Pernyataan peneliti LIPI Anas Saidi yang menyebut radikalisme ideologi Islam berpotensi perpecahan bangsa dan mengancam ideologi Pancasila mendapat sanggahan telak dari anggota CMO Hizbut Tahrir Fika Komara.
“Upaya mengaitkan pemahaman Islam ideologis dengan potensi perpecahan bangsa dan ancaman bagi Pancasila merupakan kesimpulan yang ahistoris sekaligus gegabah!” tegasnya seperti dimuat laman facebook Far-Eastern Women’s Voices for the Khilafah, Senin (22/2).
Pernyataan Anas yang menyebut istilah “radikalisme ideologi” juga mendapatkan kritik tajam. Menurut Fika, jika yang dimaksud radikalisasi sebagai proses menjadikan sesuatu mendasar dan sampai pada hal yang prinsip, maka demikian selayaknya seorang Muslim memahami Islam. Persoalannya, upaya ini jelas tidak mendapat ruang dalam kehidupan sekuler. Sebaliknya, sekularisme dan liberalisme mendapat ruang leluasa meradikalisasi dan mengkader putra-putri umat Islam menjadi para pemuja sekularisme dan duta liberalisme.
“Ibarat maling teriak maling, kapitalisme, sekularisme dan liberalisme lah yang secara nyata telah mengoyak bangsa,” kata Fika.
Menurutnya, pemahaman Islam ideologis telah hidup mengakar dalam keseharian umat di nusantara, bahkan berperan besar dalam memobilisasi perlawanan secara fisik dan intelektual terhadap penjajahan.
Ada pun data yang menjadi sandaran Anas dalam sesumbarnya adalah hasil survei yang menunjukkan bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak lagi relevan. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan syariat Islam.
Fika mengingatkan, data yang menunjukkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak lagi relevan penting untuk didalami kembali bahkan idealnya menjadi autokritik. Kenyataannya, krisis ideologi memang sedang terjadi, dan Indonesia menjadi bulan-bulanan penjajahan di segala bidang.
“Pemahaman ideologi yang dimiliki umat saat ini tidak mampu membendung derasnya pukulan kapitalisme,” ungkapnya.
Adapun angka 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan syariat Islam menunjukkan bahwa umat percaya pada kapasitas Islam sebagai ideologi alternatif.
“Meskipun demikian, keliru jika data ini dihubungkan dengan potensi bergabung dengan ISIS, sebab ISIS tidak mencerminkan penerapan ideologi Islam bahkan sebaliknya mencoreng dan menyudutkan Islam,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo