Perbedaan antara al-Khayru (Baik) dan asy-Syarru (Buruk) dengan al-Hasanu (terpuji) dan al-Qubhu (Tercela)

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Perbedaan antara al-Khayru (Baik) dan asy-Syarru (Buruk) dengan al-Hasanu (terpuji) dan al-Qubhu (Tercela)

Kepada Abu Qushay

 

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Ya syaikh, semoga Allah memanjangkan usia Anda sehingga Anda bisa melihat kemenangan terealisir dengan izin Allah…

Saya punya pertanyaan seputar perbedaan antara al-khayru (baik) dan asy-syarru (buruk) dengan al-hasanu (terpuji) dan al-qubhu (tercela)? Hal itu ketika pertanyaan tersebut dilontarkan, jawaban syabab berbeda-beda dalam topik itu. Jadi mohon Anda jelaskan kepada kami perbedaan antara kedua topik itu dan semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

  1. Al-hasanu (terpuji) dan al-qubhu (tercela), dan al-khayru (baik) dan asy-syarru (buruk) adalah istilah yang dipakai oleh para ulama ushul fikih, maka maknanya harus dipahami seperti yang mereka buat dan gunakan, bukan seperti maknanya secara bahasa. Yakni, agar Anda mengetahui maknanya dan perbedaan diantara hal itu, Anda wajib mengambilnya dari para ulama ushul dan bukan dari ulama bahasa. Jadi bukan Anda buka kamus dan Anda cari makna hasanun, qabîhun, khayrun dan syarrun, kemudian Anda katakan ini maknanya, akan tetapi Anda cari menurut para ulama ushul apa yang mereka tetapkan untuk istilah itu kemudian Anda ambil makna tersebut.
  2. Para ulama ushul membahas istilah al-hâkim yakni siapa yang mengeluarkan hukum atas perbuatan, sebagai fardhu, mandub, mubah, makruh atau haram; dan hukum atas sesuatu sebagai halal atau haram? Yakni hal itu dari sisi perintah dan larangan terkait dengannya, artinya dari sisi pujian dan celaan terhadapnya, kemudian konsekuensi atas hal itu berupa pahala dan sanksi.

    Pembahasan ini, dari sisi ini dalam, dalam pembahasan para ulama ushul menentukan al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela). Apa saja yang menurut perintah-perintah syara’ hal itu dipuji dan diperintahkan maka adalah hasan (terpuji) dan atasnya ada pahala. Dan apa yang menyalahi hukum-hukum syara’ sebagai dicela dan dilarang maka itu adalah qabîh (tercela) dan terhadapnya ada sanksi. Karena itu, al-hasanu dan al-qabîhu dinyatakan pada saat pengeluaran hukum atas perbuatan dan benda dari sisi hukum syara’nya apa dan dari sisi konsekuensi atas hal itu berupa pujian atau celaan yakni dari sisi pahala dan sanksi.

    Atas dasar itu, ketika membahas tentang mencuri misalnya, dari sisi pengeluaran hukum atasnya, yakni bahwa mencuri itu haram, dan dari sisi pujian dan celaan dan konsekuensi atasnya berupa (pahala atau sanksi) yakni bahwa terhadap perbuatan mencuri itu ada sanksi potong tangan atau neraka jahannam, maka di sini kita katakan mencuri adalah qabîh (tercela).

  3. Para ulama ushul juga membahas al-miqyâs (standar) yang dengannya seseorang menilai bahaya perbuatan ini terhadapnya atau manfaat perbuatan untuknya; dan berikutnya seseorang itu berketapan hati untuk melakukannya atau mundur darinya. Jika mereka menyodorkan satu perbuatan terntentu terhadap standar Islam yang mereka ridhai lalu hasil penilaian itu adalah (manfaat) sesuai standar Islam, niscaya mereka menyukai perbuatan ini, mereka berketetapan hati untuk melakukannya dan mereka sebut (khayr –baik-). Dan sebaliknya jika hasil penilaian itu adalah (dharar –bahaya-) niscaya mereka tidak menyukai perbuatan ini, mereka mundur darinya dan mereka sebut (syarr –buruk-).

    Karena itu, ketika membahas tentang mencuri misalnya, dari sisi standar Islam yang dengannya dinilai manfaat atau dharar mencuri itu untuk Anda lalu Anda berketetapan hati untuk melakukannya atau Anda mundur darinya, maka yang dinyatakan di sini adalah al-khayr (baik) dan asy-syarr (buruk).

    Maka Anda katakan, mencuri adalah syarr (buruk) sebab mencuri itu dengan standar Islam adalah dharar dan berikutnya Anda tidak melakukannya.

  4. Begitulah, Anda sebut perbuatan mencuri sebagai qabîh (tercela) jika poros pembahasannya adalah seputar pengeluarkan hukum atasnya yakni pengharamannya dan dari sisi pahala dan sanksi terhadapnya yakni potong tangan di dunia atau neraka di akhirat.

    Dan Anda sebut perbuatan mencuri itu syarr (buruk) jika poros pembahasannya adalah standar yang Anda gunakan menilai manfaat dan dharar lalu Anda nilai dengan timbangan Islam dan bukan dengan timbangan kemaslahatan Anda atau hawa nafsu Anda. Maka Anda dapati mencuri itu membahayakan (dhârran) lalu Anda membencinya dan mundur dari melakukannya dan Anda sebut mencuri itu syarr (buruk).

  5. Ringkasnya adalah:

    Jika poros pembahasannya adalah pengeluaran hukum atas suatu perbuatan dan sesuatu dan berikutnya apa yang menjadi konsekuensi terhadapnya berupa pahala atau sanksi maka yang dinyatakan di sini adalah sifat al-hasan dan al-qubhu.

    Dan jika poros pembahasannya adalah standar untuk menilai manfaat suatu perbuatan atau dhararnya dan berikutnya kesukaan Anda terhadap perbuatan itu dan ketetapan hati atasnya atau ketidaksukaan Anda terhadapnya dan mundurnya Anda darinya, maka di sini sifat yang dinyatakan adalah al-khayru (baik) dan asy-syarru (buruk).

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

29 Jumadul Ula 1437 H / 09 Maret 2016 M

 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/35961.html

https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741%20%20828.122848424578904/451431358387274/?type=3&theater

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*