Sudahi Penjajahan Asing di Indonesia

indonesia dijajahOleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Kita perlu meninjau ulang misi Barat untuk ‘menyelamatkan bangsa yang tidak beradab’. yang justru berdampak pada  pemusnahan bangsa oleh kolonialisme penjajah. Produk peradaban Barat menganggap kriteria baik dan buruk adalah kemajuan materi, bukan moralitas. Sehingga peradaban Barat didikte oleh berhala kemajuan material. Bagaimana pun agama (Islam) adalah nyawa kemanusiaan. Perintah dan larangan Allah mengatur aktifitas masyarakat dan negara, dengan tujuan utama mencari ridha Allah SWT dan bukan manfaat semata. Sehingga kesadaran diri dan potensi, serta tindakan taktis menyingkirkan Imperialisme Barat adalah kebutuhan dan kewajiban yang mendesak.

Kesadaran diri yang dimaksud dimaknai sebagai kenal akan geopolitik negeri baik sisi potensi, ancaman, peluang, kekuatan, dsb dari berbagai elemen astagatra yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan posisi geografi, demografi serta aspek SDA.Australia misalnya, ia akan menjerit jika Indonesia “tidak aman” sebab hampir 80% APBN-nya tergantung Indonesia. Belum lagi Cina, atau Jepang, Amerika, Prancis, dan lain-lain. Sistem transportasi ekspor impor negara-negara akan terganggu, “pasar”-nya lenyap, pasokan bahan baku untuk keperluan industri akan tersendat, atau aktivitas putar ulang kapital akan berhenti, dan lainnya.

Kedahsyatan takdir geopolitik tadi selain dapat meletakkan wilayah Indonesia sebagai aktor kunci dalam setiap kerjasama apapun di kawaan Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik, tak boleh disangkal bahwa ia juga akan menjadi ‘kawasan tujuan kolonialisme (dan imperialisme)’ negara manapun, siapapun, dan kapanpun untuk mengekspoitasi, menguasai dan mencaplok baik SDA maupun aspek-aspek ekonomi lainnya. Hal inilah yang harus dikenali serta disadari bersama oleh berbagai elemen bangsa. Tak boleh tidak. Akan tetapi karena faktor geoposisi silang, maka modus dan pola imperialisme para negara (adidaya) dipastikan akan secara non militer (asymmetric warfare), bukan secara militer (hard power) sebagaimana terjadi di Irak, Afghanistan, Libya, Syria, dan lain-lain.

Terkait kondisi bahwa Indonesia sedang dalam imperialisme dan kolonialisme global (AS, China dan Eropa), maka pola serta modus peperangan asimetris perlu disampaikan kepada umat. Hal ini dilatar-belakangi keprihatinan, bahwa Indonesia kemarin, kini dan mungkin kedepan tengah dijadikan ajang medan tempur (proxy war) oleh para adidaya secara asimetris (nirmiliter), tetapi justru banyak tokoh agama, tokoh adat, kaum akademisi, generasi muda dll. tak menyadari bahkan larut pada skema yang sedang dijalankan oleh kepentingan asing. di sisi lain, masyarakat dijejali ‘pagelaran citra’ elit politik sekuler, seolah-olah itulah permainan riil hidup dan mati. Bukankah itu realitas semu? Ibarat kodok di tepi sumur, ia menganggap sumur itu dunia yang patut diperjuangkan. Mengenaskan. Maka hiruk-pikuk politik pun terlihat glamour tetapi tidak bermakna apa-apa. Seperti ada derap kemajuan namun hakikinya mundur hancur.

Ketika segenap elemen umat ini gaduh soal korupsi, bukankah kita telah masuk dalam perangkap asing agar bangsa ini hanya sibuk di tataran hilir?, sementara persolan bangsa di hulu berupa kontrol ekonomi dan penguasaan SDA oleh asing justru kian kuat tertancap. Nyaris tanpa gugatan!

Manakala propagandis liberal selalu gaduh menegakkan freedom dan HAM, bukankah berarti anak bangsa ini tengah menjalankan geostrategi milik asing.Pada faktanya negara-negara Barat sendiri menjadikan HAM dan demokrasi sebagai kedok penjajahan.

Data bicara

Inilah data-data yang berserak di dunia maya dimana selama ini tersembunyikan atau barangkali juga “disembunyikan” oleh para adidaya agar tidak muncul space consciousness atau kesadaran geopolitik. sekilas data-data per harinya:

Pertama, ada sekitar 40-an juta ton cargo melintas, dan 21-an juta barel melewati perairan Indonesia (bandingkan dengan Selat Hormuz yang hanya 17 juta, atau Selat Malaka 15 juta barel, dll) dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, dimana dekade 2030-an diprediksi akan meningkat dua kali lipat;

Kedua, selain hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, ia pun dapat membahayakan pemanasan global (karena kontribusi 2 % perusak hutan), juga berlimpahnya energi alternatif semacam panas bumi, hydro, solar, angin dan biduel dari tumbuhan (jarak, sagu, tebu, ubi kayu, dll) termasuk ethanol, alkohol dsb hampir semua ada serta berlimpah di Indonesia;

Ketiga, fakta yang tak boleh dipungkiri bahwa Indonesia itu penghasil lada putih nomor 1 (satu) di dunia, produsen kayu lapis terbesar, penghasil puli dari buah pala terbaik di dunia, LNG terbesar, dan juga penghasil lada hitam, karet alam, minyak sawit (CPO), timah —- untuk tiga komoditas terakhir ini terbesar kedua di dunia;

Keempat, fakta-fakta lainnya bahwa ia merupakan negara penghasil tembaga nomor tiga di dunia, penghasil kopi dan karet sintetik keempat, selain penduduknya juga menempati urutan keempat terbesar di muka bumi. Kelima, selain itu, sebagai negara agraris juga memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, saat ini Indonesia dinilai sebagai penghasil ikan nomor enam di dunia, termasuk teh, biji-bijian, dan lain-lain. Keenam, untuk hasil tambang jangan ditanya lagi, sebagai negeri ring of fire (lingkaran sabuk api) maka berbagai jenis dan aneka tambang pasti berserak di negeri ini, seperti natural gas, emas, batu bara —- ketiganya nomor enam di dunia. Indonesia juga penghasil minyak bumi nomor sebelas di dunia (data minyak ini perlu cross check kembali), kemudian juga penghasil aspal, bauxit, nikel, granit, perak, uranium, marmer dan mineral ikutannya serta pasir besi dengan kualitas terbaik di dunia;

Ketujuh, selain potensi pariwisata yang besar baik berupa pemandangan alam, beberapa pantainya mempunyai ombak terbaik di dunia untuk surfing, kemudian adat, budaya dan banyaknya situs serta artefak kejayaan masa lalu masih terawat baik, bahkan temuan terbaru perihal artefak kejayaaan nusantara (Piramida Gunung Padang) bakal mengubah dunia, bahkan mungkin dapat merobek buku sejarah sejak halaman pertama —- juga tak lupa ialah local wisdom bangsa ini berupa keramah-tamahan warga lokal terhadap pendatang (tourist) kendati nilai-nilai tersebut kini telah mulai luntur karena faktor lingkungan yang berubah serta tak terbendung.

Seperti kita ketahui bersama bahwa agenda setting yang digulirkan AS dan Sekutunya terhadap Indonesia adalah sebuah bentuk skema Perang Non Militer: Pertama, serangan udara berupa bom-bom isu demokrasi, hak azasi manusia, lingkungan, profesionalisme, sara, sampai sanksi embargo dengan target sasaran menghancurkan sistem ipoleksosbudmil. Kedua, serangan darat pasukan elit “komprador” yang terdiri dari intelektual dan politisi – baik sipil maupun militer – untuk memformat ulang sistem ipoleksosbudmil Indonesia dengan sistem baru yang di set up sesuai dengan kepentingan pembuat agenda. Sebagai target utama operasi Non Militer sekutu adalah UU liberal agar memudahkan instalasi sistem privatisasi dan perdagangan bebas WTO ke dalam sistem ekonomi yang sudah diliberalkan. Sehingga Indonesia kini menjadi negara yang compatible bagi akses dan koneksitas sistem ekonomi asing, terutama bagi kepentingan AS, Uni Eropa, Jepang dan China.

Model agenda setting ini terbukti manjur ketika dipakai untuk membangkitkan nasionalisme sempit di kawasan Eropa Tenggara. Sehingga pecah konflik etnis bersenjata yang mengakibatkan pecahnya Yugoslavia menjadi negara-negara kecil meliputi Republik Serbia, Republik Montenegro, Republik Kroasia, Republik Slovenia, Republik Makedonia dan Bosnia Herzegovina. Sebelum pecah, negara pelopor Gerakan Non-Blok (GNB) ini dikenal sebagai sebuah negara Komunis yang maju dan makmur rakyatnya.

Common Enemy

Faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia adalah kawasan yang mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan hilir mudik pelayaran lintas negara bahkan antarbenua. Betapa 80% perdagangan dunia melintasi perairan dan selat-selat di Indonesia. Menurut Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, bahwa 50% yang melintas di perairan Indonesia adalah tanker-tanker minyak dunia. Data di Lemhanas RI, “Hampir 50 % perdagangan laut komersial dunia dilakukan melalui perairan Indonesia dan perairan regional kawasan ini. Hampir dipastikan bahwa negara-negara lain sebagai pengguna jalur strategis ini memiliki arti yang sangat vital dan strategis bagi perdagangan internasional,” ungkap Gubernur Lemhanas, Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji dalam seminar nasional yang digelar GMNI di Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Sabtu (3/5/2014).

Secara geostrategi, kedahsyatan geoposisi silang yang jarang dimiliki negara manapun meniscayakan Umat Islam di Indonesia berdaya tawar tinggi di panggung (politik) global. Ia mampu merajut hubungan dengan berbagai negara di antara dua benua dan samudera. Dan yang terpenting, kaum muslimin di Indonesia mampu memegang posisi kunci di antara negara-negara Adidaya di satu sisi, namun pada sisi lain, bisa ‘diplokoto’ (diperdayai) apabila kita lemah dan abai terhadap kesadaran geopolitik, mungkin hanya dijadikan buffer zone (wilayah penyangga), atau cuma diletak sebagai proxy war (lapangan tempur) bagi kepentingan negara-negara lain. Silahkan pilih mana atau mau jadi apa, tergantung geostrategi dan policy pemerintah serta bagaimana anak bangsa ini menyikapi secara cerdas takdir geopolitik tersebut.

Kita perlu sadar, proses terjadinya imperialisme penting diketahui untuk bisa menghadapinya. Intinya jika kita telusur, proses neoimperialisme ini dilakukan dengan jalan menjebak negara/wilayah sasaran dengan jeratan utang. Utang itu digunakan alat untuk memaksakan kebijakan-kebijakan imperialistik. Berikutnya utang juga digunakan untuk memaksakan dibentuknya kerangka legal dan sistem yang liberal. Selanjutnya kerangka legal dan sistem yang liberal itu membuka pintu lebih lebar dan melapangkan jalan untuk neoimperialisme. Itulah yang terjadi di negeri ini.

Proses neoimperialisme di dunia dan khususnya di negeri ini bisa ditelusur sejak dekade 50-an abad lalu. Proses penanaman modal asing dan penggelontoran utang yang menjebak berjalan secara beriringan. Proses neoimperialisme ini melibatkan lembaga-lembaga internasional dan berkolaborasi dengan anak-anak negeri sendiri.

John Pilger mengungkap seputar kejadian saat itu dalam bukunya The New Rulers of the Worldpada halaman 37 menulis: “In November 1967, following the capture of the ‘greatest prize’, the booty was handed out. The Time-Life Corporation sponsored an extraordinary conference in Geneva which, in the course of three days, designed the corporate takeover of Indonesia. The participants included the most powerful capitalists in the world, the likes of David Rockefeller. All the corporate giants of the West were represented: the major oil companies and banks, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British-American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, the International Paper Corporation, US Steel. Across the table were Suharto’s men, whom Rockefeller called ‘Indonesia’s top economic team’. (Pada bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank utama, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British-American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “tim ekonomi top Indonesia”).

“… and in April 1967, he asked the Sultan to draw up a plan for ‘market economic’. In fact, the plan was the inspiration of the Ford Foundation which had a long history in Indonesia, often working through CIA front organisations like the Center for International Studies and the Stanford Research Institute, which sent e team to Jakarta immediately after the coup. It was written by Harvard economist Dave Cole hired by the US Agency of International Development, a branch of the State Departement.” (… dan pada April 1967, Soeharto meminta Sultan untuk merancang rencana untuk ‘ekonomi pasar’. Pada faktanya, rencana tersebut diinspirasi oleh Ford Foundation yang punya sejarah panjang di Indonesia sering bekerja melalui organisasi garis depan CIA seperti the Center for International Studies dan the Stanford Research Institute yang mengirimkan tim ke Jakarta segera setelah kudeta. Itulah yang ditulis oleh seorang ekonom Harvard, Dave Cole yang di-hire oleh Badan Pembangunan Internasional AS (the US Agency of International Development) cabang dari kementerian AS).

Proses imperialisme sejak awal Orde Baru hingga akhir Orde Baru itu menunjukkan bahwa Indonesia telah dijajah melalui utang. Akibat terjerat utang, kebijakan negeri ini, khususnya kebijakan perekonomian akhirnya dikontrol oleh barat melalui IGGI, lalu CGI dan terutama melalui IMF dan Bank Dunia. Selain itu atas kolaborasi orang-orang negeri ini sendiri dengan kapitalis global, dibuat kerangka legal bagi penguasaan asing terhadap berbagai kekayaan alam negeri ini. Apa yang diuraikan di bagian sebelumnya tentang protret imperialisme dan dampaknya, sebagian besarnya adalah akibat dari utang dan liberalisasi dalam masalah penanaman modal yang dimulai sejak awal Orde Baru itu.

Campur tangan AS diseluruh belahan dunia memang bukan rahasia lagi, bahkan dilakukan secara sistematis dan terang-terangan yang akan kita bahas kemudian. Amerika telah merumuskan kepentingan nasionalnya dalam skala global, dengan prioritas menjaga kemanan stabilitas minyak dan dollar sebagai urat nadi transaksi perdagangan internasional. Nah, untuk menjaga keamanan kepentingan nasionalnya itu, AS tidak ragu-ragu untuk ikut campur menentukan nasib dan masa depan suatu bangsa di muka Bumi, seperti menentukan kepemimpinan nasional suatu bangsa, termasuk di Indonesia. AS tampaknya mencoba bermain sebagai Tuhan, playing of God. Dan memang tampaknya tidak main-main. Memasuki millenium ketiga, Amerika secara sistemik telah menyempurnakan sistem keamanan globalnya untuk mengatur dunia.

Melihat Indonesia, maka akan tampak hamparan negeri dengan limpahan kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Namun sayang, mengapa limpahan kekayaan alam itu belum dapat dinikmati rakyat Indonesia? Rakyat di negeri ini justru hidup dalam kondisi yang tertindas dan sengsara. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di berbagai bidang yang lainnya seperti politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dsb.

Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye atau sebelum Pemilu. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misalnya, adalah bukti nyata aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal. Oleh karena itulah, jelas sekali negeri ini harus segera diselamatkan. Tak ada pilihan lain kecuali wajib diselamatkan dengan sistem Islam.[]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*