Dulu Mimpi, Kini Tidak Lagi

Foto nanti mau diapakan?” tanya saya kepada salah seorang panitia yang tengah bekerja menyiapkan venue (tempat acara) Uluslararasi Hilafet Konferansi atau Konferensi Khilafah Internasional dengan tema “Hilafet Hayal Mi, Yakin Bir Gelecek Mi (Khilafah – Fiction or Near Future)”, pada 6 Maret lalu di Attaturk Sport Center, Ankara, Turki. Foto yang saya maksud adalah foto besar Kemal Pasha, berdampingan dengan Bendera Turki bergambar bintang bulan sabit putih berlatar merah, yang tergantung di langit-langit stadion tempat acara. Karena besar ukurannya, kedua gambar itu terlihat sangat mencolok. Tergelitik saya untuk bertanya “nasib” kedua gambar itu nantinya.

Malam itu, sebelum besok acara berlangsung, saya bersama pembicara lain, seperti Syaikh Issam Ameera dari Palestina, Ismail Wahwah dari Australia serta Osman Bakhach, Direktur CMO, memang diundang panitia untuk melihat tempat acara. Pembicara lain dalam konferensi itu adalah Fazil Hamzayev, Kepala Kantor Media HT Ukraina, Mulay Jaw dari Denmark, Muhammed Abdullaev dari Kyrgyzstan and Mikail Romaniko dari Rusia.

“Nanti akan kita tutup dengan al-Liwa dan ar-Raya,” jawab salah seorang panitia singkat dengan bahasa sekenanya ditambah dengan gerak-gerak tangan untuk menjelaskan. Bahasa memang problem besar di Turki. Sangat sedikit yang mengerti bahasa Inggris, pun begitu bahasa Arab. Saat itu di deretan panggung tempat duduk memang terlihat ada sepasang al-Liwa dan ar-Raya ukuran besar yang tergeletak tepat di bawah kedua foto tadi. Tak lama kemudian, ada dua orang petugas yang bergelantungan di ketinggian menarik-narik al-Liwa dan ar-Raya. Tak butuh lama, akhirnya al-Liwa dan ar-Raya itu tepat menutupi kedua foto itu. Saya sempat ikut sedikit memberikan aba-aba untuk mengepaskan di posisinya.

“Apa nanti tidak masalah?” tanya saya kepada dia.

“Insya Allah, tidak,” jawabnya mantap. “Memang 10 tahun lalu, hal seperti ini, termasuk mengadakan kegiatan besar bertema Khilafah di tempat ini, adalah mimpi. Sekarang tidak,” jelasnya. “Kita bahkan mendapat dukungan kuat dari aparat keamanan. Lihat saja, mereka ikut mengamankan acara ini.”

Alhamdulillah, Konferensi Khilafah Internasional yang diikuti oleh sekitar 5000 peserta dari Turki dan dari berbagai negara seperti Rusia, Ukraina, Kyrgistan, Tajikistan, Uzbekistan, Syria, Palestian, Jordan, Aljazair, Jerman, Denmark, Swedia, UK dan lainnya itu berjalan lancar dan sukses. Peserta yang memadati tempat acara sangat antusias mengikuti acara hingga akhir.

Selain Konferensi Khilafah Internasional, seperti tahun sebelumnya, bertepatan dengan momen keruntuhan Khilafah 92 tahun lalu, pada 3 Maret, HT Turki juga mengadakan Uluslararasi Hilafet Sempozyumu (Simposium Khilafah Internasional) bertema “Nasil Bir Hilafet (Khilafah Seperti Apa?)”. Kegiatan yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Topkap, Istanbul, ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan seperti media, perwakilan LSM, para akademisi, penulis dan jurnalis. Peserta datang dari berbagai negara seperti Ukraina, Rusia, Uzbekistan, Kyrgistan, Tajikistan, Syria, Palestina, Aljazair, UK, Denmark, Swiss, Belgia, Jerman dan lainnya.

Simposium dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dengan empat pembicara, yakni Mustafa Ozcan, wartawan dan penulis, yang berbicara tentang “Status Umat Islam Setelah Tanggal 3 Maret 1924 dan Khilafah Yang Kedua”; Dr. Mehmet Kursat Atalar, penulis, tentang ”Apakah Negara Diperlukan untuk Hidup Islam?; M. Ismail Yusanto, Direktur Shar’iah Ekonomi & Management (SEM) Institute, menjelaskan “Pentingnya Khilafah bagi Umat Islam”; M. Hanefi Yagmur, anggota Komite Kontak Hizbut Tahrir Wilayah Turki, menjelaskan “Khilafah – Lembaga Sejarah atau Syariah”.

Sesi kedua membahas topik “Khilafah Seperti Apa yang Menjadi Tuntutan Umat?” oleh Selahattin Yazici, Presiden Kehormatan dari TIYEMDER, yang menjelaskan “Apakah Kontroversi Umat Islam Menjadi  Kendala Atas Persatuan?”; Abdulkadir SEN dari Institut Penelitian Timur Tengah, Universitas Marmara, menjawab pertanyaan, ”Mengapa Barat Berdiri Menentang Islam dan Kebangkitan Khilafah?”; Dr. Muhammad Malkawi, Dekan Fakultas Teknik, Universitas Jadara, Yordania, menjelaskan “Kebangkitan Kembali Khilafah:  Perkara Syariah yang Tidak Terelakkan dan Merupakan Realitas Politik”; Abdurrahim SEN berbicara tentang “Pemerintahan yang Sah Menurut Islam, Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwah”. Selain itu, wartawan dan penulis Ahmet Varol, Imam dan Dosen Syaikh Issam Ameera dari al-Quds, Palestina dan Fazl Hamzayev, Kepala Kantor Media Hizbut Tahrir Ukraina juga memberikan sambutan.

Seperti halnya Konferensi di Ankara, acara Simposium di Istanbul ini juga berjalan dengan lancar dan sukses. Acara ini mendapatkan perhatian yang  sangat besar dari berbagai kalangan seperti media, perwakilan LSM, para akademisi, penulis dan jurnalis. Beberapa tahun lalu acara-acara seperti ini hanya mimpi. Jangankan menyelenggarakan acara besar, sekadar membagikan nasyrah atau selebaran pun langsung ditangkapi polisi. Sekarang tidak lagi.

++++

Apa yang disampaikan kawan kita dari Turki itu menarik dicermati. Dia tengah berbicara tentang fakta, bahwa dengan dakwah semua bisa berubah. Apa yang dulu tidak mungkin, seperti penyelenggaraan kegiatan besar bertema Khilafah di Turki, termasuk menutup foto besar Kemal Pasha, kini menjadi mungkin. Bahkan acara besar itu diadakan di tempat yang letaknya hanya selemparan batu dari Gedung Parlemen yang dulu, 92 tahun lalu, menjadi tempat Kemal Pasha meng-abolish Khilafah. Intinya, melalui dakwah yang dulu hanya mimpi, sekarang tidak lagi.

Dakwah bukan hanya mengubah keadaan di Turki, tetapi di semua tempat di muka bumi ini. Pasalnya, substansi dakwah dimanapun sama, yakni menanamkan akidah, membentuk syakhsiyyah atau kepribadian Islam, mendorong ketaatan pada syariah dan menggerakkan dakwah bagi tegaknya kehidupan Islam. Yang menjadi obyek dakwah juga sama, yakni manusia yang berakal, bahkan sebagiannya sudah menjadi Muslim sejak lama. Oleh karena itu, sesungguhnya perubahan yang dihasilkan oleh dakwah hanyalah soal waktu. Artinya, bila kita menjalankan dakwah dengan ide (fikrah) dan metode (tharîqah) yang benar, insya Allah akan menghasilkan perubahan. Perubahan itulah yang membuat yang dulu tidak mungkin menjadi mungkin; yang dulu hanya mimpi kini menjadi kenyataan. Begitu seterusnya.

Di Indonesia juga begitu. Dulu tak terbayang kita bisa memenuhi Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Jangankan tempat sebesar itu, yang bisa menampung 100.000 orang, pada awal-awal dulu dalam satu acara bisa menghadirkan ratusan peserta saja sudah bagus. Namun kini, itu semua bisa terjadi. Bahkan sekarang kita justru kesulitan mencari tempat yang bisa menampung peserta lebih dari 100.000 karena memang tidak tersedia. Dulu juga tak berbayang dakwah untuk tegaknya syariah dan Khilafah tersebar ke seluruh Indonesia. Jangankan tersebar ke seluruh Indonesia, di Jawa pun tidak. Kini, hampir tidak ada propinsi, bahkan kota dan kabupaten, yang tak tersentuh dakwah ini.

Bila sekarang masih sulit membayangkan tegaknya syariah dan Khilafah melalui thalab[un]-nushrah, karena bagaikan mimpi, maka suatu saat nanti, melalui dakwah yang terus dilakukan secara konsisten, hal itu akan terwujud. Insya Allah. Mengapa tidak? [HM Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*