Sejarah dan Seluk Beluk Tax Havens

Tax havens secara umum diartikan sebagai negara atau wilayah yang mengenakan pajak rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali.

panam papers guncang dunia

Panama Papers yang baru-baru ini muncul telah menimbulkan kehebohan. Jutaan dokumen yang bocor itu menampilkan informasi para klien firma hukum Mossack Fonseca di Panama. Mereka memiliki berbagai tujuan, mulai dari bisnis, penyamaran kepemilikan, hingga penghindaran pajak.

Istilah tax havens sering pula disebut sebagai tax heaven atau surga pajak. “Tax havens sebenarnya lebih tepat diterjemahkan suaka pajak, karena merupakan perlindungan dari pengenaan pajak,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada Katadata, Minggu, 10 April 2016.

Sebelumnya, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk Panama Papers secara serentak di seluruh dunia mulai Senin awal pekan lalu. Data yang bersumber dari bocoran data Mossack Fonseca ini menyangkut 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing.

Sejumlah nama politisi, bintang olahraga, dan selebriti yang menyimpan uang mereka di berbagai perusahaan cangkang di luar negeri tercatat dalam dokumen tersebut. Tercatat, dokumen Panama Papers masuk dalam file sebesar 2,6 terabyte (TB). Perinciannya, ada 4,8 juta e-mail, 3 juta database, 2,1 juta dokumen PDF, 1,1 juta foto, 320 ribu dokumen teks, dan 2.000-an file lainnya.

Menurutnya, terminologi tax havens dekat dengan istilah yang dipakai Prancis, yaitu paradis fiscaux. Spanyol menyebutnya sebagai paradisos fiscales. Sementara itu, Italia mengenal rifugio fiscale dan Jerman memakai istilah Stuerhafens. Semua istilah tersebut menandakan sesuatu yang nikmat dan menyenangkan.

Tax havens secara umum diartikan sebagai negara atau wilayah yang menegakan pajak rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali. Negara atau wilayah tersebut sekaligus menyediakan tempat yang aman bagi simpanan untuk menarik masuknya modal. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebut ada tiga ciri tax havens.

Petama, menerapkan tarif pajak rendah atau bebas pajak. Kedua, lack of transparancy. Ketiga, lack of effective exchange of information. Yustinus menjelaskan, dengan demikian, tidak semua yurisdiksi dengan tarif pajak rendah merupakan tax havens karena bersedia bekerjasama dalam pertukaran informasi. (Grafik: Beda Panama Papers Dan Offshore Leaks).

beda panama papers dan offshore leaks

Dia juga menuturkan sejarah tax havens. Tax havens muncul seiring meningkatnya tarif pajak. Majalah The Times menyebut istilah tersebut pertama kali pada 17 Mei 1984. Ketika itu, banyak wajib pajak di Inggris yang memindahkan kekayaan mereka untuk menghindari pajak. Setelah Perang Dunia Pertama terjadi, negara-negara menaikkan tarif pajak untuk mendongkrak pendapatan negara seiring tingginya kebutuhan biaya setelah perekonomian hancur akibat perang.

Tarif pajak bahkan mencapai 72 persen pada 1924. Sejak saat itu, tax havens lahir dan tiga kota, yaitu Swiss-Jenewa, Zurich, dan Basel menjadi pusat penghindaran pajak yang aman. Pada 1930-an, semakin agresifnya pemungutan pajak mendorong lahirnya tax havens baru. Ketika Roosevelt berkuasa, para pengusaha di Amerika Serikat memilih Bahama untuk menyembunyikan penghasilan mereka. Kemudian pada 1960, Cayman Island menjadi tax havens baru, dengan dukungan perbankan Kanada.

Di tahun 1971, The Rolling Stones meninggalkan Inggris lantaran beban pajak yang terlalu tinggi. Kepindahan mereka ke Amerika Serikat juga diikuti banyak nama-nama profesional. Pada saat yang sama, Panama juga lahir sebagai tax havens, sebagai penyimpanan dana pengusaha Amerika Serikat dan Amerika Tengah, terutama Kuba.

Yustinus mengatakan, tax havens semakin marak seiring globalisasi. Bahkan, pajak dan globalisasi memiliki kaitan erat kerena efisiensi pajak menjadi motif utama mencari keuntungan maksimal. Di tahun 1989, OECD menerbitkan dokumen Antiharmful Tax Competition serta membuat daftar hitam negara suaka pajak.

“Sejak saat itu, genderang perang terhadap tax havens dimulai,” ujar Yustinus. Menurut International Monetary Fund (IMF), ada 60 wilayah suaka pajak. Tujuh tax havens terbaik adalah Swiss, Liechtenstein, Austria, Panama, Saint Kitts and Nevis, Belize, serta Hongkong. Sementara itu, untuk perlindungan aset, ada sebelas negara atau wilayah terbaik. Negara atau wilayah tersebut adalah Jersey (Channel Island atau Mediterania Eropa), Liechtenstein, Cayman Island, St. Kitt Nevis, Panama, Gilbatar, Isle of Man, Bermuda, Bahamas, Austria, dan New Zealand.

Pada taraf tertentu, Irlandia pun menawarkan rezim pajak rendah untuk perusahaan yang berkedudukan di Irlandia, dengan kontrol manajemen di luar Irlandia. Hal ini disebut sebagai double Irish. Sementara itu, Belanda memiliki Dutch Sandwich, yaitu kebijakan untuk tidak mengenakan pajak terhadap pembayaran royalti sehingga negara tersebut kerap menjadi tempat pendirian special purpose vehicle (SPV).

Yustinus mengatakan ada delapan fakta beserta data mengenai tax havens yang mencengangkan. Pertama, 33 persen foreign direct investment (FDI) berasal dari tax havens. Kedua, di tahun 2010, Barbados, Bermuda, dan British Virgin Islands menerima FDI 5,11 persen dari FDI global. Nilai tersebut melebihi Jerman (4,77 persen) dan Jepang (3,76 persen). Nilai investasi di Barbados, Bermuda dan British Virgin Island mencapai 4,54 persen investasi global, sekaligus mengungguli Jerman (4,28 persen).

Ketiga, British Virgin Island pada 2010 menjadi investor terbesar kedua di Cina (14 persen) setelah Hong Kong (45 persen) dan melebihi Amerika Serikat (4 persen). Bermuda pun merupakan investor terbesar ketiga terbesar di Chile (10 persen). Keempat, Mauritius adalah investor terbesar di India (24 persen). Sementara itu, Siprus, Britisch Virgin Islands, Bermuda dan Bahama menjadi investor terbesar di Rusia.

Kelima, British Virgin Islands memiliki 19 ribu penduduk, tapi ada 830 ribu perusahaan yang terdaftar, dengan 300 ribu perusahaan cangkang. Keenam, ada 70 ribu perusahaan di Cayman. Di sana pun ada 720 perusahaan asuransi. Padahal, hanya 5.400 pegawai yang tercatat. Sebanyak 18 ribu perusahaan juga terdaftar dengan satu alamat saja. Aset Caymen mencapai 1,3 kali produk domestik bruto (PDB) Norwegia, dan total asetnya sebesar 700 kali PDB. Ketujuh, Swiss menyimpan US$ 2.300 miliar dana asing. Kedelapan, Amerika Serikat kehilangan potensi pajak Rp 6 triliun karena Rp 30 triliun laba perusahaan diparkir di luar negeri. (Ekonografik: Panama Papers Guncang Dunia).

Yustinus kemudian menyebut sejumlah nama besar yang memanfaatkan tax havens. “Yang paling hangat adalah Apple, Google, Starbucks dan Amazon. Sebelumnya Airbus, Marks and Spencer, Vodafone, Coca Cola, Cisco, Pfizer, LTCM, Parmalat, Refco, Enron, Northern Rock,” kata dia.

Sementara itu, menurut penelitian Tax Justice Network pada 2010, ada aset senilai lebih dari US$ 331 miliar atau setara dengan Rp 4.500 triliun milik orang Indonesia di tax havens. Berdasarkan data Global Financial Integrity pada 2014, setidaknya terdapat Rp 200 triliun aliran dana ilegal keluar Indonesia per tahun. Lembaga lain, yaitu McKinsey, menyebut jumlah aset orang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 4.000 triliun.

Yustinus mengungkapkan, ada tiga kelompok orang Indonesia yang menyimpang uangnya di tax havens. Pertama, mereka yang murni melakukan aksi korporasi. Kedua, orang-orang yang ingin menyamarkan kepemilikan. Ketiga, para penghindar pajak. “Maka di nomor dua dan tiga, kita akan dirugikan,” kata dia.

Sebenarnya, sudah ada sejumlah inisiatif yang dijalankan untuk menangkal tax havens. Beberapa di antaranya adalah melalui Financial Action Task Force (1989), OECD Forum on Harmful Tax Practices dan OECD Global Forum, Tax Information Exchange Agreement (2001), dan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan (2013) yang diinisiasi OECD serta G-20.[[]

Sumber: katadata.co.id (11/4/2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*