Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, blak-blakan mengenai ongkos politik yang harus disetor calon kepala daerah kepada partai politik pengusungnya (Jurnalpolitik.com).
Ahok mengatakan, berdasarkan hitungannya, dia harus mengeluarkan uang Rp 100 miliar untuk setiap parpol yang mengusungnya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari 2017. Dana sebesar itu diperlukan untuk menggerakkan mesin partai hingga ke tingkat cabang dan ranting. (Kompas.com).
Apa yang dikatakan Ahok ada benarnya, bahwa ongkos politik dalam pemilu sangat besar. Kondisi inilah yang menyebabkan pengusa tersandra oleh pengusaha atau korporasi. Namun bukan berarti Ahok benar. Siapa saja yang mencermati perilaku Ahok –selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, kenyataanya dia juga tersandra oleh para pemodal yang membiayai ongkos karir politiknya. Posisi Ahok sendiri tidak bisa lepas dari mahalnya biaya politik yang harus dia tanggung.
“Mulusnya” ragam program pembangunan di DKI Jakarta tidak lepas dari proyek para investor di belakang Ahok. Betapa sejatinya yang memuluskan jalan politik Ahok adalah juga para pemodal.
Ratna Sarumpaet mengungkap bahwa Ahok memiliki kekuatan finansial yang besar untuk membayar Tentara Kepolisian dan KPK. “Ahok bisa beli apa aja, dia sudah beli tentara, dia beli kepolisian, dia beli KPK,” kata Ratna di acara diskusi “Jakarta Tanpa Ahok”, yang diselenggarakan di Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan, Jumat (11/3/2016).
Demikian pula dengan pengusutan kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras di KPK (triaspolitica.net). Kemampuan finansial Ahok yang begitu fantastik tersebut sudah menjadi bukti bahwa pengusa pasti tersandera oleh pengusaha.
Apa yang terjadi di Jakarta tidak jauh berbeda dengan di daerah. Anggaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di tujuh kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng) pada Februari 2017 mencapai Rp 187,2 miliar, kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng, Joko Purnomo.
“Pilkada Kota Salatiga dianggarkan Rp7,5 miliar, Banjarnegara Rp20 miliar, Batang Rp25 miliar, Jepara Rp30 miliar, Pati Rp29,7 miliar, Cilacap Rp35 miliar, dan Brebes Rp35 miliar,” katanya di Semarang, Minggu. Joko menjelaskan, anggaran pilkada 2017 tersebut sudah disiapkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, namun rincian penggunaannya masih menunggu KPU Pusat. (sumber.Antaranews).
Pemilu/pemilukada saat ini memang meniscayakan mahalnya biaya politik. Apa yang diungkapkan oleh Joko Purnomo itu adalah biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah penyelanggara pemilu. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh kandididat peserta pemilu. Mulai dari biaya mahar politik, biaya sosialisasi untuk menjalankan mesin partai politik, biaya survey, biaya pencitraan, biaya iklan, sogok sana sogok sini, sampai biaya beragam serangan –mulai dari serangan “isya”, serangan “fajar”, sampai pada serangan “dhuha” menjelang dilaksanakannya pemilu/pemilukada.
Demikian pula di luar negeri, biaya pemilihan umum sangat tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/
Sementara belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).
Mahalnya ongkos politik dalam sistem pemilu/pemilukada saat ini merupakan wujud nyata gayung bersambutnya antara kepentingan politik dengan kepentingan pemodal atau korporasi.
Dalam sistem Kapitalis, sistem Politik sangat diperlukan untuk menjalankan dan memuluskan sistem bisnis. Politik dalam sistem Kapitalis tidak lebih dari hanya untuk menghamba pada kepentingan pebisnis.
Pada titik inilah para pemodal memiliki kepentingan yang bersangatan atas regulasi yang diciptakan oleh sistem politik atau kekuasaan. Karenanya, dalam sistem Kapitalis, hasrat kekuasaan sangat tampak pada para pemodal.
Konsekuensi berikutnya adalah, siapa pun yang ingin ikut dalam bursa pencalonan kepala daerah atau kepala negara, harus terlebih dahulu “duduk bersama” dengan para pengusaha pemodal. Kecerdasan, pengalaman dan kecakapan berpolitik ,keahlian bernegara, kemampuan menata birokrasi dan sistem pemerintahan menjadi hal yang tidak penting bagi seorang kandidat. Semua kemampuan itu akan bisa “dipoles” dengan iklan dan pencitraan yang tentu dengan biaya yang sangat besar.
Kandidat yang tidak memiliki modal, atau tidak disokong oleh pemodal, hampir bisa dipastikan tidak akan lolos dalam verifikasi pencalonan.
Berbeda halnya dengan sistem pemilu dalam Islam. Penguasa dalam sistem Khilafah Islamiyah adalah untuk melaksanakan hukum Allah. Tidak semua orang bisa menduduki jabatan kepemimpinan, karena kepemimpinan itu adalah amanah. Amanah yang akan dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada manusia, namun kelak kepada Allah SWT. Rasul saw. bersabda:
فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
“Maka seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Rasul saw. tidak mengidzinkan Abdurrahman bin Samurah untuk menjadi pemimpin, karena beratnya tanggung jawab kepemimpinan itu kelak di yaumil akhir. Rasul saw. bersabda:
يَا عَبْدَ الرَحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ. فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أَعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أَعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا.
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena kepemimpinanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (HR. Bukhari Muslim)
Demikian juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ”Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَى الَّذِيْ عَلَيْهِ فِيْهَ.
“Ya Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)
Ada satu hal yang penting diperhatikan. Seberapa pun kuatnya hegemoni pemodal, bahwa adalah kekuasaan itu tetap ada pada rakyat. Adalah keniscayaan bahwa siapa pun yang duduk dalam sebuah jabatan pemerintahan harus mendapat legetimasi dan restu dari rakyat. Karena tidak ada penguasa jika tidak ada rakyat. Tinggal persoalanya adalah, apakah rakyat mau dibayar atau tidak untuk melanggengkan penguasa pengusaha tersebut?
Mata rantai sogokan pemodal atas rakyat ini tidak bisa diputus kecuali dengan dakwah. Penyadaran.
Disinilah arti penting dakwah ideologis kepada masyarakat. Dakwah ideologis yang menjelaskan kepada rakyat akan bobrok dan busuknya sistem Kapitalis, harus semakin massif dilakukan kehidupan nyata. Dakwah ini bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada rakyat, agar dia tidak mudah dibeli disetiap musim kampanye. Bahwa pemilu atau pemilukada dalam sistem kapitalis, yang jelas-jelas tidak akan menerapkan syari’at Islam, adalah nyata-nyata “pepesan kosong”.
Hanya dengan dakwah seperti inilah ada harapan kemenagan melawan gurita penguasa pengusaha di negeri ini. Hal ini harus kita lakukan siang dan malam, menggunakan berbagai media, sarana dan kemampuan yang ada. Dakwah ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Dakwah ini adalah urat nadi harapan dan kehidupan kita kaum muslim. Dan inilah kekuatan dan kebaikan inti kita sebagai seorang muslim. Firman Allah:
(وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ)
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushilat 33).[]