Oleh Badrul Munir (Dokter Spesialis Saraf Divisi Infeksi, Bekerja Merawat HIV-AIDS RS Saiful Anwar Malang)
REPUBLIKA.CO.ID, Perkembangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia masih cukup menarik untuk ditelaah. Apalagi, persoalan LGBT di Indonesia berhasil membelah masyarakat menjadi dua kelompok yang saling bertentangan.
Hal ini terlihat dari pendapat masyarakat yang saling berhadapan dalam beberapa artikel di media nasional dan media sosial. Opini mereka sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pola pikir mereka, serta orientasi hidup yang bersangkutan.
Hal lain yang perlu ditelaah adalah semakin beraninya penggiat dan komunitas LGBT menunjukkan eksistensinya. Dahulu, perbuatan ini dianggap malu dan tidak sesuai norma kesusilaan di masyarakat. Namun, kini sudah semakin cair dengan perkembangan zaman karena pada era globalisasi seperti sekarang ini, hak asasi manusia dan kebebasan sangat dijunjung tinggi.
Para penggiat LGBT dan HAM berpendapat bahwa hidup dan berhubungan sejenis merupakan hak individu yang boleh dilakukan siapa pun asal tidak merugikan orang lain. Hubungan sejenis suka sama suka bukan suatu pelanggaran, bahkan suatu pilihan hidup asasi seseorang.
Filosofi dari penggiat LGBT ini adalah kebebasan. Artinya, setiap manusia bebas apa saja asal tidak merugikan orang lain, termasuk dalam orientasi seksual mereka tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Karena merupakan hak asasi manusia, komunitas ini terus memperjuangkannya, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Perjuangan di Indonesia melalui beberapa media. Salah satu media yang memudahkan misi ini dengan mendompleng kebebasan akademis di kampus atau lembaga pendidikan tinggi lainnya.
Keberhasilan penggiat LGBT semakin mendapat angin segar saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menghapus LGBT dari kelainan jiwa dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM V). Keberhasilan besar ini kemudian didorong oleh kelompok LGBT ini dijadikan Hari Gay Sedunia.
Boleh saja para penggiat hak asasi manusia berjuang keras “melegalkan” LGBT agar diperlakukan sebagai manusia lain yang memiliki hak untuk hidup dan memilih orientasi seksualnya. Akan tetapi, dampak LGBT dalam bidang kesehatan di bawah ini mungkin bisa jadi renungan mereka semua.
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada 2010 memaparkan, dari 50 ribu infeksi HIV baru, ternyata dua per tiga dari mereka adalah kelompok gay-MLM (male sex male). Dan, yang mengejutkan, satu di antara lima gay yang terinfeksi HIV tidak peduli penyakit HIV-AIDS. Artinya, tidak ada usaha untuk mencegah HIV tertular ke orang lain dan berpotensi menular ke partner seks lainnya.
Data ini bila dibanding pada 2008, terjadi peningkatan 20 persen gay yang tertular HIV. Dan, data lain dari CDC, wanita transgender mempunyai risiko terinfeksi HIV 34 kali lebih tinggi dibandingkan wanita biasa.
Data terbaru pada 2013 lebih mengerikan. Dari hasil screening gay umur 13 tahun ke atas, didapatkan sebesar 81 persen terinfeksi HIV dan 55 persen terdiagnosis AIDS.
Selaras dengan kejadian di Amerika, penularan HIV pada LGBT di Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang cukup bermakna. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional terjadi peningkatan jumlah penderita HIV di kelompok homoseksual dari enam persen (2008) menjadi delapan persen (2010) dan terus menjadi 12 persen (2014). Sedangkan, jumlah ODHA kelompok wanita pekerja seksual stabil di angka delapan-sembilan persen.
Bila nantinya para LGBT terinfeksi HIV dan menderita AIDS yang harus dirawat di rumah sakit, siapa yang paling bertanggung jawab dan menjaganya? Apakah para penggiat LGBT dan HAM yang merawat dan menjaganya?
Saya pastikan tidak. Pengalaman penulis yang mengobati pasien HIV-AIDS di rumah sakit menemukan, yang menjaga di rumah sakit adalah keluarga dekatnya. Dan, dalam wawancara dengan mereka, pada umumnya sangat menyesal dan menyayangkan mengapa keluarganya harus menderita penyakit HIV-AIDS ini. Padahal, saat masih sehat, anjuran menghindari potensi penularan HIV-AIDS sudah berkali-kali diingatkan.
Satu hal lagi yang ironi adalah saat anggota LGBT terinfeksi HIV-AIDS karena penyimpangan seksual, mereka akan sangat tersinggung bilamana ada sekelompok masyarakat yang dianggap menjauhi mereka karena takut tertular, menganggap mereka tidak empati, dan memberi stigma negatif ODHA.
Oleh karena itu, dunia mengampanyekan antidiskriminasi dan antistigma negatif terhadap HIV-AIDS. Memang tidak semua ODHA berasal dari penyimpangan seksual, tetapi data menunjukkan, penyebaran utama adalah hubungan seksual tidak aman, termasuk homoseksual dan LGBT.
Sementara, saat “calon ODHA” masih sehat, semua anjuran untuk hidup sehat dan menghindari potensi penularan HIV-AIDS, seperti seks bebas dan homoseksual, dianggap melanggar hak asasinya dan dilawan terus atas nama kebebasan serta hak asasi manusia. Ini adalah sebuah ironi yang sedang terjadi di masyarakat ini, tetapi nyata adanya.
Sesungguhnya, para penggiat LGBT yang mengatasnamakan hak asasi manusia dan kebebasan adalah para penganjur seseorang untuk memilih jalan yang “salah”. Ketika korban terperosok ke dalam penyakit HIV-AIDS, mereka pasti tidak mau menanggungnya dan menyerahkan dampak kepada penderita dan keluarganya.
Sesuatu yang sungguh ironi. Yang lebih ironi lagi adalah bilamana sekelompok manusia yang disematkan kepadanya seorang ilmuwan Muslim yang mengeluarkan pendapat bahwa LGBT dan homoseksual adalah halal dan tidak berdosa dengan merekonstruksi tafsir kitab suci sesuai selera mereka.
Penggiat LGBT jangan hanya mengedepankan asas kebebasan dan HAM, tetapi lihatlah dampak LGBT dan bertanggung jawablah apabila mereka, para LGBT, terinfeksi HIV-AIDS, dengan ikut merawat dan menjaganya. Maka itu, barulah mereka disebut “penggiat LGBT sejati” karena selama ini mereka hanya lempar batu sembunyi tangan. []
Sumber: republika.co.id (12/2/2016)