Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi mengadvokasi kasus kematian Siyono, terduga teroris yang tewas saat dalam pemeriksaan densus 88 antiteror. Istri Almarhum Siyono, Suratmi dan kelima anaknya belum lama ini mendatangi kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Jalan Cik Ditiro, Selasa (29/3/2016).
Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo menegaskan bila masih ada tindakan teror atau intimidasi kepada Suratmi dan keluarganya, maka PP Muhammadiyah akan menempuh jalur hukum.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqodas yang hadir menerima pengaduan menyampaikan bahwa keluarga besar PP Muhammadiyah berempati pada meninggalnya Siyono.
“Setiap tindakan terpuji akan ada balasan setimpal dari Allah SWT, tapi tindakan brutal, sedangkan dia mempunyai istri dan anak. Ini peringatan untuk menyentuh teman-teman di Densus 88,” tutur Busyro. (Detik, 29/03/16).
Komnas HAM memutuskan akan mengautopsi jenazah Siyono yang tewas saat diperiksa Densus 88. Langkah ini didukung penuh oleh PP Muhammadiyah sebagai kuasa istri Siyono, Suratmi dan lima anak-anaknya.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan adanya indikasi pelanggaran administrasi yang dilakukan Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri, dalam kasus penangkapan Siyono.
Densus 88 dituding melanggar hukum acara pidana, “Tidak ada surat dari Densus kalau upaya (penangkapan) itu sah, tidak ada surat penangkapan, apalagi surat penggeledahan,” ujar Staf Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras Satrio Wiratari, di Jakarta (kompas.com, 26/03/16).
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan telah mengakui adanya kelalaian polisi dalam mengawal Siyono. Saat dibawa menuju bungker penyimpanan senjata, Siyono hanya dikawal dua orang yang terdiri dari satu sopir dan satu anggota Densus 88. Padahal menurutnya Siyono diduga polisi sebagai salah satu panglima investigasi dalam kelompok Neo Jamaah Islamiah.
“Ini pun juga salah satu prosedur yang salah dari kami sendiri. Seharusnya mengawal tahanan minimal dua orang,” ujar Anton di Mabes Polri, Jakarta, Senin (14/3/2016).
Polri pernah memberikan keterangan resmi ihwal kematian Siyono karena bergulat dengan petugas dan kelelahan hingga meninggal. Namun, belakangan keterangan ini agak sedikit berbeda dengan pernyataan Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokkes) Polri Brigjen (Pol) Arthur Tampi. Arthur mengatakan, Siyono meninggal akibat luka di kepala bagian belakang karena benturan benda tumpul.
“Penyebab kematian adalah terjadi pendarahan di belakang kepala akibat benturan benda tumpul,” ujar Arthur di Mabes Polri, Jakarta, Senin (14/3/2016).
Ketua Tim Pembela Muslim (TPM) Mahendradatta, mengatakan bahwa masyarakat tidak akan percaya begitu saja dengan pernyataan-pernyataan resmi Markas Besar Kepolisian RI ihwal penyebab tewasnya para terduga teroris yang ditangkap Densus 88. Seperti dalam kasus Siyono, polisi terkesan memamerkan kekuatan untuk menekan keluarganya sehingga mereka memilih pasrah. Ujar Mahendradatta. (NBCindonesia.com, 16/03/16).
Kematian Siyono pelanggaran hukum, Negara harus hadir melindungi rakyatnya
Tidak ditemukannya berkas perkara sebagai syarat administratif dari upaya paksa yang dilakukan Densus 88 terhadap Siyono adalah pelanggaran hukum. Dalam KUHAP telah diatur secara rinci prosedur hukum tindakan penangkapan dan /atau penggeledahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP. Bahkan secara khusus prosedur penanganan terorisme telah diatur dalam Pasal 9 Perkap No. 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme.
Pada pasal 9 b Perkap No 23 tahun 2011 disebutkan :
“Kegiatan pra-penindakan merupakan kegiatan awal untuk menyiapkan administrasi penyidikan antara lain: 1)surat perintah tugas; 2)surat perintah penangkapan; 3)surat perintah penggeledahan”.
Tindakan Densus 88 antiteror yang asal tangkap, tidak memperhatikan administrasi dan hukum acara adalah tindakan keliru dan terhadapnya harus dilakukan investigasi khusus secara serius. Upaya penindakan secara internal melalui divisi Propam Mabes Polri tidak memberikan rasa tenteram kepada masyarakat, mengingat dikhawatirkan Polri tidak netral dalam melakukan pemeriksaan kasus.
Adapun terkait Kondisi jenazah Siyono yang penuh luka di sekujur tubuhnya bertentangan dengan keterangan resmi Mabes Polri yang menyatakan bahwa Siyono meninggal karena berkelahi saat melakukan perlawanan terhadap seorang anggota polisi yang mengawalnya. Luka di sekujur tubuh Siyono menunjukkan ada dugaan kuat terjadi penyiksaan terhadapnya. Masyarakat sulit untuk mempercayai bahwa luka tersebut disebabkan oleh reaksi spontan seorang anggota polisi yang membela diri dari perlawanan Siyono.
Apalagi dengan dalih apapun, Siyono telah meninggal dalam proses penangkapan oleh Densus 88 antiteror. Baik karena tindakan sengaja maupun kealpaan, Densus 88 secara hukum bertanggung jawab penuh atas kematian Siyono, mengingat kematian tersebut berada dalam kewenangannya.
Kronologis dan keterangan Mabes Polri yang menyebut kematian Siyono karena kelelahan maupun karena pukulan benda tumpul, semuanya tidak dapat mengesampingkan kewajiban dan tanggung jawab hukum Densus 88 antiteror selaku pihak yang melakukan penangkapan. Apalagi jika dapat dibuktikan dugaan pelanggaran administrasi dan hukum oleh Densus 88, tidak hanya kepolisian bahkan negara harus ikut bertanggung jawab.
Upaya Polri yang diduga meminta keluarga korban untuk tidak menuntut pertanggungjawaban terhadap kematian Siyono merupakan bentuk intimidasi dan pelanggaran HAM bagi keluarga korban untuk memperoleh keadilan.
Jika benar, Polri telah melanggar ketentuan Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi…”.
Bentuk pertanggungjawaban negara
Negara selaku institusi pelindung dan pengayom rakyatnya harus turut terlibat dan berperan aktif untuk membela harkat dan martabat rakyatnya. Tindakan berlebihan oleh Densus 88 antiteror yang selama ini berulang harus segera dievaluasi oleh negara berdasarkan wewenang yang ada padanya. Negara atas nama hukum tidak boleh kalah dengan institusi apapun dibawah Kendali negara, termasuk Negara tidak boleh kalah oleh Densus 88 antiteror.
Tindakan negara untuk mengembalikan kendali terhadap penjagaan negara atas harkat dan martabat rakyat, saat ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan jalan negara melakukan evaluasi terhadap keberadaan Densus 88 antiteror dengan membubarkannya, untuk selanjutnya menyerahkan wewenang dan tugas Densus 88 antiteror kepada divisi Reserse Kriminal Polri.
Selanjutnya seluruh tindakan aparat penegak hukum dalam memerangi terorisme harus selalu dalam kontrol dan kendali negara. Tidak boleh ada penambahan wewenang apapun kepada penyidik untuk melakukan penindakan kasus terorisme, mengingat wewenang yang ada saja cenderung selalu disalahgunakan.
Usulan revisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme harus dibatalkan. Seluruh wewenang tambahan, sebagaimana diatur dalam Draft Rencana Perubahan UU anti Terorisme harus dicegah oleh negara dengan jalan mengesampingkannya dan menghapusnya dari pembahasan.
Tanggung jawab umat Islam
Sesungguhnya isu perang melawan terorisme (War on Terorism) bertujuan untuk mencegah kebangkitan umat Islam. Isu terorisme telah secara nyata membidik umat Islam. Perang melawan terorisme sejatinya adalah perang terhadap kembalinya hegemoni kekuasaan kaum muslimin dengan kembalinya kepemimpinan Islam (Khilafah) dalam kancah politik dunia.
Dorongan tuntutan pembubaran Densus 88 antiteror, termasuk wacana penolakan RUU Anti-Terorisme wajib didorong oleh segenap kaum muslimin. Umat harus bergerak bersama-sama atas terjadinya serangkaian kedzaliman yang dilakukan oleh densus 88 kepada kaum muslimin.
Hanya saja, tidak cukup dengan membubarkan densus 88 antiteror dan menolak Revisi UU terorisme. Umat juga harus diingatkan tentang pentingnya menegakkan kekuasaan Islam yang akan menjaga dan melindungi segenap darah dan kehormatan umat Islam. Perjuangan penegakan kekuasaan Islam (Khilafah) harus menjadi agenda utama seluruh komponen umat. Persoalan yang mendera kaum muslimin kesemuanya berpulang pada tidak diterapkannya syariat Islam untuk mengatur kehidupan politik. Penerapan syariat Islam dalam urusan politik, hanya bisa ditegakkan melalui institusi politik Islam, yakni Khilafah.
Tanpa adanya Khilafah, penulis khawatir akan banyak terjadi tragedi kematian Siyono-Siyono yang lain oleh kedzaliman densus 88 antiteror termasuk oleh penguasa, sementara umat tidak dapat berbuat banyak. Khilafah adalah satu-satunya benteng sekaligus pelindung umat Islam. Khilafah adalah janji Allah SWT sekaligus kabar gembira dari Rasullullah SAW.
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikanorang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, danDia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55).[Abu Jaisy al Askary]