Ini merupakan rangkaian halqah—sesuai karunia yang Allah berikan kepada kami—sebagai renungan kami dan Anda dalam kitab “Min Muqawwimāt an-Nafsiyah al-Islāmiyah, di antara pilar-pilar pengokoh Nafsiyah Islāmiyah”. Karenanya akan dijelaskan maksud dari istilah asy-Syakhshiyah al-Islāmiyah (Kepribadian Islam).
Kepribadian (syakhshiyah) setiap manusia terbentuk oleh ‘aqliyah (cara berpikir) dan nafsiyah (carar bersikap)-nya. Sehingga dalam hal ini postur, bodi, perawakan, dan sebagainya, bukanlah unsur pembentuk kepribadian (syakhshiyah). Sebab semua itu hanyalah kulit atau casing (tampilan luarnya) semata. Dengan demikian, termasuk berpikiran dangkal jika ada yang beranggapan bahwa semua itu merupakan salah satu faktor yang membentuk dan mempengaruhi kepribadian (syakhshiyah).
Sungguh, sudah terbiasa di tengah masyarakat ketika mereka melihat (menilai) seseorang hanya dengan memperhatikan tampilan luarnya, postur, bodi dan perawakannya. Kemudian hanya berdasarkan tampilan luarnya itu, mereka menyebutnya bahwa “ia punya kepribadian”. Bahkan tidak sedikit para pengusaha dan direktur perusahaan yang hanya memperhatikan aspek tersebut ketika mereka mewawancarai seseorang untuk memilihkan atau memberikan pekerjaan. Dalam hal ini, mereka hanya memperhatikan kulit atau casing (tampilan luarnya) saja, dan hal-hal dangkal lainnya. Mereka melupakan aspek terpenting dalam kepribadian (syakhshiyah), yaitu ‘aqliyah (cara berpikir) dan nafsiyah (carar bersikap). Akibatnya, mereka salah dalam memilih orang, dan gagal dalam usahanya.
Sehingga yang benar, adalah apa yang kami sebutkan dalam pengantar halqah ini, bahwa kepribadian (syakhshiyah) setiap manusia terbentuk oleh ‘aqliyah (cara berpikir) dan nafsiyah (carar bersikap)-nya. Mengingat postur, bodi, perawakan, dan sebagainya, bukanlah unsur pembentuk kepribadian (syakhshiyah). Sebab semua itu hanyalah kulit atau casing (tampilan luarnya) semata. Dengan demikian, termasuk berpikiran dangkal jika ada yang beranggapan bahwa semua itu merupakan salah satu faktor yang membentuk dan mempengaruhi kepribadian. Terkait hal ini ada banyak bukti yang memperkuat pendapat kami, di antaranya perkataan seorang penyair:
لِسَانُ الفَتَى نِصْفٌ وَ نِصْفٌ فُؤَادُهُ * فَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ صُورَةُ اللَّحْمِ وَ الدَّمِ
Lidah pemuda itu separuh dan hatinya separuh
Sehingga yang tersisa hanyalah bentuk daging dan darah
Juga dikuatkan dengan sebuah pernyataan: “Sesungguhnya seseorang itu ditentukan oleh dua bagian tubuhnya yang terkecil, yaitu lisan dan hatinya.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, banyak berdatangan para delegasi dari berbagai pelosok negeri untuk menyampaikan kebutuhannya dan mengucapkan selamat. Saat delegasi dari Hijaz diberi kesempatan, maka majulah seorang pemuda Bani Hasyim yang masih belia untuk berbicara.
Umar berkata: “Mengapa bukan orang yang lebih tua dari Anda yang maju berbicara?”
Pemua itu berkata: “Semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin. Sesungguhnya seseorang itu ditentukan oleh dua bagian tubuhnya yang terkecil, yaitu lisan dan hatinya. Ketika Allah memberi seorang hamba lisan yang fasih dan hati yang terjaga, maka ia yang berhak untuk berbicara. Dan kelebihannya hanya diketahui oleh orang yang mau mendengarkan ucapannya. Wahai Amirul Mukminin, seandainya sesuatu itu ditentukan oleh umurnya, niscaya di tengah umat ini ada banyak orang yang lebih berhak daripada Anda untuk menduduki kedudukan Anda ini.”
Umar berkata: “Anda benar. Katakanlah apa yang harus Anda katakan.”
Pemuda itu berkata: “Semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin. Kami delegasi yang datang untuk memberi ucapan selamat, bukan delegasi yang datang membawa bencana besar. Kami datang pada Anda karena karunia Allah yang diberikan pada kami melalui Anda. Sehingga kami hanya bisa menyampikan keinginan dan ketakutan. Adapu keinginan, maka kami telah datang kepadamu dari negeri kami. Sedangkan ketakutan, maka kami ingin aman dari kezalimanmu dengan keadilanmu.”
Umar berkata: “Beri aku nasihat, wahai anak muda!”
Pemuda itu berkata: “Semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin. Sesungguhnya ada banyak manusia yang mereka itu tertipu oleh kesabaran Allah pada mereka, panjangnya agan-angan mereka, serta banyaknya pujian orang pada mereka, sehingga hal itu membuat kaki mereka tergelincir, lalu mereka terlempar ke neraka. Oleh karena itu, janganlah Anda tertipu oleh kesabaran Allah pada Anda, panjangnya agan-angan Anda, serta banyaknya pujian orang pada Anda, sehingga hal itu membuat kaki Anda tergelincir. Maka ikutilah kaum, bukankah Allah menjadikan Anda bagian dari mereka, dan ikutilah orang-orang shalih dari umat ini. Kemudian anak muda itu diam.”
Umar berkata: “Berapa umur anak muda itu?” Dikatakan: “Umurnya sebelas tahun.” Kemudian Umar bertanya tentang siapa sebenarnya anak muda itu. Ternyata anak muda itu adalah putra Sayyidina Husein bin Ali radliyallahu ‘anhu. Lalu, Umar memujinya dengan pujian yang baik, dan mendoakan keberkahan untuknya. Dalam hal ini telah dibuah permisalan sebagai berikut:
تَعَلَّمْ فَلَيسَ المَرءُ يُولَـدُ عَالمِـاً * وَلَيسَ أَخُو عِلمٍ كَمَن هُوَ جَاهِلُ
فَإِنَّ كَبِيرَ القَومِ لاَ عِلْمَ عِنْـدَهُ * صَغِيـرٌ إِذَ التَفَت عَلَيهِ المَحَافِـلُ
Belajarlah sebab tidak ada yang lahir langsung pandai
Dan orang yang berilmu itu tidak sama dengan yang bodoh
Seorang tokoh masyarakat yang tidak berilmu
Adalah kecil ketika banyak forum mengerumuninya
Dengan demikian, selain ‘aqliyah (cara berpikir) dan nafsiyah (carar bersikap) hanyalah kulit atau casing semata. Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah pernyataan: “Saatnya Abu Hanifah menjulurkan (meregangkan) kedua kakinya.”
Imam Abu Hanifah rahimahullāh berada di majlis bersama para muridnya di masjid. Ketika sedang asyiknya menjelaskan masalah fiqih, tiba-tiba masuk ke masjid seorang pria tampan, bergaun mewah, tampaknya ia seorang ahli bahasa, berilmu dan ahli sastra.
Ketika Abu Hanifah melihat postur tubuh orang itu, maka Abu Hanifah berpikir bahwa ia seorang yang berilmu, ahli sastra dan retorika (balaghah), serta keterampilan dan intuisi. Sehingga Abu Hanifah segera menghormati kehadirannya. Kemudian beliau mengimbangi duduknya orang tersebut. Beliau mengangkat sorbannya dan bersila. Padahal beliau rahimahullah—sebagaimana diriwayatkan—tengah menderita sakit di lututnya. Namun di majlis itu, beliau tidak menjulurkan kakinya, menahan rasa sakit, dan terus bersila untuk menghormati orang itu. Bahkan beliau berhenti menjelaskan pelajaran untuk para muridnya. Lalu, beliau menghadap pada orang itu, seperti menghadap para ulama, ahli sastra dan penguasa, karena ulama memiliki kehormatan yang tinggi dan kemampuan yang memadai. Dalam hal ini penyair berkata:
العلمُ يَبـني بُيوتاً لا عِمَـادَ لهـا * والجهلُ يَهدِمُ بَيتَ العِـزِّ والكَرَمِ
Ilmu itu membangun rumah-rumah tampa tiang
Bodoh itu menghancurkan rumah yang megah dan mewah
Semua yang di masjid melihat keadaan orang itu, sehingga mereka mengaguminya dengan melihat ketampanan dan keindahan luarnya. Sejak awal duduk orang tersebut tidak berbicara sepatah katapun. Terkait sikapnya ini pepatah mengatakan:
الرِّجَالُ أَسْوَارٌ مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ
“Seseorang adalah pagar selama ia belum berbicara.”
Arti pepatah ini adalah, bahwa seseorang tidak ubahnya pagar, sehingga apa yang di belakangnya tidak terlihat sampai ia berbicara, dan ketika ia berbicara, maka tersingkaplah apa yang disembunyikannya. Sebab, pagar (dinding) menyembunyikan kebun-kebun yang dipenuhi bunga-bunga putih di belakangnya; pagar menyembunyikan kota-kota indah yang memiliki banyak sungai; dan pagar juga menyembunyikan barang-barang yang terbenam di belakangnya hingga untuk mengetahuinya ada orang yang datang pada peramal.
Setelah beberapa saat, orang itu bertanya pada Abu Hanifah: “Wahai Abu Hanifah, saya bertanya padamu, jawablah jika engkau benar-benar alim, dimana fatwamu dinantikan banyak orang!” Awalnya Abu Hanifah merasa bahwa beliau tengah ditanya oleh seorang alim dalam masalah agama yang kealimannya tidak diragukan lagi. Abu Hanifah berkata: “Silahkan.” Orang itu berkata: “Kapan orang yang berpuasa berbuka?” Setelah orang itu bertanya, Abu Hanifah merasa bahwa ia ingin suatu yang mendalam dari pertanyaan ini, namun pertanyannya gampang dan mudah, yang bisa saja dijawab oleh anak kecil. Akan tetapi Abu Hanifah mengira bahwa orang ini ingin menguji kesabarannya dengan pertanyaan dangkal dan sederhana. Sehingga Abu Hanifah tetap menghormati orang tersebut.
Abu Hanifah menjawab: “Orang yang berpuasa berbuka jika matahari telah terbenam.” Setelah mendengar jawaban Abu Hanifah, orang itu tampak serius, seakan-akan ia menemukan sesuatu yang bisa menjatuhkannya. Orang itu kembali bertanya: “Jika matahari tidak terbenam di hari itu, bagaimana hai Abu Hanifah?” Setelah pertanyaan kedua ini, terlihat jelas oleh Abu Hanifah apa yang disembunyikan oleh pagar orang itu. Memang, pagarnya berupa bangunan yang sempurna, catnya bagus, penuh warna dan kokoh. Namun sayangnya, itu adalah pagar kuburan! Bukan kuburan manusia, namun kuburan kebodohan.
Abu Hanifah tersenyum menyeringai melihat orang itu. Kemudian ada ungkapan terkenal yang ditulis dalam lembaran berjilid-jilid sejarah dengan tinta emas, sehingga menjadi pepatah yang diwariskan ulama salaf untuk ulama khalaf, yaitu:
آنَ لِأَبِي حَنِيفَة أَن يَمُدَّ رِجْلَيهِ
“Saatnya Abu Hanifah untuk menjulurkan (meregangkan) kedua kakinya.”
Pepatah ini berlaku bagi semua orang yang bertekad untuk memberikan sesuatu. Ketika ia berniat untuk berusaha dan bekerja keras, namun ia terkejut dengan level sesuatu atau orang yang di depannya, dimana saat ia melihatnya ternyata tidak perlu pada kerja keras, sehingga bersantai lebih baik dan lebih utama, seharusnya ia menjulurkan kakinya, sebagaimana Abu Hanifah menjulurkan kakinya. Oleh karena itu, harus bagi siapa saja yang ingin bekerja untuk memastikan ketersediaan lingkungan yang sehat dan sesuai. Sehingga pada saat tertentu ia tidak dipaksa untuk mengatakan seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah.
Dengan demikian, terkait kepribadian (syakhshiyah), maka selain ‘aqliyah (cara berpikir) dan nafsiyah (carar bersikap) hanyalah kulit atau casing (tampilan luarnya) saja. Hal ini dikuatkan pula melalui pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu yang berkata:
تَكَلَّمُوا تُعْرَفُوا فَإِنَّ المَرْءَ مَخْبُوءٌ تَحْتَ لِسَانِهِ
“Berbicaralah, maka akan diketahui. Sebab, seseorang bersembunyi di balik lidahnya.”
Hal yang sama juga dikuatkan oleh pernyataan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu. Umar berpendapat bahwa orang dikatakan memiliki kepribadian (syakhshiyah) Islam jika ia bermanfaat dan berguna untuk dirinya sendiri, untuk umat Islam, dan untuk agama Islam. Seseorang tidak bisa dikatakan memiliki kepribadian (syakhshiyah) Islam hanya dengan melihat tampilan luarnya (casing) saja. Karena itu, Umar berkata: “Jika saya melihat seseorang, lalu saya kagum, maka saya bertanya: ‘Apakah ia punya profesi’. Kalau jawabannya tidak, maka ia tidak ada artinya di mataku.” []