HTI

Kritik (Al Waie)

Ketua DDII KH Husein Umar: “Ulama Kita Banyak yang Pragmatis”

Ulama adalah pewaris nabi. Ulama mempunyai peran strategis untuk menjalankan syariah Islam secara sempurna, termasuk di bidang politik. Ulama diharapkan tidak phobi politik,  bahkan harus memahami politik dan politik Islam sehingga syariah Islam mempunyai institusi yang melindunginya.Untuk mengetahui lebih jauh peran ulama selama ini, khususnya di Indonesia, dan peran strategisnya, Redaksi mengutus secara khusus gus_uwik bertandang ke rumah sederhana KH Husein Umar yang akrab disapa Bang Husein Umar (Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia–DDII). Beliau secara panjang lebar mengupas tentang topik di atas. Berikut cuplikan wawancaranya.

Bagaimana sebetulnya kondisi ulama dalam konteks politik saat ini?

Kalau kita berbicara tentang kondisi ulama dalam perpolitikan nasional saat ini, saya rasa, banyak hal yang perlu menjadi catatan. Pertama: ulama belum menyadari secara benar tugas dan misinya dalam konteks politik. Dalam sejarah perjuangan bangsa ini menjelang kemerdekaan sampai usia kemedekaan bangsa ini, 17 Agustus yang akan datang, 62 tahun, kita menyaksikan bagaimana bargaining position ulama dalam kancah politik menurun. Jadi, saya katakan, sungguh sangat memprihatinkan bahwa seharusnya seorang ulama melihat politik itu (bukan dalam pandangan saya) merupakan partikel, merupakan bagian saja dari gerakan dakwah yang menyeluruh. Dakwah itu sendiri berintikan amar makruf nahi mungkar dan kewajiban untuk selalu menyeru manusia ke jalan Allah, menyerukan al-Quran, dan menyerukan syariah. Nah, politik itu merupakan salah satu jalur dari gerak dakwah.

Apa yang terjadi di parlemen itu adalah pertarungan politik. Demikian pula yang terjadi dalam gerakan buruh. Jadi, kita tidak boleh melupakan gesekan-gesekan sosial politik yang terjadi di Tanah Air di mana saja; kecil atau besar; baik itu dalam bentuk mogok buruh, protes sosial, demonstrasi-demonstrasi lainnya, dalam bentuk Pemilu atau Pilkada, dsb. Sesungguhnya di balik semua itu ada pertarungan ideologi. Ribut-ribut soal RUU-APP yang sampai sekarang belum selesai kapan tenggat waktunya tidak jelas, itu bagian dari pertarungan ideologi. Kita gigih bersama kawan-kawan membentangkan spanduk-spanduk penegakan syariah dalam rangka  tuntutan terhadap UU APP. Akan tetapi, mereka yang berideologi lain rela bertelanjang dada untuk menentang RUU APP di depan Hotel Indonesia. Jadi, ada bentuk pertarungan ideologi.
Nah, medan dakwah itu harus dilihat sebagai medan pertarungan ideologi. Apalagi secara faktual, Indonesia ini beragam, terdiri dari berbagai agama dan ideologi. Kita menyaksikan ada Hindu, Budha, Protestan, dengan aliran-aliran dan sekte-sekte yang begitu banyak. Kita juga menyaksikan ada kelompok-kelompok yang memperjuangkan Sosialisme, Komunisme, nasionalisme. Kan begitu? Jadi, tidak mungkin kalau kita mau menafikan realitas medan dakwah yang sedemikian rupa.

Tahun 90-an saya sudah menulis, bagaimana ketika kita ribut-ribut soal UU Sisdiknas, surat konggregasi pendidikan Katolik untuk sekolah Katolik yang saya baca di Majalah Hidup, milik orang Katolik, disebarkan di berbagai gereja katedral. Saya baca di situ bahwa salah satu poin tujuan sekolah Katolik adalah menjadikan murid-muridnya Kristen seutuhnya. Jadi, terbuka sekali tuntutan-tuntutan yang mereka ajukan. Sama saja seumpamanya kita dulu mati-matian melahirkan Tap MPR No XXV Tahun 1966 yang berisikan pelarangan terhadap Komunisme, Leninisme dan Marxisme. Namun, Gus Dur begitu gigih menuntut agar itu dicabut atas nama HAM. Inilah pertarungan ideologi yang terjadi di balik realitas yang ada. Jadi, kalau hal ini tidak disadari oleh aktivis-aktivis gerakan dakwah, ya kita jadi tidak jelas memainkan peran yang semestinya.

Pertarungan ideologis secara real dalam konteks politik contohnya apa saja?

Ambil umpamanya Konstituante. Di sana barangkali terjadi pertarungan ideologi yang paling dahsyat. Di sana pertarungan ideologi menemukan forum. Di sana diujilah Islam, Komunisme dan Sosial Ekonomi. Jadi, singkatnya, selama Konstituante bersidang selama tahun 1957-1959, boleh dikatakan bahwa tugas Konstituante berhasil diselesaikan; kecuali satu yang masih terkatung-katung, yakni apa yang menjadi dasar negara Republik ini. Islamkah, Komunismekah atau Sosial-Ekonomi? Pada taraf awal, Sosial-Ekonomi sudah tersingkir. Di situ partai-partai sosialis-komunis tidak mendukung Pancasila. Tokoh-tokoh seperti Sutan Takdir Ali Syahbana dan tokoh sosialis lainnya tidak mendukung Pancasila. Sebaliknya, tokoh-tokoh Islam dari NU, Muhammadiyah, SI, Perti ditambah AKUI (Angkatan Umat Islam) dan orang-perorang mendukung syariah Islam. Sementara itu, TNI sebagai pendukung utama ditambah partai-partai Katolik, Kristen, Parkindo, dll mendukung Pancasila. Puncaknya adalah  voting. Anda bisa membaca secara lengkap di tiga jilid buku mengenai Konstituante terkait dengan pembahasan-pembahasan yang luar biasa yang dilakukan oleh para tokoh di sana. Tiga kali dilakukan voting, kedua pendukung (Islam dan Pancasila) tidak ada yang berhasil. Itu pun pada voting ketiga, secara unblock Aidit dan kawan-kawannya (pendukung Sosialis) yang berjumlah 60 kursi, yang pada awalnya tidak mendukung Pancasila dan menjadi mendukung Pancasila, tidak berhasil, karena persyaratan kuorum harus 2/3 dari anggota Konstituante. Jadi, perbandingannya 48% Islam, 52% pendukung Pancasila. Artinya, lembaga Konstituante yang dibentuk untuk membuat konstitusi tidak berhasil melaksanakan tugasnya khusus untuk merumuskan dasar negara, walau yang lainnya sudah selesai semua.

Inti yang kita persoalkan adalah momentum secara ideologis. Nah, karena tidak “berhasil menyelesaikan tugasnya”,  itulah salah satu yang melatarbelakangi lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, yaitu kita kembali ke UUD 1945. Secara pribadi, dalam dekrit tersebut, Islam dimasukkan dalam bentuk Piagam Jakarta, bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dengan begitu, semangat memilih Islam sebagai dasar negara ditampung dalam dekrit tersebut. Oleh karena itu, konsekuensinya, tidak boleh ada perundang-undangan atau perangkat hukum yang bertentangan dengan syariah Islam. Saya sering mengetengahkan, ketika Republik ini berdiri (17 Agustus 1945), saya berpikir bentuk negara seperti apa yang telah diproklamirkan oleh dwitunggal Soekarno-Hatta? Tentu sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang sebelumnya, yakni ada kesepakatan untuk menyusun sebuah UUD yang mencantumkan dengan jelas dasar negara. Dasar negara tersebut disebut Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Itulah yang disepakati. Jadi, sebenarnya Republik yang seperti di ataslah yang sebenarnya diproklamirkan. Baru besoknya, pada 18 Agustus, hal itu dihapus. Apa artinya? Artinya, sebelum dihapus berarti masih melekat di dalam batang tubuh walaupun belum ada pengesahan tentang UUD. Yang pokok, walaupun usianya satu hari, Republik yang lahir, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus itu, adalah negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Itulah yang harus menjadi komitmen bagi para aktivis dakwah. Jadi, menjadi kewajiban kita untuk memperjuangkannya terus melalui jalur-jalur yang terbuka. Nah, itu momentum.

Lalu sesudah itu, kita mengalami pasang-surut. Bung Karno kemudian menjadi diktator. Setelah dekrit, dia membubarkan Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Konstituante, kabinet, parlemen, membentuk DPR Gotong Royong, menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur untuk membentuk kabinet, dsb. Semakin jauh Bung Karno dirangkul kekuatan komunis. Akhirnya, Pancasila bergeser. NASAKOM-lah yang lebih mengedepan. Puncaknya G30S/PKI. Kembali di sana kita melihat pertarungan ideologi. Orang-orang komunis, karena dorongan ideologilah, merangkul Soekarno dan mengibarkan NASAKOM serta melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari pertarungan ideologi. Ini berlangsung sampai akhirnya Soekarno jatuh.

Kemudian, naiklah Soeharto. Kita bisa melihat karena kita juga ikut terlibat menumbangkan Orde Lama dan membangun Orde Baru, tetapi juga menjadi korban Orde Baru. Ternyata, Orde Baru meneruskan karakteristik dari Orde Lama. Pada awal-awal dia merangkul umat Islam ketika menghadapi komunis. Namun, sejak 1967-1987 terjadilah deislamisasi yang luar biasa dasyat. Terjadilah proses memarginalkan proses kekuatan-kekuatan politik Islam dengan berbagai bentuk. Terjadi pula proses deislamisai politik dan depolitisasi Islam. Lalu terjadi proses sekularisasi dan deideologisasi Islam. Muaranya pada asas tunggal, P4, dan aliran kepercayaan. Sementara itu, UU Subversi pada zaman Soekarno diteruskan, yang diperkuat dengan lembaga Kopkamtib dan dwifungsi ABRI. Baru tatkala di tubuh internal Soeharto terjadi ’pertarungan’, akhirnya pada tahun 1998, Soeharto memberi ’peluang’ kepada Islam. Sebagai misal, Pemerintah secara mengejutkan mengajukan UU Peradilan Agama yang sudah deadlock sejak lama. Tapi, kok tiba-tiba diajukan pemerintahan Soeharto. Akhirnya, Soeharto tumbang dan diganti Habibie. Pada masa Habiebie, Tap-Tap MPR dan Perundangan yang begitu banyak merugikan umat Islam dicabut. Asas tunggal dicabut, P4, aliran kepercayaan bahkan UU Subversi dicabut juga. Kemudian dwifungsi ABRI dan lembaga Kopkamtib juga berakhir. Karena itu, bisa saya katakan, Partai-Partai Islam yang berdiri setelahnya seperti ’berlayar tanpa hambatan’. Seharusnya momen inilah dioptimalkan untuk berjuang habis-habisan. Tapi, saya prihatin, seperti RUU APP saja, tenggat waktunya saja tidak diketahui sampai kapan. Belum lagi soal Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat lainnya. Memprihatinkan.

Lalu peluang terbuka kembali ketika amandemen UUD 45. Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja DPR telah membuat keputusan (terhadap pasal 29) dalam tiga opsi. Pertama: tetap seperti semula. Artinya, tidak berubah. Kedua: redaksi ditambah dengan kata-kata, dengan kewajiban memeluk syariah Islam bagi para pemeluknya. Ketiga: menjalankan agama masing-masing. Saya prihatin. Saya memandang, ketika berbicara masalah-masalah prinsip, bukan masalah kalah-menang, tetapi salah-benar; biar kalah hatta tinggal 2 orang yang membela opsi ke-2. Minta pleno melakukan voting secara terbuka. Biar nyata dan terang bagi umat pemilih ini, siapa yang setuju dan siapa yang tidak. Padahal inilah keputusan yang sudah sangat kompromistis. Partai-partai Islam yang mendukung opsi ke-2 sedikit, justru malah ada yang mendukung opsi ke-3. Ada sesuatu yang penting ketika kita tidak bulat menerima opsi ke-2, yakni adanya perpecahan di tubuh umat Islam. Ada  sebagian dari umat yang ’berat’ menerima diterapkannya syariah Islam. Lalu nantinya ketika bertemu dengan kelompok lintas agama di forum-forum tertentu, berbicara tentang keluhuran dan Islam itu rahmatan lil ’alamin, dengan mudah mereka akan menangkis. Mengapa kami saja yang ’dibujuk’? Teman-teman Anda sendiri saja keberatan kok…

Partai-partai Islam yang memilih opsi ke-3 beralasan, bahwa mereka mengedepankan kebersamaan, karena itu menawarkan Piagam Madinah. Saya sangat concern pada Piagam Madinah. Justru menurut pendapat saya, kalau substansi kebersaaam itu dikaitkan dengan Piagam Madinah, menjadi sangat terbatas. Sebab, kebersamaan dalam konteks Madinah itu terlindunginya hak-hak Yahudi dan Nasrani. Itu justru karena Rasulullah menerapkan syariah Islam. Jadi, ketika kita berbicara tentang Piagam Madinah jangan bertumpu pada kebersamaan. Akan tetapi, Piagam Madinah mengandung hal-hal yang sangat prinsipil; seperti Daulah, kemudian tathbîq asy-syarî‘ah dan Imamah. Jadi, sebenarnya karena Rasulullah menerapkan syariah Islamlah sehingga terlindungi hak-hak umat lain. Karena itu, menganalogikan pilihan opsi ke-3 dengan Piagam Madinah terlalu dipaksa-paksakan dan terlalu mengada-ada. Akhirnya, terlewatlah momentum amandemen ini.

Apa yang salah dalam diri ulama sehingga terjadi ’perpecahan’?

Secara sederhana saya melihat: Pertama, karena memudarnya komitmen ideologis. Kedua, terjebak dalam kepentingan dan tujuan pragmatis. Mereka hanya melihat ufuk yang dekat saja. Dengan kata lain, mereka hanya mengejar target-target jangka pendek sehingga tak mempertimbangkan ideologi. Misal, demi mengejar kekuasaan, akhirnya mereka tidak mempedulikan lagi dengan siapa berangkulan. Kadang-kadang lupa, siapa yang sejak dulu memporakporandakan dan menentang Islam. Namun, demi target kekuasaan, tiba-tiba sekarang mereka kita rangkul. Padahal jelas, agama pun berbeda. Dua hal inilah yang paling menonjol.

Bagaimana efek ke umat?

Saya rasa umat ini kan bermacam-macam. Umat yang kritis dan memahami Islam dengan benar akan kecewa. Tapi, umat yang hanya ta‘asub pada kelompok dan golongan, biar menyeleweng bagaimanapun, akan tetap membelanya. Saya melihat, banyak yang kecewa terhadap peristiwa-peristiwa seperti itu. Saya pernah mendengar salah seorang tokoh Islam berbicara ketika ribut-ribut banyaknya caleg non-Muslim di PDIP. Semua kecewa. Tapi, tokoh kita itu mengatakan, “Bagi saya bukan Islam atau tidak Islam, tapi reformis atau tidak reformis. Wah…, saya kaget itu. Kenapa kok tidak ideologis jawabannya.

Solusi agar ulama ideologis?

Saya rasa kalaulah ulama itu menyadari betul fungsinya sebagai warasatul anbiya’ maka selesailah sudah segala persoalan. Sebab, yang paling jelas dibebani misi menjadi penerus para nsbi adalah para ulama. Jadi, kita harus terus berusaha mengkaji dan mempraktikkan peri hidup Rasullah saw. secara sempurna di seluruh aspek kehidupan, tentu dengan tidak mengabaikan situasi dan kondisi yang berubah. Sebab, Islam itu cocok ’ala kulli waqt[in] wa zaman. Umat yang banyak ini sangat merindukan keteladanan para ulama. Keteladanan saat ini sangat mahal.

Bagaimana seharusnya hubungan ulama dengan penguasa?

Ulama itu harus mampu menampilkan sosok yang independen, dalam arti, hanya menjadi alatnya Allah untuk melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar. Begitu banyak hadis Rasulullah saw. yang menyatakan, syahid yang paling utama adalah seseorang yang berani tegak mengingatkan penguasa yang zalim. Artinya, mengucapkan kalimah al-haq terhadap penguasa yang zalim (imâm[in] jâ’ir[in]). Kalaulah dia terbunuh maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bersama dengan Hamzah dan  Ja‘far. Dengan cara yang bijak seperti fungsi memberikan tawshiyah, nasihat, dan mengingatkan itu penting dilakukan ulama terhadap penguasa. Jadi, jangan sampai para ulama ’dikepit’ di ketiaknya penguasa. Snouck Horgrounye, ketika akan menaklukkan Aceh, memberikan nasihat kepada pemerintah kolonial Belanda. Pertama: agar pemerintah Belanda bersikap netral saja terhadap Islam sebagai agama. Kedua: bersikap tegas terhadap Islam yang dijadikan sebagai doktrin politik, apalagi dipimpin oleh para ulama yang membangun basis-basis kekuatannya di desa, sehingga semakin mempercepat kehancuran Islam.

Oleh karena itu, ulama mempunyai peran yang sangat strategis dalam menjaga eksistensi agama. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*