Arab Saudi mengumumkan pada hari Jum’at (19/2) tentang penghentian bantuan untuk persenjataan tentara Lebanon dan pasukan keamanan dalam negeri, sebesar tiga miliar dolar AS. Arab Saudi juga menegaskan tentang “penghentian sisa bantuan yang dialokasikan untuk pasukan keamanan dalam negeri Lebanon yang diperkirakan satu miliar dolar AS.” Kantor berita resmi Arab Saudi mengutip dari sumber seorang pejabat Saudi yang mengatakan bahwa “Kerajaan menghentikan bantuannya untuk persenjataan tentara Lebanon dan pasukan keamanan dalam negeri Lebanon, sebab Arab Saudi melihat sikap Lebanon yang tidak sesuai dengan hubungan persaudaraan antara kedua negara.” Ia menambahkan bahwa “Lebanon di Dewan Liga Arab dan Organisasi kerjasama Islam tidak mengutuk serangan terang-terangan terhadap Kedutaan Arab Saudi di Teheran dan Konsulat Umum di Masyhad (kota kedua terbesar di Iran dan salah satu kota suci Syi’ah).”
Bantuan Arab Saudi untuk tentara dan pasukan keamanan Lebanon ditetapkan di era pemerintahan Abdullah bin Abdul Aziz pada akhir 2013 untuk pembelian senjata dari Perancis. Surat kabar Financial Times mengomentari bantuan Arab Saudi ini dengan mengatakan: “Arab Saudi telah mengambil langkah untuk menghadapi kekuatan regional yang meningkat pada Iran, Hizbullah dan Suriah. Langkah ini juga merupakan langkah penghinaan terhadap Washington karena mengutamakan pembelian senjata Perancis daripada Amerika dengan dana Arab Saudi.” (skynewsarabia.com, 30/12/2013).
Hal itu dilakukan karena Arab Saudi di era pemerintahan Abdullah bin Abdul Aziz adalah antek Inggris yang melayani pengaruh Eropa di kawasan itu. Sehingga transaksi dilakukan untuk memperkuat pengaruh Eropa di Lebanon, militer dan pasukan keamanan melalui Perancis yang menikmati loyalitas budaya di Lebanon. Sementara pelaksanaan dari mempersenjatai militer dan pasukan keamanan Lebanon tidak berhenti pada penjualan senjata saja, namun memerlukan pelatihan sumber daya manusia untuk penggunaan peralatan, mesin dan senjata baru, serta kebutuhan untuk operasi pemeliharaan permanen, suku cadang dan amunisi. Jadi, secara keseluruhan hal tersebut akan memperkuat pengaruh Eropa di militer Lebanon dalam rangkan menghadapi partai Iran (Hizbullah) di Lebanon, yang melindungi pengaruh AS di Lebanon.
Namun perubahan wajah penguasa di Arab Saudi, dengan munculnya para antek Amerika dalam pemerintahan, maka secara otomatis para antek Amerika di Arab Saudi akan menghentikan proyek apapun yang mengancam kepentingan Amerika atau pengaruhnya di kawasan itu. Surat kabar Perancis Le Monde (20/1) mengungkapkan bahwa Riyadh memblokir jalan untuk mencegah pelaksanaan kontrak yang dilakukan oleh almarhum Raja Abdullah bin Abdul Aziz dengan Perancis untuk mempersenjatai tentara Lebanon. Surat kabar menyoroti perdebatan terkait penyerahan bantuan Arab Saudi 2,3 miliar dolar kembali ke normalnya pada akhir 2015, setelah dibekukan sejak April 2015, saat penyerahan tahap pertama untuk persenjataan militer. Menurut Le Monde, Deputi Putra Mahkota Arab Saudi, sekaligus Menteri Pertahanan, Pangeran Muhammad bin Salman sedang menyusun kerangka kerja baru untuk hubungan bilateral antara Perancis dan Arab Saudi.
Le Monde juga mengungkapkan bahwa Muhammad bin Salman baru-baru ini mengirim surat ke Paris berisi tuntutan penghapusan badan ekspor senjata Perancis “ODAS” yang melakukan kontrak lebih dari 100 juta euro antara kedua negara selama periode tahun 1974 dan 2014, terkait sejumlah transaksi senjata Perancis dan Kerajaan Arab Saudi. Surat kabar menjelaskan bahwa “Pangeran tidak mau mediator, dan ingin prosedur baru untuk penjualan senjata.” Le Monde menambahkah: “Sejak tahun lalu, beberapa hal telah dilarang terkait pelaksanaan perjanjian, dan mengubah bantuan Arab Saudi untuk militer, yang paling penting adalah misteri dalam politik Lebanon, kosongnya kepemimpinan, dan formasi baru di Riyadh yang diikuti meninggalnya Raja Abdullah.”
Penghentian bantuan Arab Saudi ini bukan kebetulan atau reaksi atas sikap luar negeri Lebanon pada insiden kota “Masyhad”, namun komentar tentang bantuan ini mulai terdengar dengan tampilnya para antek Amerika yang memimpin Arab Saudi. Sejak itu dibuatlah berbagai hambatan di depan penyelesaian transaksi untuk membatalkannya di kemudian hari.
Sehingga dugaan bahwa tindakan Arab Saudi ini dilakukan untuk melawan partai Iran (Hizbullah) di Lebanon adalah dugaan yang keliru, karena tujuannya adalah membiarkan persenjataan militer dan pasukan keamanan di tangan Amerika, dan membuat pembatasan yang menjamin kekuatan tentara tetap dalam kendali negara bukan partai Iran (Hizbullah) di Lebanon, sehingga kepentingan fokus pada mempertahankan partai Iran (Hizbullah) di Lebanon yang menjadi pelindung bagi pengaruh kepentingan Amerika, setidaknya pada saat ini kepentingan Amerika butuh untuk memperkuat militer dan pasukan keamanan, serta memperbesar sayap partai Iran (Hizbullah) di Lebanon, dan sejauh ini semua itu belum tercapai.
Sebagaimana perubahan wajah yang terjadi pada penguasa di Arab Saudi setelah kematian Abdullah bin Abdul Aziz, dan berkuasanya antek Amerika Salman bin Abdul Aziz, penunjukan antek Amerika paling loyal Muhammad bin Nayef sebagai Putra Mahkota, serta penunjukan secara tiba-tiba Muhammad bin Salman sebagai Deputi Putra Mahkota untuk mengamankan keputusan ayahnya. Maka perubahan juga menyelimuti Gerakan 14 Maret secara umum, dan khususnya Gerakan Masa Depan. Sehingga mulai muncul di tengah Gerakan adanya ketidakharmonian dengan berbagai tuntutan perubahan antek dalam kepemimpinan Arab Saudi.
Hal ini tampak menonjol dalam perberbedaan sikap terhadap pencalonan Hariri terhadap Frangieh, di mana perbedaan ini tidak hanya dalam Gerakan 14 Maret saja, namun juga dalam Gerakan Masa Depan itu sendiri, yang kemudian memunculkan benih-benih perpecahan dalam Gerakan, dan sejumlah tandingan kepemimpinan Hariri dalam Gerakan, serta penarikan Menteri Kehakiman Ashraf Rifi dari pertemuan kabinet sebagai protes terhadap Dewan Yudisial atas kurang seriusnya terkait kasus mantan menteri Michel Samaha. Kemudian hal itu direspon dengan cepat oleh Saad Hariri melalui kicauannya di Twitter, di mana ia mengatakan bahwa “Sikap menteri Rifi tidak mewakili saya, dan tidak seorangpun yang menawar lebih tinggi pada kami terkait pembunuhan Wissam al-Hassan, atau pengadilan kasus Samaha, sebab siapapun yang telah melakukan kejahatan akan dihukum.” Juga penentangan Ashraf Rifi secara terbuka atas pencalonan Hariri terhadap Suleiman Frangieh untuk presiden, yang mendorong kunjungan Sekjen Gerakan Masa Depan Ahmad Hariri ke Tripoli, dan menyatakan bahwa “Tidak ada penyataan yang mengalahkan pernyataan Saad Hariri dalam Gerakan Masa Depan.”
Bahkan dimungkinkan bahwa perubahan ini akan mempengaruhi kombinasi aliansi politik di Lebanon, sehingga memunculkan aliansi baru yang akan mengakhiri dualisme Gerakan 8 dan 14 Maret, dan mungkin saja pengunduran diri Ashraf Rifi dari kementerian, lalu menjadikan keputusan ini mejauhkan dari Gerakan Masa Depan dan memulai untuk mereposisi aliansi di Lebanon. Rifi mengatakan untuk “al-Arabi al-Jadid” (21/2/2016) bahwa “Dirinya tidak mungkin lagi untuk menjadi saksi palsu untuk erosi negara demi mendukung negara mini, (Hizbullah).” Ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya adalah untuk “inti permasalahan” sesuai dengan proyek partai “sebab semua orang harus menhadapi masalah ini.” Rifi menegaskan bahwa dirinya tidak berkonsultasi dengan siapa pun sebelum mengajukan pengunduran dirinya, dan mengatakan: “Ia hanya percaya dengan dirinya sendiri, bukan karena pengaruh orang lain, dan dirinya tidak akan pernah menjadi saksi palsu.” Bahkan Rifi menegaskan bahwa ia melakukan langkah ini untuk mencegah pemberian lebih konsesi.
Dengan demikian, Lebanon akan tetap menjadi tawanan dalam kekuasaan para antek dan boneka yang menenggelamkannya dalam limbah-limbah kerusakan politik daripada menenggelamkannya dalam limbah-limbah rumah untuk dikembalikan ke kondisi semula sebagai bagian dari negeri Syam dalam naungan negara Khilafah ‘ala minhājin nubuwah! (mb-alraiah.net, 24/2/2016).