Draf revisi UU Terorisme yang diusulkan pemerintah Indonesia mendapatkan sejumlah kritik karena dinilai ‘rentan pelanggaran HAM’ dan ‘berpotensi merampas kebebasan sipil’.
Sejumlah pasal dalam draf revisi UU yang dianggap rentan di antaranya adalah perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari.
Wakil ketua lembaga pemerhati HAM Setara, Bonar Tigor, menilai masa penahanan yang panjang ini melanggar HAM.
”Masa 30 hari ini sangat bertentangan dengan konvensi internasional tentang hak sipil dan politik. Standar internasional seseorang boleh ditangkap dan dimintai keterangan itu 1×24 jam,” kata Bonar dalam keterangan pers Kamis (03/03).
“UU Terorisme yang lama juga sebetulnya banyak mendapatkan kritikan karena itu tujuh hari, ini kok ditambah 30 hari, ini berpotensi abuse of power. Akan ada pelanggaran kebebasan hak sipil,” jelas Bonar.
Menurut Bonar, pelanggaran HAM juga dapat terjadi karena tanpa ada kewajiban terduga pelaku pidana terorisme didampingi pengacara.
Pasal lain yang dianggap tidak memiliki landasan hukum dalam UU No 15 tahun 2003 yaitu 43A, yang memberikan kewenangan untuk membawa atau menempatkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme ke suatu tempat dalam waktu enam bulan.
‘Mirip Guantanamo’
Anggota Badan legislasi DPR, Arsul Sani, mengatakan sepakat untuk merevisi UU terorisme tetapi perluasan kewenangan aparat untuk memberantas terorisme harus diimbangi dengan HAM. “Yaitu kewenangan oleh aparat penegakan hukum dalam konteks pencegahan untuk menempatkan seseorang ini bisa tersangka, keluarganya atau orang yang terimplikasi dengan dugaan kelompok teroris, menempatkan di satu tempat selama enam bulan, kita ingin bertanya konteksnya seperti apa dan konsep operasionalnya seperti apa?” kata Arsul.
“DPR tidak mau ada model-model Guantanamo di Indonesia nantinya,” katanya.
Arsul menilai model penahanan seperti itu mirip dengan penjara di Teluk Guantanamo yang dibangun AS untuk menampung terduga kasus terorisme tanpa melalui pengadilan.
Sebelumnya, organisasi HAM Kontras menyebut, gagasan revisi UU Terorisme bisa diselewengkan untuk membungkam kalangan yang tak sepaham atau kritis terhadap pemerintah.
Komite pengawas
Menanggapi banyak kritik terhadap draf revisi UU Terorisme yang merupakan insisiatif dari pemerintah itu, juru bicara Kemenpolhukham, Agus Barnas, mengatakan perluasan kewenangan yang diberikan kepolisian untuk memperpanjang masa penangkapan dan penahanan terduga pelaku tindak pidana terorisme masih sejalan dengan aturan
Ia juga menegaskan isi draf tersebut akan tetap menghormati HAM.
Upaya untuk merevisi UU terorisme telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu, tetapi kemudian dipercepat setelah serangan bom dan senjata di kawasan Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari lalu.
Setara mengatakan untuk mencegah penyelewengan dan pelanggaran HAM kerja aparat yang melakukan pemberantasan terorisme harus ada mekanisme akuntabilitas dengan membentuk komite pengawas. (bbc.com, 3/3/2016)