Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi**
Pendahuluan
Sungguh runtuhnya Khilafah pada tahun 1924 di Turki adalah suatu tragedi yang maha dahsyat bagi umat Islam. Betapa tidak, sebagai institusi politik Islam yang dirintis langsung oleh Nabi Muhammad SAW sejak hijrah di Madinah tahun 622 M, Khilafah harus menutup sejarahnya yang panjang dengan sad ending (akhir yang menyedihkan).
Maka dari itu tidak heran, oleh Syeikh Fat-hi Az Zaghrut dalam bukunya An Nawazil Al Kubra fi At Tarikh Al Islami (Tragedi-Tragedi Besar dalam Sejarah Islam), runtuhnya Khilafah dicatat sebagai satu dari empat tragedi besar dalam sejarah umat Islam. Tiga tragedi besar lainnya adalah; pertama, runtuhnya Baghdad akibat serangan Mongol (1258 M). Kedua, perang Salib dan jatuhnya Al Quds (492 H/1099 M). Ketiga, runtuhnya Andalusia di Spanyol (abad ke-15 M). (Dr. Fat-hi Az Zaghrut, An Nawazil Al Kubra fi At Tarikh Al Islami, (Shabra: Al Andalus Al Jadidah, cetakan ke-1, 2009).
Mungkin ada yang bertanya, apakah tragedi besar runtuhnya Khilafah itu pernah diisyaratkan oleh wahyu, dan bagaimana umat Islam harus menyikapi runtuhnya Khilafah? Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mencoba menjawab dua persoalan tersebut.
Isyarat Runtuhnya Khilafah
Sejak tahun 1924 (tepatnya 3 Maret 1924 M) Khilafah hancur, karena diubah menjadi negara sekuler (republik) oleh Mustafa Kamal, antek Inggris yang murtad. Ada beberapa isyarat dari wahyu, yaitu hadits-hadits Nabi SAW, yang mengisyaratkan akan terjadinya keruntuhan Khilafah ini. Di antaranya adalah hadits-hadits sebagai berikut :
Pertama, sabda Rasulullah SAW :
ألا إن الكتاب والسلطان سيفترقان فلا تفارقوا الكتاب
“Perhatikanlah! Sesungguhnya Al Qur`an dan kekuasaan akan terpisah. Maka janganlah kamu berpisah dari Al Qur`an!” (HR Thabrani).
Hadits ini menunjukkan bahwa Al Qur`an dan kekuasaan pada asalnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya, kekuasaan di tengah umat Islam prinsip dasarnya adalah berdasarkan Al Qur`an, bukan yang lain. Inilah yang telah terwujud sejak Nabi SAW mendirikan daulah Islamiyyah di Madinah yang dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelah beliau. Akan tetapi, Nabi SAW mengatakan suatu saat kekuasaan dan Al Qur`an ini akan terpisah, yaitu kekuasaan tidak lagi berdasarkan Al Qur`an. Dan ini benar-benar terwujud di kemudian hari pada saat hancurnya Khilafah tahun 1924.
Kedua, sabda Rasulullah SAW :
لَتُنْقُضَن عُرَى الإسلام عُرْوَةً عُرْوَةً فكلما انتقضت عُرْوَةٌ تشبث الناس بالتي تليها فأولهن نقضا الحكم وآخرهن الصلاة
“Sungguh akan terurai simpul-simpul (ajaran) Islam satu simpul demi satu simpul. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan berpegang dengan simpul berikutnya. Simpul ajaran Islam yang akan terurai pertama kali adalah kekuasaan [Khilafah], dan yang paling terakhir adalah sholat.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).
Hadits ini menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam akan lenyap atau tidak diamalkan lagi oleh umat Islam satu demi satu. Setiap kali ada satu simpul ajaran Islam yang lenyap, umat Islam akan mengamalkan simpul ajaran-ajaran Islam yang tersisa. Simpul ajaran Islam yang akan lenyap pertama kali adalah kekuasaan, yaitu maksudnya adalah Khilafah, dan ini sudah terjadi pada saat runtuhnya Khilafah tahun 1924 yang lalu di Turki.
Ketiga, hadits Hudzaifah bin Al Yaman RA yang pernah mengatakan :
كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير. وكنت أسأله عن الشر. مخافة أن يدركني. فقلت: يا رسول الله! إنا كنا في جاهلية وشر. فجاءنا الله بهذا الخير. فهل بعد هذا الخير شر؟ قال (نعم) فقلت: هل بعد ذلك الشر من خير؟ قال (نعم. وفيه دخن). قلت: وما دخنه؟ قال (قوم يستنون بغير سنتي. ويهدون بغير هديي. عرف منهم وتنكر). فقلت: هل بعد ذلك الخير من شر؟ قال (نعم. دعاة على أبواب جهنم. من أجابهم إليها قذفوه فيها). فقلت: يا رسول الله! صفهم لنا. قال (نعم. قوم من جلدتنا. ويتكلمون بألسنتنا) قلت: يا رسول الله! فما ترى إن أدركني ذلك! قال (تلزم جماعة المسلمين وإمامهم) فقلت: فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال (فاعتزل تلك الفرق كلها. ولو أن تعض على أصل شجرة. حتى يدركك الموت، وأنت على ذلك). رواه مسلم1847
“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasululah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, khawatir keburukan akan menimpaku. Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? Rasulullah SAW menjawab,’Iya’ Maka aku bertanya,’Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan?’ Rasulullah SAW menjawab,”Iya, dan padanya [kebaikan] ada asap.” Aku bertanya,’Apa asapnya?’Rasulullah SAW bersabda,’Ada satu kaum yang berperilaku dengan selain sunnahku, dan berpetunjuk dengan selain petunjukku. Sebagian dari mereka kamu ketahui dan kamu akan mengingkarinya.” Aku bertanya,’Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?’Rasulullah SAW menjawab,’Iya, yaitu ada para dai (penyeru) di pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa yang menyambut seruan mereka, mereka akan melemparkannya ke dalam Jahannam.’ Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, jelaskan sifat mereka kepada kami?’Rasulullah SAW bersabda,’Baik, mereka adalah satu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, mereka berbicara dengan lisan kita.’ Aku bertanya,’Lalu apa pendapat Anda jika hal itu menimpa diriku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Berpeganglah dengan jamaah kaum muslimin dan Imam mereka.’ Aku bertanya,’Lalu jika tidak ada lagi jamaah kaum muslimin dan Imam mereka?’ Rasulullah SAW bersabda,’Maka jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya, walaupun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu sedangkan kamu tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (HR Muslim, no 1847).
Dalam hadits ini terdapat isyarat dari Rasulullah SAW mengenai hancurnya Khilafah, yaitu dari taqrir (persetujuan) Rasululllah SAW terhadap pertanyaan Hudzaifah, yang berbunyi (فقلت: فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام؟ ). Artinya, “Aku (Hudzaifah) bertanya,’Lalu jika tidak ada lagi jamaah kaum muslimin dan Imam mereka?” Pertanyaan Hudzaifah tersebut tidak diingkari atau dibantah oleh Rasulullah SAW. Maka sikap Rasulullah SAW ini menunjukkan adanya taqriir bahwa suatu saat di tengah umat Islam tidak akan ada lagi jamaah kaum muslimin dan imam mereka. Dan subhaanallah hal ini telah benar-benar terjadi pada saat runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924.
Sikap Umat Islam Terhadap Runtuhnya Khilafah
Sesungguhnya Islam tidak hanya memberi isyarat mengenai runtuhnya Khilafah, namun juga memberikan isyarat dan petunjuk bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924 tersebut.
Terdapat tiga sikap paling pokok yang wajib diambil umat Islam dalam menyikapi runtuhnya Khilafah, yaitu; Pertama, umat Islam hendaknya berpandangan bahwa runtuhnya Khilafah adalah suatu keburukan, bukan suatu kebaikan. Kedua, umat Islam hendaknya bersikap sabar dan berpegang teguh dengan Islam dalam kondisi tiadanya Khilafah, bukan malah larut dan melepaskan diri dari ajaran Islam. Ketiga, umat Islam hendaknya berjuang menegakkan kembali Khilafah di muka bumi, bukan berdiam diri atau malah mendukung kondisi yang ada.
Sikap pertama, hendaknya kita umat Islam berpandangan bahwa runtuhnya Khilafah adalah suatu keburukan, bukan suatu kebaikan. Cara pandang seperti ini berasal petunjuk Rasulullah SAW dalam hadits Hudzaifah yang panjang di atas. Dalam hadits tersebut, Hudzaifah bertanya kepada Rasulullah SAW,”Apakah setelah kebaikan (yang ada asapnya) akan ada keburukun (syarr)?” Maka Nabi Muhammad SAW menjawab, “Iya” Kemudian Nabi SAW menjelaskan lebih jauh keburukan apa yang dimaksud, yaitu adanya para dai (penyeru) yang berada di pintu jahannam dan seterusnya, hingga kondisi hilangnya jamaah kaum muslimin dan imam mereka. Jadi, kondisi umat saat ini ketika Khilafah tidak ada, adalah kondisi yang syarr (buruk). Inilah petunjuk Nabi SAW mengenai cara memandang kondisi tiadanya Khilafah.
Maka dari itu, sungguh suatu kesesatan yang nyata jika ada pandangan bahwa kondisi tiadanya Khilafah saat ini adalah kondisi yang baik, moderen, berkemajuan, berperadaban, sudah final, dan sebagainya. Sungguh berbagai pujian beracun yang menilai baik terhadap kondisi tidak adanya Khilafah adalah suatu pengingkaran dan pembangkangan terhadap sabda Nabi Muhammad SAW. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu itu buruk (syarr), lalu ada di antara umat Islam yang menganggapnya baik (khair)? Bukankah itu suatu pengingkaran dan pembangkangan terhadap Nabi Muhammad SAW?
Jika ada di antara umat Islam yang memandang baik kondisi tiadanya Khilafah, berarti mereka memang sudah meninggalkan petunjuk Nabi SAW, dan sebaliknya mengikuti cara pandang kaum kafir khususnya orang Yahudi dan Nashrani. Dalam masalah ini Rasulullah SAW pernah bersabda :
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر، وذراعا بذراع، حتى لو سلكوا جحر ضب لسلكتموه قلنا: يا رسول الله، اليهود والنصارى؟ قال: فمن?
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan [hidup] orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka memasuki lubang biawak niscaya kalian akan tetap mengikutinya.” Kami (para shahabat) bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?” Rasulullah SAW menjawab,”Lalu siapa?” (HR Bukhari no 3279).
Sikap kedua, umat Islam hendaknya bersikap sabar dan berpegang teguh dengan syariah Islam dalam kondisi tiadanya Khilafah, bukan melepaskan diri dari ajaran Islam. Tuntunan sikap seperti ini dapat kita ketahui dari sabda-sabda Rasulullah SAW, antara lain dalam sabda beliau SAW :
ألا إن الكتاب والسلطان سيفترقان فلا تفارقوا الكتاب
“Perhatikanlah! Sesungguhnya Al Qur`an dan kekuasaan akan terpisah. Maka janganlah kamu berpisah dari Al Qur`an!” (HR Thabrani). Hadits tersebut memerintahkan kita untuk tidak berpisah dari Al Qur`an manakala Khilafah sudah tidak ada di tengah umat. Perintah untuk tak berpisah dengan Al Qur`an ini tiada lain adalah perintah agar umat Islam tetap berpegang teguh dengan syariah Islam dalam kondisi tidak adanya Khilafah saat ini.
Sikap tersebut juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW kepada Hudzaifah bin Al Yaman ketika jamaah kaum muslimin dan imam mereka lenyap :
فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت، وأنت على ذلك
“Maka jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya, walaupun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu sedangkan kamu tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (HR Muslim).
Hadits ini memerintahkan kita untuk menjauhkan diri dari semua kelompok yang mengajak kepada Jahannam, yaitu kelompok-kelompok yang berdiri di atas dasar kekufuran, seperti sekularisme, demokrasi, nasionalisme, sosialisme, Marxisme, komunisme, dan sebagainya. Selain itu, hadits ini juga memeritahkan kita untuk bersabar menghadapi kerasnya zaman (syiddah az amaan), yang dapat dipahami dari sabda beliau,”walaupun kamu harus menggigit akar pohon.” Termasuk kerasnya zaman adalah sulitnya berpegang teguh atau konsisten dengan Islam di tengah masyarakat demokrasi-sekuler yang rusak saat ini setelah hancurnya Khilafah.
Namun demikian, insya Allah muslim yang tetap berpegang teguh dengan ajaran Islam dalam situasi tiadanya Khikafah seperti ini, akan mendapat pahala yang agung dari sisi Allah SWT, yaitu mendapat pahala yang senilai dengan pahala 50 (lima puluh) orang sahabat.
إن من ورائكم أيام الصبر، الصبر فيهن مثل القبض على الجمر، للعامل فيهن أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله، قيل : يا رسول الله أجر خمسين رجلا منهم؟ قال : بل أجر خمسين رجلا منكم
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Kesabaran pada masa itu bagaikan menggenggam bara api. Bagi yang tetap istiqomah menjalankan ajaran Islam pada masa itu, akan mendapat pahala 50 orang yang mengamalkan seperti ajaran Islam itu. Ada yang bertanya, “Hai Rasulullah, apakah pahala 50 orang di antara mereka?” Jawab Rasulullah SAW, “Bahkan pahala 50 orang di antara kalian (para shahabat).” (HR Abu Dawud, hadits hasan).
Sikap ketiga, hendaknya umat umat Islam berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah di muka bumi. Sebab kondisi tiadanya Khilafah, kata Nabi SAW, adalah kondisi yang buruk (syarr). Dengan kata lain, kondisi tiadanya Khilafah adalah suatu kemungkaran yang harus disikapi dengan melakukan perubahan (taghyiir), yaitu mengembalikan Khilafah, bukan disikapi dengan diam atau malah memperkuat kondisi buruk ini. Rasulullah SAW telah bersabda :
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده. فإن لم يستطع فبلسانه. ومن لم يستطع فبقلبه. وذلك أضعف الإيمان
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tanganya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan ucapannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan hatinya [dengan tidak rela]. Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim, no 78).
Selain itu, Rasulullah SAW juga menegaskan agar umat Islam selalu berpegang teguh dengan Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafa` Rasyidin, yang di antaranya adalah kewajiban adanya Khilafah. Rasulullah SAW telah bersabda :
عن العرباض بن سارية قال: “وعظنا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يوما بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال رجل إن هذه موعظة مودع فبمإذا تعهد الينا يا رسول اللّه؟ قال: أوصيكم بتقوى اللّه، والسمع والطاعة وان عبد حبشي فانه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا، واياكم ومحدثات الأمور، فانها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليه بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ”
Dari Irbadh bin Sariyah, dia berkata,”Rasulullah SAW telah menasehati kami pada suatu hari setelah sholat Shubuh dengan suatu nasehat yang sangat membekas yang membuat air mata bercucuran dan hati bergetar. Maka berkatalah seorang laki-laki,’Sesungguhnya ini adalah nasehat orang yang mau pamitan (berpisah). Maka apakah yang Engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah SAW?’ Maka Rasulullah SAW bersabda,”Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan mentaati [pemimpin] meskipun dia [dulunya] adalah budak Habsyi. Karena sesungguhnya siapa saja yang hidup di antara kamu akan melihat perselisihan yang banyak. Hendaklah kalian menjauhkan diri dari hal-hal yang diada-adakan. Karena hal itu adalah kesesatan. Maka barangsiapa yang menjumpai hal itu, hendaklah dia berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu.” (HR Tirmidzi, no 2816).
Hadits di atas memberikan petunjuk agar umat Islam selalu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa` Rasyidin, yaitu jalan (thariiqah) yang pernah ditempuh atau dijalankan Rasulullah dan para Khalifah Rasyidin. Dan di antara sunnah-sunnah (jalan) tersebut adalah Khilafah. Wallahu a’lam.
= = =
*Makalah disampaikan dalam Halqah Syahriyah di DPC HTI Kraton, Yogyakarta, Ahad 17 Januari 2016.
**DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).