Oleh: Dr. Fahmi Amhar (Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta)
Berapa besar kekuatan umat Islam jika bersatu? Sanggupkah Dunia Islam menghadapi adidaya Amerika Serikat? Dapatkah Dunia Islam bertahan jika diembargo? Mampukah Dunia Islam menang dalam perang? Inilah di antara sejumlah pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum Muslim jika melihat peta dunia saat ini. Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan akidah, syariah, posisi geografis, sumberdaya alam, dan jumlah penduduk. Namun demikian, secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?
Data Dunia Islam
Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki. Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php. Meski sudah menolong, database ini belum lengkap ataupun 100% akurat. Ada peluang over atau under-estimated. Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang-siur. Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif. Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal. Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini kadang-kadang dipakai angka maksimum atau rata-rata dari data beberapa tahun terakhir.
Dewasa ini ada 57 negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Negara-negara ini dijuluki “Dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih Muslim. Jadi, sekitar 148 juta Muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta Muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.
Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC, produk domestik bruto (GDP) Dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara dengan 9,14% GDP dunia. Sebagai perbandingan, GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.
Jika dibagi dengan penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/kapita sebesar US$ 4.454/tahun; atau dengan kurs sekarang berarti setara dengan Rp 3,3 juta/orang perbulan. Namun, distribusi harta ini amat tidak merata. GDP/kapita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).
Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas daripada AS atau Uni Eropa. Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang perkilometer persegi. Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya merupakan “negara kota”, yaitu 1055 jiwa perkilometer persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626). Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.
Memang, area luas ini baru bermakna jika produktif. Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan. Karena itu, sejumlah indikator vital perlu ditinjau, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya.
Indikator Produk Vital
Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik. Namun, mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi.
Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 miliar barel pertahun. Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter perorang perhari. Sekadar pembanding, di Indonesia saat ini, yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter perorang perhari.
Sementara itu, produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton. Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg perorang perhari. Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO), yakni 750 gram perorang perhari, insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi. Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa berpuasa.
Produksi daging ditaksir 19,5 juta ton. Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging perorang pertahun, atau 42 gram perorang perhari. Ini adalah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati.
Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang menjadi modal dasar industri dan konstruksi. Produksi baja di Dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton pertahun. Jika setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil. Angka yang kecil untuk 1,2 miliar populasi. Sebab, jika satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga. Jadi, baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.
Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.
Kenyataannya, saat ini sumberdaya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah. Contoh, tahun 1980, sebuah negeri Muslim menukar 12.910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss. Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45.800 karung!
Neraca perdagangan Dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 miliar US$ ekspor-733,7 miliar US$ impor). Namun, dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama Dunia Islam hanya 113 miliar US$ dan impor 118 miliar US$. Jadi, ketergantungan Dunia Islam keluar sangat besar. Jika ini dibiarkan, ia akan menjadi kendala saat kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.
Sumber Daya Non-Tangible
Selain sumberdaya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumberdaya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul. Sumberdaya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.
Angka melek huruf pada orang dewasa di Dunia Islam baru 69%! Ini pun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Rusia, Melayu, dll.). Adapun rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA. Ini pun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekular yang kapitalistik.
Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi. Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak. Idealnya, pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariah, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi. Di Dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi. Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah. Pemerintah Brunei memegang 84% GDP, karena produk utamanya minyak—semua milik raja yang memerintah.
Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami; sementara minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah, namun bukan terus dibisniskan.
Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan. Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%. Namun, jika menggunakan standar Bank Dunia, yaitu US$ 2 perorang perhari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006). Yang terparah adalah Nigeria (92,4%) dan yang terbaik Iran (7,3%).
Menyatukan Ekonomi Dunia Islam
Dengan berbagai cara, ekonomi Dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan. OKI telah gagal. Pakta Selatan-Selatan—yang melibatkan negara-negara Amerika Latin—pun gagal. Percobaan terakhir adalah dengan Lelompok D-8 (Development-Eight) yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki. Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil daripada kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Jepang dan Rusia) yang memegang 65% ekonomi dunia. Penyebab kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi.
Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di Dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi Dunia Islam. Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekadar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah. Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara.
Kemudian, suatu negara yang masyarakat dan kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah. Negara pada saat awal akan menunjukkan kinerjanya sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri Muslim lain untuk bergabung. Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah.
Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa. Kekuatan Dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta Muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum Muslim.
Wallâhu a‘lam. []