Seorang Mujtahid, ketika menelusuri Hukum Syara’ dalam masalah apapun, maka setelah ia memahami Fakta (Waqi’) mengenai masalah tersebut, wajib baginya untuk mencari dalil-dalil dari nash-nash nyara’, kemudian menggali hukum syara’ setelah mendalami berbagai dalil yang berkaitan dengan masalah itu.
Dan tidak sah baginya untuk menghadirkan pendapat terhadap suatu masalah lebih dahulu, baru kemudian mencari dalil-dalil yang digunakannya untuk menjadi sandaran atas pendapat yang terlanjur ia pegang.
Hal itu karena yang dituntut secara syar’iy adalah sikap al Ihtikam (berpatokan) pada syariah. Yakni mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil. Bukannya lontaran pendapat dari seseorang yang diberi julukan ‘Mujtahid’, setelah itu baru mencari dalil-dalil pendukung atas pendapat tersebut. Karena ini bukanlah bentuk ketundukan pada hukum syara’, dan juga bukan penelusuran (al bahts) terhadap hukum syara’. Melainkan merupakan ketundukan pada hawa nafsu.
Al ‘Aalim Atha bin Khalil Abu Ar Rasytah
(Zamroni Ahmad)