan amal anti-kemiskinan–, merilis sebuah laporan berjudul, “Wealth: Have it All and Wanting More/Orang-orang Kaya: Memiliki Semuanya dan Ingin Lebih”, mengungkapkan bahwa: 1 persen orang terkaya, memiliki kekayaan rata-rata $ 2,7 juta per orang dewasa pada tahun 2014, meningkat dari 44 persen pada 2009 menjadi 48 persen pada tahun 2014.

Sebanyak 1% orang terkaya di dunia, memiliki kekayaan yang jumlahnya sama dengan total kekayaan 99% penduduk dunia. Oxfam juga menyebut bahwa kekayaan 62 orang paling kaya di dunia, setara dengan gabungan kekayaan dari setengah orang paling miskin di dunia (3,6 milyar jiwa).

“Kita selalu berbicara bahwa negara-negara di dunia akan menciptakan kesejahteraan untuk semua orang, tetapi yang terjadi adalah kita hanya memperkaya 1% orang di dunia ini,” tulis laporan Oxfam.

Sistem Ekonomi Kapitalis memang menjadikan aspek pertumbuhan ekonomi untuk melihat kemakmuran suatu bangsa. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai sebuah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu (Wikipedia.com). Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan cara membandingkan. Misalnya untuk ukuran nasional, Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya.

Arti dari Gross National Product (GNP), adalah seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar pada suatu negara. Jadi GNP merupakan produksi barang suatu negara dirata-rata dengan jumlah penduduk di negara tersebut.

Kemakmuran yang digambarkan sistem ini adalah kemakmuran negara, kemakmuran rata-rata, bukan kemakmuran nyata per individu masyarakat. Pertumbuhan yang terjadi, barang dan jasa yang dihasilkan, konsumsi yang dilakukan, adalah barang dan jasa yang dilakukan oleh negara. Kemakmuran negara hakikanya tidak menggambarkan kemakmuran warga negara. Bahkan seringkali kenyataannya kemakmuran yang menipu. GNP tinggi, namun rakyat banyak tetap sengsara.

Karenanya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2015 yang mencapai 5,04 persen tersebut dilakukan oleh siapa? Pekerja yang menghasilkan barang dan jasa dari mana? dan kemakmuran hasil pertumbuhan itu untuk siapa? Nyatanya rakyat banyak tetap miskin.

Kaum muslim…
Persoalan ekonomi dalam pandangan Islam bukan pada pertumbuhan. Pertumbuhan adalah keniscayaan yang pasti akan dilakukan manusia, dan itu dengan mudah didapatkan dengan teknologi. Disamping itu pula, kekayaan yang Allah berikan di bumi ini sangat berlimpah untuk umat manusia.

Persoalan ekonomi dalam pandangan Islam justru pada aspek distribusi. Tercapainya aksesibilitas barang dan jasa oleh semua warga negara. Kemakmuran dalam sistem Ekonomi Islam adalah kemakmuran per individu, bukan kemkmuran rata-rata dari negara.

Karenanya, politik ekonomi Islam berbasis pada distribusi. Politik Ekonomi dalam Islam adalah menjamin terealisirnya pemenuhan semua kebutuhan primer setiap warga negara secara menyeluruh, berikut kemungkinan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang mempunyai nilai-nilai kehidupan yang khas –kehidupan masyarakat dengan aturan halal dan haram–. (Taqiyuddin An Nabhaniy, Sistem Ekonomi Islam).

Islam memandang kemakmuran orang secara pribadi, bukan kemakmuran secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama-tama Islam memandang setiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh.

Berikutnya, baru Islam memandang manusia –dengan kapasitas pribadinya—untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam mamandang manusia sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam interaksi , yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan gaya hidup tertentu.

Jadi takaran kemakmuran dalam Islam bukanlah takaran kemakmuran negara. Fenomena hukum zakat dalam Islam, bisa menjadi indikator kemakmuran sekaligus parameter distribusi kekayaan. Yakni dengan membandingkan antara jumlah mustahiq (penerima zakat) dan muzakky (yang wajib berzakat).

Jika dalam suatu negara terlalu banyak mustahiq, maka kemakmuran individu bermasalah. Tapi jika tidak ada mustahik (seperti zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz), maka negara dalam keadaan makmur secara nyata.

Parameter sederhana ini nyata melihat kemakmuran masing-masing individu suatu negara, bukan dengan GNP dan gambaran pertumbuhan ekonomi, yang nyatanya justru menyajikan kemakmuran menipu dan semu.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*