Minggu ini menandai peringatan lima tahun revolusi Suriah. Ketika revolusi dimulai, sebagaimana di Mesir dan Tunisia, perasaan yang dirasakan di kalangan Muslim Inggris adalah simpati yang luar biasa kepada rakyat Suriah. Dengan menunjukkan keprihatinan terhadap mereka, kaum Muslim Inggris mengirimkan bantuan amal senilai jutaan pound. Banyak protes yang dilancarkan sebagai respon murni atas penderitaan yang dialami rakyat Suriah. Lima tahun kemudian, setelah revolusi dimulai, alasan untuk menyingkirkan rezim Assad telah mengental. Akan tetapi, perasaan luar biasa itu tampaknya berubah menjadi kebingungan.
Para politisi dan media Inggris menggambarkan ISIS sebagai ancaman terbesar, sementara Assad menjadi ancaman kedua dan mereka berjuang untuk menemukan penyelesaian atasnya. Dukungan kaum Muslim dalam menentang Assad digambarkan sebagai dukungan kepada ISIS, sikap ‘terorisme’, dan pertanda bentuk ‘ekstremisme’. Dengan pandangan yang kusam itu, tidak mengherankan orang-orang yang melihat kejadian ini merasa kebingungan.
Meskipun begitu, dalam situasi yang sedemikian kacau ini, ada dua hal yang perlu kita ingat.
Pertama, rakyat Suriah layak mendapatkan doa dan perhatian kita. Mereka telah menjadi korban kebiadaban rezim Assad—dari sejak awal saat anak-anak mereka tewas dan menjadi korban mutilasi, kemudian setelahnya Shabiha meneror penduduk Suriah dan rezim pemerintah melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk sipil. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi korban dari orang-orang yang ‘mengklaim’ terlibat dalam memadamkan api, padahal sesungguhnya mereka melemparkan bensin ke dalam api.
Kekuatan-kekuatan lokal seperti Saudi dan Turki—yang memiliki kemampuan militer untuk membela penduduk Suriah, melenyapkan sang penindas, dan mengakhiri eksodus—tidak melakukan apapun yang mereka bisa lakukan. Kekuatan-kekuatan eksternal, seperti AS, Inggris, PBB, dan Rusia, semuanya mengaku ingin mencari solusi tetapi tampaknya saling bekerja sama dalam mengamankan posisi Assad ketika dia berada di titik terlemahnya. Dan di zona konflik, terdapat ISIS, yang menghabiskan lebih banyak tenaganya terhadap para penentang Assad ketimbang melenyapkan rezim itu sendiri, sambil mengenakan label palsu Khilafah dalam tindakannya.
Rakyat Suriah yang perawakannya mirip dengan Mu’awiyah ibn Qura meriwayatkan bahwa Rasulullah (SAW) bersabda, “Jika keadaan rakyat Al-Syam menjadi buruk maka tidak ada kebaikan di antara kamu. Akan selalu ada sekelompok umatku yang akan menang, dan rakyat Al-Syam tidak akan dirugikan oleh orang-orang yang berusaha mempermalukan mereka sampai hari kiamat tiba.”
Mereka adalah orang-orang yang meninggikan suaranya dan berdiri teguh membela Allah; yang menunjukkan protes atas nama Islam.
Hingga sekarang, mereka telah melihat setiap konspirasi internasional untuk menumbangkan tujuan rakyat Suriah, dan adanya upaya untuk mengangkat kepemimpinan yang sesuai dengan tujuan-tujuan Barat.
Tidak ada yang ragu akan perlunya berjuang bersama mereka saat menghadapi ujian dari semua sisi.
Poin kedua yang perlu diingat adalah bahwa, tidak hanya terselesaikannya masalah, Islam merupakan satu-satunya solusi. Ada mitos yang menyatakan, sebelum berbicara tentang pemerintahan Islam, yakni Khilafah Rasyidah dll, perlu adanya situasi yang stabil dan mungkin pemerintah interim. Kemudian, mungkin, perlu adanya diskusi tentang peran Islam di masa depan.
Hal ini adalah sebuah kesalahpahaman atas sifat dari masalah itu dan kesalahpahaman atas peran yang dimiliki Islam dalam memecahkan masalah.
Hanya Khilafah Rasyidah-lah yang akan mempunyai legitimasi untuk menyatukan berbagai faksi yang bersaing yang menentang Assad. Hanya Khilafah Rasyidah-lah yang bisa menyatukan berbagai sekte, baik kelompok minoritas maupun mayoritas sebagai warga negara, yang urusannya dipelihara oleh Islam. Hanya Negara seperti itu yang bisa mengatasi masalah perbatasan palsu Sykes-Picot yang digariskan dengan pensil beberapa abad yang lalu—dan bebas dari pengaruh luar, yang memberikan keamanan kepada wilayah tersebut dan yang menyatukan dengan negeri-negeri lain. Khilafah adalah sistem politik yang konsisten dengan keyakinan dan nilai-nilai masyarakat dan berakar dalam sejarah mereka.
Gagasan bahwa ada beberapa batu loncatan atau pemerintahan interim merupakan pengabaian atas solusi yang jelas—dan karena solusi Islam lah—kekuatan-kekuatan internasional telah bersekongkol melawannya dan telah melakukan semua upaya yang mereka bisa lakukan untuk menumbangkannya.
Pernah suatu ketika, wilayah Yatsrib yang dulunya suka berperang, dan mengalami masalah yang terus menerus karena adanya konflik antar suku, kemudian menjadi Al Madinah Al Munawwarah disebabkan oleh Islam. Ini adalah suatu pengingat bagi kita yang perlu diperhatikan dengan baik. Suku-suku yang berperang satu sama lain menjadi bersatu sebagai saudara. Non-Muslim diikutsertakan oleh konstitusi Islam untuk menjadi warga negara dengan hak-haknya yang dilindungi oleh Muslim. Kaum Ansar membantu orang-orang yang hijrah dari Makkah, yakni kaum Muhajirin, seperti saudara. Negara Khilafah dengan cepat menjadi Negara terkemuka yang membawa cahaya di Semenanjung Arab, yang mulai membawa dakwah Islam ke seluruh dunia.
Kaum penentang dan kaum pesimis akan membuat kita berpikir bahwa hal seperti itu adalah tidak mungkin. Mereka jelas belum mempelajari Islam, atau mungkin mempelajari sejarah lainnya. Negara terkemuka di dunia pada saat ini, yakni Amerika Serikat lahir dari perang kemerdekaan—yang diikuti oleh Perang Saudara bahkan lebih getir.
Adalah tidak masuk akal bahwa orang-orang memberikan legitimasi kepada kekuatan eksternal yang mencoba untuk memaksakan solusi sekuler terhadap Timur Tengah ketika ‘Plan A’ (yakni Sykes Picot) telah terungkap. Namun, mereka tidak dapat melihat bahwa sistem Islam akan menawarkan solusi yang nyata untuk wilayah yang telah mengalami bencana sejak sistem Islam dilenyapkan dari kehidupan panggung politik beberapa dekade yang lalu. [] AbdulWahidHT