HTI Press, Jakarta. Ketika kampanye Jokowi mengusung Nawacita tetapi setelah menjadi presiden faktanya nawa Cina, sehingga menimbulkan resistensi dan kembali populernya istilah pribumi dan non pribumi untuk melawan Cina yang semakin menghegemoni.
“Saya tidak ingin mendikotomi pribumi dan non pribumi karena kalau ikatan hanya sekedar pribumi dan non pribumi itu tidak kuat,” ujar Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Arim Nasim dalam acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) Edisi 62: Indonesia Dicaplok Cina? Rabu (24/2) di Gedung Joang ’45, Jakarta.
Ikatan yang terkuat yang akan mampu membangkitkan sebuah bangsa adalah ikatan ideologi, ikatan akidah. “Karena itu, menurut saya yang harus kita bicarakan adalah ikatan ideologi yang akan membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan imperialisme. Ideologi apa? Tiada lain, ideologi Islam,” tegasnya.
Menurutnya, ideologi yang berasal dari agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia ini dapat mengikat dan membangkitkan semua. “Islam secara utuh inilah yang harus kita pahami sebagai solusi. Sehingga kita tidak akan tertipu dengan solusi-solusi yang sifatnya pragmatis dan temporer tetapi solusi yang memang sangat mendasar. Sehingga bukan hanya problem orang tetapi juga problem sistem,” bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib mengatakan yang membuat Cina dengan mudah dapat mencaplok Indonesia adalah karena liberalisme politik dan liberalisme ekonomi. “Dan ini tidak bisa dihentikan selama Indonesia tetap menggunakan sistem yang ada. Demokrasi sebagai pintu pembuka dan menjaga neoimperialisme harus dicampakkan diganti dengan Islam,” pungkasnya.
Dalam acara yang dihadiri ratusan warga Jakarta dan sekitarnya itu, nampak pula pembicara lainnya yakni Guru Besar Ilmu Politik UI Prof Nazaruddin Sjamsudin, pengamat politik Sri Bintang Pamungkas dan peneliti AEPI Salamuddin Daeng.[] Joko Prasetyo