Di permukaan, kebanyakan orang, termasuk pengamat, melihat bahwa Iran sering berseberangan—bahkan terkesan selalu bermusuhan—dengan AS. Demikian pula sebaliknya. Julukan ‘Setan Besar’ yang pernah dinisbatkan oleh Iran kepada AS seolah menegaskan permusuhan keras Iran terhadap AS. Demikian pula pengaitan Iran dengan ‘poros kejahatan’ yang pernah dilakukan oleh AS, seolah menegaskan bahwa AS benar-benar memusuhi Iran. Betulkah demikian?
Untuk menjawab pertanyaan, di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Direktur Central Media Office Hizbut Tahrir, Utsman Bahasy, khusus terkait dengan hubungan Iran-AS sejak dulu hingga kini. Berikut petikan wawancaranya.
Sebagian orang menganggap Iran sebagai republik Islam atau merupakan Daulah Islam. Apakah anggapan ini benar?
Untuk sampai pada penilaian terkait Iran dan negara-negara lainnya, apakah merupakan daulah islamiyah atau bukan, harus diperhatikan konsepsi-konsepsi dan hukum-hukum syariah terkait sistem pemerintahan Islam dan hukum; berikutnya sejauh mana kesesuaian sistem politik di Iran atau lainnya dengan konsepsi-konsepsi dan hukum-hukum tersebut.
Islam telah menentukan bahwa sistem pemerintahannya adalah Khilafah Islam, seperti yang dinyatakan oleh nas-nas syariah dari Rasul saw. Islam juga telah menentukan konsepsi-konsepsi syar’i yang mewajibkan negara menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah, bukan yang lain.
Sistem pemerintahah Iran diadaptasi dari sistem pemerintahan Barat buatan manusia. Di dalam Islam tidak ada konsepsi republik islami. Sistem pemerintahan Iran tidak tegak di atas asas khilafah yang merupakan kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim. Sistem pemerintahan Iran tegak di atas republik dan dalam batas-batas nasionalisme Iran. Semua itu bertentangan dengan Islam.
Konstitusi Iran mengandung simulasi konstitusi-konstitusi Barat. Sistem pemerintahan republik, pembagian kabinet, aktivitas parlemen, pemisahan kekuasaan dan masalah wewenang di dalamnya. Semuanya sesuai dengan sistem Kapitalisme. Memang, dinyatakan di dalamnya tentang “agama resmi Iran adalah Islam dan mazhab Ja’fari Itsna ‘Asyar”. Namun, itu seperti yang ada dalam kebanyakan konstitusi di negeri Islam; tidak berarti bahwa negara tegak di atas asas Islam atau misinya adalah mengemban Islam. Itu hanya berkaitan dengan libur dan hari raya; juga hanya terkait dengan akidah dan ibadah mereka serta dengan beberapa urusan kehidupan mereka. Konstitusi Iran tidak menyatakan bahwa agama ini atau mazhab ini adalah misi negara atau menjadi tujuan politik luar negeri.
Iran juga berjalan sesuai tatanan internasional saat ini. Di antaranya berafiliasi dengan organisasi-organisasi internasional dan regional yang tegak di atas asas sistem Kapitalisme, seperti keanggotaan Iran di PBB dan OKI. Seluruh hubungan internasional mereka tidak tegak di atas asas Islam. Dari sini jelas, bahwa Iran tidak memiliki misi khusus atau proyek tertentu yang terpancar dari Islam. Sebaliknya, sistem Iran berwarna nasionalisme dan patriotisme.
Kita juga bisa melihat dengan jelas bahwa Iran menghapus jihad dari kamusnya. Iran mengakui manajemen politik luar negerinya di atas asas legalitas imperialisme Barat. Kerjasama Iran dengan AS dalam invasi Afganistan dan Irak serta dalam membungkam Revolusi Syam lebih dari cukup untuk disebutkan.
Karena itu Iran bukanlah Daulah Islam. Klaim Iran dalam hal ini adalah klaim dusta yang tidak banyak berbeda dengan klaim rezim Saudi yang mengklaim sebagai sistem islami. Klaim ini bertentangan dengan fakta empiris dan politik yang diterapkan secara riil.
Apakah Iran merepresentasikan negara berdasarkan mazhab Syiah?
Sebagaimana rezim Saudi bersandar pada mazhab Wahabi (Hanbali) untuk menyandarkan legalitasnya yang palsu dan memakai pakaian islami, demikian juga sistem Iran bersandar pada mazhab Syiah Itsna ‘Asyariyah. Sudah diketahui bahwa pasca meninggalnya Khomeini pandangan ini menghadapi banyak tantangan. Khomeini berhasil memaksakan kepemimpinan karismatiknya, namun pengganti Khomeini tidak bisa mengisi kekosongan yang terjadi akibat meninggalnya Khomeini yang menjadi rujukan keagamaan dan rujukan politik secara mutlak. Banyak dari marja’ (rujukan) Itsna ‘Asyariyah tidak memiliki kemampuan seperti Khomeini secara keagamaan (aspek fikih dan ijtihad).
Lalu bagaimana pengaruh mazhab Syiah terhadap rezim Iran dan politik Iran?
Tidak lebih banyak dari pengaruh mazhab Wahabi (Hanbali) terhadap sistem Saudi, yakni hanya beberapa serpihan manifestasi yang mengklaim terikat dengan agama dan syariah. Adapun faktanya di sana, ada jurang lebar antara klaim lahiraih dan hakikat faktual. Rezim Iran mengeksploitasi fanatisme mazhab untuk menarik basis dukungan luas di kalangan Syiah di mana saja berada, mulai Pakistan sampai ke Libanon melewati Irak, Bahrain, Yaman, Saudi. Dengan demikian mazhab Syiah menjadi pakaian yang digunakan demi politik Iran yang bersifat regional dan nasionalis.
Benar, Iran setiap tahun mengusung slogan-slogan persatuan islami dan mengkhususkan Jumat terakhir Ramadhan sebagai Jumat suci. Rezim Iran pun mengklaim mendukung gerakan-gerakan Palestina, Hamas dan jihad. Akan tetapi, semua ini bagian dari politik propaganda yang bertujuan meyakinkan umat bahwa Iran mengusung proyek persatuan. Seandainya Iran mengusung panji jihad untuk menentang negara-negara kafir di Amerika dan Israel, mungkin enak mendiskusikan klaim Iran itu. Adapun ketika Iran secara penuh mendukung rezim diktator Syam dan mengirimkan pasukannya di “Hizbullah” Libanon untuk membungkam Revolusi Syam, maka itu menggugurkan daun at-Tut “al-Husainiyah” serta mengungkap wajah muram rezim Iran dan keberadaannya sebagai alat yang patuh melayani politik Amerika.
Iran tidak mementingkan aspek mazhab jika hal itu bertentangan dengan kepentingan nasional. Buktinya adalah sikap Iran terhadap Adzerbeijan. Adzerbeijan pernah ingin membebaskan diri dari cengkeraman Uni Soviet pada akhir tahun 1989. Masyarakat di sana lalu menghancurkan perbatasan dengan Iran untuk menyatukan diri ke Iran. Ada pembantaian di Adzerbeijan pada akhir tahun 1990 oleh agressor Rusia yang masuk Baku untuk menghalangi berdirinya sistem di Baku yang tidak tunduk kepada mereka dan mendatangkan antek-antek mereka dari kalangan komunis. Perlu diketahui, mayoritas penduduk Adzerbaijan adalah Muslim pengikut mazhab resmi Iran. Namun, Iran tidak membantu mereka. Iran juga tidak membantu Adzerbeijan dalam menghadapi orang-orang Armenia yang didukung oleh Rusia pada pendudukan sekitar 20% Tanah Adzerbeijan pada tahun 1994. Lebih dari satu juta orang bermigrasi dari tanah mereka dan kondisi penderitaan terus saja ada di sana. Iran malah mengembangkan hubungan-hubungannya dengan Armenia dengan mengalahkan Adzerbeijan! Tidak cukup dengan itu. Iran bahkan mendukung kelompok-kelompok yang tidak punya hubungan dengan Islam semisal kelompok Michael Aon atau gerakan-gerakan sekular Nabih Bery dan yang lain di Libanon di antara orang-orang yang berjalan di koridor Amerika.
Apa hakikat hubungan antara Iran dan AS? Apakah permusuhan antara kedua negara ini benar-benar ada?
Iran berjalan bersama Amerika. Iran paham betul makna perjalanannya ini dan batas-batasnya sehingga tidak melampauinya. Namun, Iran mengusung seruan panas untuk menyesatkan atau menutupi hakikat hubungan ini, seperti yang terjadi pada masa Ahmadinejad yang memperlihatkan pelayanan besar untuk Amerika di Afganistan, Irak dan Suriah. Oleh karena itu Amerika melihat rezim di Iran sebagai pelayan untuk kepentingan-kepentingan Amerika dalam derajat yang besar. Karena itulah para pembuat kebijakan di Amerika tidak melihat adanya alasan yang bisa dibenarkan untuk bekerja mengubah rezim Iran. Inilah yang dinyatakan pada 12 Desember 2008 oleh Robert Gates dalam konferensi keamanan internasional di Bahrain seputar hubungan Amerika dan Iran dan apa yang seharusnya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang berusaha mengubah rezim di Iran…Apa yang kita miliki di sini adalah perubahan dalam politik dan perilaku, karena Iran menjadi tetangga yang baik untuk negara-negara di kawasan, dan bukan malah menjadi sumber ketidakstabilan dan kekerasan.”
Seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Ali Abthahi, wakil presiden Iran untuk urusan undang-undang dan parlemen dalam penutupan konferensi teluk dan tantangan masa depan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Kajian Strategis Tahunan Emirat di Abu Dabi Selasa sore 15 Januari 2004. Ia mengumumkan bahwa negerinya, yakni Iran, telah “memberikan banyak bantuan kepada orang-orang Amerika dalam perang Amerika melawan Afganistan dan Irak.”
Ia menegaskan, “Seandainya tidak ada kerjasama Iran niscaya Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh dengan begitu mudah!”
Sebelumnya lagi telah terungkap “Iran gates” tahun 1987 secara internasional di lingkungan politik setelah terungkap adanya kesepakatan-kesepakatan rahasia antara Iran dan Amerika dalam perang terhadap Irak.
Sebaliknya, Amerika juga menampakkan diri seolah-olah memusuhi Iran dan bekerja menentang Iran. Dengan begitu Amerika bisa mengatur orang-orang Eropa dan Yahudi, juga mengelabui opini umum di Amerika dan Barat yang oposan terhadap Iran untuk merealisasi kepentingan-kepentingan Amerika di kawasan. Ini mirip dengan klaim bahwa rezim Assad di Suriah adalah rezim perlawanan dan penentangan, juga berikutnya ia adalah korban konspirasi Amerika. Seperti sebelumnya, pemimpin Mesir Abdu Naser mengklaim bahwa ia memimpin front pembebasan menentang imperialisme. Padahal pada hakikatnya ia menerima arahan-arahan Amerika seperti yang diungkap oleh Miles Copeland dalam bukunya yang terkenal, Permainan Bangsa-Bangsa –the Game of Nations.
Banyak presiden silih berganti di Iran; kadang disifati dengan sifat reformis dan moderat; kadang disifati dengan sifat konservatif dan garis keras. Akan tetapi, belum pernah terlihat adanya perubahan dalam politik Iran. Meski kadang seruan begitu keras dan kadang lembut, tetap sebatas ungkapan yang tidak diikuti aksi dan tidak sesuai dengan fakta. Demikian juga, sikap Amerika terhadap Iran tidak berubah; bagaimanapun kerasnya seruan orang-orang Republik atau seruan lembut oleh orang-orang Demokrat. Amerika tetap tidak mengambil langkah apapun yang bersifat tegas dan serius terhadap Iran.
Apakah ada peran Amerika dalam Revolusi Iran baik sebelum, selama maupun sesudah revolusi?
Sebenarnya peran Amerika dalam Revolusi Iran tampak jelas sejak awal revolusi. Selama keberadaan Khomeini di Perancis di “Neauphle-le-Château” ia dikunjungi delegasi Gedung Putih dan telah terjadi perjanjian kerjasama antara Khomeini dengan Amerika. Pada waktu itu surat kabar Amerika membicarakan hal tersebut dan pertemuan-pertemuan yang terjadi di sana. Belakangan hal itu diungkap oleh presiden pertama Iran Abu al-Hasan Banu Shadr pada tahun mutakhir ini, tepatnya pada 1 Desember 2000, bersama saluran Aljazeera.
Banyak pertemuan di antara kedua pihak. Yang paling terkenal adalah Pertemuan Oktober yang terjadi di daerah suburbant (pedesaan) Paris. Di situ terjadi perjanjian-perjanjian antara kelompok Reagen dan Bush dengan kelompok Khomeini. Khomeini menyatakan bahwa ia siap bekerjasama dengan Amerika dengan syarat Amerika tidak melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri Iran.
Setelah itu pada tanggal 1 Februari 1979 Khomeini kembali dengan pesawat Prancis untuk mendarat di Teheran. Amerika pun menekan Shahpour Bakhtiyar untuk menyerahkan pemerintahan kepada Khomeini. AS juga mengancam panglima militer Iran jika menghalangi jalan Khomeini. Berikutnya, Khomeini pun menjadi mursyid dan penguasa.
Dalam isu nuklir Iran, bagaimana sikap AS yang sebenarnya?
Masalah program nuklir Iran itu berfluktuasi sejak bertahun-tahun lalu. Meskipun entitas Yahudi dengan dukungan dan dorongan Eropa selama tahun-tahun itu lebih dari sekali mengancam akan menghancurkan program nuklir Iran, Amerika selalu menghadang entitas Yahudi merealisasikan serangan itu. Hingga sekarang Amerika terus menghalangi entitas Yahudi.
Amerika mengijinkan Israel menyerang fasilitas nuklir Irak yang hampir jadi pada masa Saddam tahun 1981. Akan tetapi, Amerika menghalangi entitas Yahudi menyerang instalasi nuklir Iran yang mulai memurnikan uranium hingga sampai pada kadar 20%. Hal itu menunjukkan bahwa di antara kepentingan Amerika adalah menjaga rezim Iran yang bekerja untuk kepentingan Amerika di kawasan. Amerika ingin rezim Iran tetap menjadi momok yang ditakuti oleh negara-negara Teluk sehingga pengaruh Amerika bisa kokoh di negara-negara itu. Amerika juga menggunakan isu nuklir Iran untuk menjaga pengaruhnya di kawasan Dunia Islam.
Pada setiap kali berlangsung pembicaraan, Amerika menjatuhkan sanksi-sanksi tambahan sebagai solusi untuk masalah nuklir Iran tanpa langkah militer apapun. Amerika berulang-kali melakukan intervensi untuk menenangkan ketakutan “Israel”. Amerika ingin rezim Iran tetap berdiri. Amerika ingin isu nuklir tetap memanas, tetapi tidak sampai pada tingkat hulu ledak nuklir dan tidak diselesaikan secara final. Akan tetapi, seperti kami katakan, Iran dibiarkan tetap menjadi momok yang menakutkan negara-negara Teluk sebagai batu pijakan bagi kelangsungan militer Amerika di Teluk. Amerika juga memanfaatkan Iran untuk membangun perisai rudal di Turk, dan di Eropa Tengah dengan alasan: menangkal senjata nuklir Iran dan menjaga Eropa dari nuklir Iran! Isu nuklir Iran juga dijadikan justifikasi peningkatan anggaran belanja kementerian pertahanan AS.
Apa peran Iran pada kasus Revolusi Suriah?
Rezim Suriah merupakan pilar mendasar untuk Amerika di jantung Timur Tengah. Amerika tidak ingin kehilangan posisi strategis dan vital ini. Posisi Suriah itu seperti posisi Mesir, bahkan lebih. Amerika mengerahkan semua jalan dan dalih untuk memungkinkan Bashar menghentikan revolusi, tetapi semua upaya itu gagal. Hasan Nashrullah menyatakan kepada Deputi menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov bahwa ketika orang-orang revolusioner hampir masuk ke Damaskus maka Hizbullah masuk untuk mencegah kejatuhan Bashar Assad. Iran memberikan dukungan penuh untuk mencegah kejatuhan Bashar. Iran mendukung Bashar dengan semua kekuatan. Bahkan Muhammad Thaibi, penanggung jawab kontra perang terhadap Iran, mengatakan, “Seandainya kita kehilangan Suriah, kita tidak akan bisa menjaga Teheran. Seandainya kita kehilangan Khouzastan (al-Akhwaz), kita pun akan bisa merebutnya kembali selama rezim Suriah tetap ada.”
Jadi bagi Iran, penjagaan terhadap rezim Assad merupakan kepentingan strategis yang lebih dikedepankan atas penjagaan al-Akhwaz.
Dengan kepemimpinan Rouhani saat ini, apakah akan ada perubahan dalam politik Iran dan hubungannya dengan Amerika Serikat Barat?
Ketika presiden baru Rouhani membentuk kabinet, ia mengatakan, bahwa pemerintahan-nya di dalam politik luar negerinya akan mengadopsi untuk menghalangi ancaman dan mengatasi ketegangan (Reuters, 12-8-2013). Rouhani lalu memilih Muhammad Jawad Zharif untuk jabatan menteri luar negeri dan dia adalah mantan duta besar di PBB yang mendapat arahan-arahannya di AS. Dia juga pernah ikut serta secara mendasar dalam sejumlah ronde perundingan rahasia untuk mengatasi penurunan hubungan antara Washington dan Tehran (Reuters, 12-8-2013). Rouhani setelah terpilih dia menyatakan secara lebih gamblang, “Kami tidak ingin melihat lebih banyak ketegangan antara Iran dan AS…” (Reuters, 17-6-2013).
Terakhir, ada kontak telepon antara Obama dan Rouhani selama keberadaan Rouhani terakhir di New York. Semua ini mengindikasikan bahwa ke depan akan ada normalisasi terbuka untuk hubungan-hubungan di antara kedua negara. []