Rusuh Angkutan Umum, Pemerintah Zalim dan Biarkan Sesama Rakyat Bertarung

052737700_1458637045-20160322--Ribuan-Supir-Taksi-Serbu-Gedung-MPR-DPR-Jakarta--Johan-Tallo-06Oleh: Iwan Januar, anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia

Akhirnya kekesalan supir taksi konvensional meledak. Akumulasi kesabaran yang sudah menumpuk lama tumpah pada hari Selasa kemarin (22/3). Kian sulitnya mendapatkan penumpang dan merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah akhirnya berujung pada aksi kerusuhan di beberapa tempat di Jakarta.

Persaingan antara angkutan umum konvensional — seperti taksi, bajaj, dll – dengan layanan angkutan umum online, sedari awal sudah berjalan tidak seimbang. Selain faktor permodalan, angkutan umum konvensional juga dibebat dengan UU No 22 tahun 2009. Dimana semua perusahaan jasa layanan angkutan umum terkena berbagai biaya tetek bengek seperti PPH badan, PPH pribadi, pajak transaksi, pajak keuntungan juga terkena biaya kir.

Berbagai aturan seperti ini justru tidak berlaku pada perusahaan jasa layanan angkutan umum berbasis online. Belum lagi area operasi angkutan umum konvensional terbatas, sedangkan yang berbasis online tidak ada batasnya. Maka seperti kata mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal persaingan ini tidak seimbang karena level playing field-nya memang beda.

Wajar saja bila kemudian tarif angkutan umum berbasis online menjadi jauh lebih murah, mengalahkan kompetitornya yang konvensional. Konsumen pun jadi berlimpah karena mereka memang mencari yang praktis dan murah. Terang saja angkutan umum konvensional kian keteteran. Ibarat kata, dua pelari diadu kecepatan lari tapi yang satu kakinya dirantai dan diberi bandul besi berat. Sudah pasti kalah.

Kejadian seperti ini menunjukkan pemerintah sedari dulu hingga kini terus mempraktekkan ekonomi kapitalisme-neoliberal, dimana rakyat dibiarkan bertarung di lapangan ekonomi dengan prinsip survival of the fittest. Yang kalah modal, kalah teknologi, kalah kuasa politik dibiarkan mati.

Dan faktanya persaingan itu seringkali berjalan tidak seimbang. Selalu ada keberpihakan pemerintah kepada pemodal kuat, apalagi asing.

Sama seperti yang dipakai dengan membiarkan menjamurnya mall-mall dan minimarket-minimarket di seantero Nusantara. Berdirinya mall-mall dan menelantarkan pasar tradisional akhirnya mematikan atau setidaknya membuat sekarat para pedagang di pasar tradisional yang notabene UKM dan rakyat jelata. Lalu menjamurnya minimarket yang bertebaran bebas nyaris tanpa regulasi hingga ke perkampungan sudah jelas mematikan warung-warung kecil. Ini bukan lagi persaingan pasar yang sehat.

Pada kasus kerusuhan angkutan umum kemarin, pemerintah bukan saja cuci tangan, tapi juga menyalahkan rakyatnya sendiri. Enteng pemerintah juga sebagian pakar menyalahkan pemilik angkutan umum yang kurang tanggap mengantisipasi kemajuan teknologi.

Padahal bukan di situ persoalannya. Problem utamanya justru pada regulasi yang dibuat pemerintah yang tidak berlaku adil pada semua pelaku usaha. Kelihatan jelas pemerintah selalu berpola kapitalistik dan berpihak pada pemilik modal kuat.

Sementara itu konsumen berpikir praktis dan ekonomis. Cari yang murah, aman dan nyaman. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu bahwa seringkali ongkos yang murah itu didapat dari keculasan pengusaha dan pemerintah kepada rakyatnya sendiri. Inilah kapitalisme-neoliberalisme.[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*