Pengantar:
Umat akan selalu bersedia untuk dibimbing dan dipelihara oleh para ulama. Untuk itu, para ulama tentu harus terus-menerus memperhatikan keadaaan dan kepentingan umat. Mereka harus selalu merasakan apa yang dibutuhkan oleh umat. Mereka harus senantiasa waskita terhadap apa saja yang bisa merugikan umat, memalingkan umat dari agama mereka serta menjerumuskan umat ke dalam jurang keburukan, kemaksiatan dan kekufuran. Para ulama juga harus benar-benar memahami siapa yang menjadi musuh-musuh umat dan Islam, sekaligus mengetahui berbagai strategi dan makar mereka untuk menikam, memperdaya dan mengeksploitasi umat. Mereka harus tampil menguliti jatidiri musuh sekaligus membongkar strategi dan makar-makar mereka. Di sisi lain, para ulama juga harus harus membimbing dan menuntun para penguasa kaum Muslim agar berjalan di jalan yang benar dan lurus.
Semua hal yang harus diperankan oleh ulama di atas tentu memerlukan kepekaan dan kesadaran politik yang tinggi. Di sinilah pentingnya ulama untuk terus mengasah kepekaan dan kesadaran politiknya. Bagaimana kiat dan langkah-langkahnya? Berikut ini Redaksi mewawancarai KH Muhammad al-Khaththath, dari DPP Hizbut Tahrir, yang juga anggota MUI Pusat sekaligus Sekjen Forum Umat Islam (FUI).
Pak Kiai, saat ini masih ada anggapan pada sebagian orang, bahwa ulama itu harus menjauhi politik. Bagaimana menurut Pak Kiai?Itu anggapan yang keliru. Anggapan seperti itu terpengaruh oleh paham sekular Barat yang traumatik terhadap campur tangan gereja terhadap kekuasaan kaisar di Eropa pada Abad Pertengahan, yang memang banyak menimbulkan kesengsaraan bangsa-bangsa Barat. Agama gereja, yang hanya mengajarkan masalah ritual dan moral, ketika memasuki wilayah politik, memang menimbulkan persoalan. Nah, Islam tentu tidak bisa disamakan dengan agama gereja. Islam adalah agama Allah yang bersifat komprehensif, mengandung ajaran dan peraturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik dan ketatanegaraan. Jadi, kalau ulama memiliki ilmu pengetahuan Islam yang kâffah, mereka pasti akan melek politik, sekaligus terlibat dalam aktivitas politik. Buktinya, para ulama pada masa para Sahabat, para tâbi‘în, dan para imam mujtahid yang menjadi rujukan umat Islam sedunia umumnya melakukan kegiatan politik.
Politik dalam Islam adalah memelihara urusan umat. Bagaimana sebetulnya peran ulama dalam memelihara urusan umat ini?
Pemeliharaan urusan umat dalam pandangan Islam dilakukan dengan penerapan syariah (tathbîq asy-syarî‘ah) secara praktis oleh negara. Dalam hal ini, posisi para ulama adalah sebagai pengawas dan pengoreksi penguasa/pemerintah agar tetap dalam koridor memelihara urusan umat dengan syariah Allah Swt.
Untuk terjun dalam politik, ulama tentu harus memiliki kepekaan dan kesadaran politik yang tinggi. Bukankah begitu Pak Kiai?
Ya, tentu saja. Para ulama harus memiliki kepekaan dan kesadaran politik yang tinggi. Sebab, ulama adalah tumpuan sekaligus harapan umat dan penguasa. Ulama juga adalah rujukan tempat mereka bertanya. Jadi, ulama memang tidak boleh ‘kuper’. Mereka harus cepat menguasai permasalahan sehingga bisa memberikan jawaban dan nasihat yang cepat, tepat dan cermat.
Seperti apa kongkritnya?
Kesadaran politik itu pengertiannya adalah memperhatikan masalah-masalah dunia dengan sudut pandang khusus. Dalam perspektif Islam, kesadaran politik islami adalah memperhatikan masalah-masalah dunia dengan sudut pandang Islam. Para ulama yang sering memperhatikan masalah-masalah dunia dengan sudut pandang Islam akan memiliki kesadaran politik Islam sekaligus kepekaan politik. Sebab kepekaan itu muncul karena pembiasaan.
Apakah itu berarti para ulama harus terjun dalam politik praktis?
Ya, itu tadi. Ulama harus sering-sering membaca koran, mendengarkan berita-berita politik dan ekonomi maupun yang lain, baik nasional maupun internasional. Lalu mereka harus melihat relevansinya dengan Islam dan umat Islam, baik secara nasional maupun global. Bagus juga ulama mengikuti diskusi-diskusi politik yang menghadirkan berbagai kepakaran. Lalu di situ mereka menelaah masalah dengan ilmu-ilmu Islam, khususnya siyâsah syar‘iyyah, yang sudah barang tentu selama ini dimilikinya.
Agar memiliki kesadaran dan kepekaan politik, ulama tentu harus ideologis? Bagaimana menurut Pak Kiai?
Ya, ulama Islam mesti ideologis. Sebab, akidah Islam yang diyakininya itu bersifat ideologis. Artinya, akidah Islam adalah akidah rasional (‘aqîdah ‘aqliyyah) yang memancarkan peraturan atau syariah. Ulama yang ideologis adalah ulama yang cepat dalam memahami dan merumuskan masalah. Lalu mereka secara cepat pula menilai masalah tersebut dengan al-Quran, as-Sunnah, atau Ijmak Sahabat maupun Qiyas sehungga mampu memberikan jawaban syar‘i atas masalah tersebut. Sebab, syariah yang bersumber al-Quran dan as-Sunnah tersebut adalah solusi atas berbagai permasalahan hidup manusia, yang di dalamnya juga mencakup tatacara pelaksanaan pemecahan masalah itu.
Secara umum, ulama dalam sejarah kehidupan Islam yang sangat panjang selalu bersikap ideologis. Imam asy-Syafii ra., ketika ditanya bagaimana hukumnya membunuh lebah pada saat ihram, beliau dengan tangkas menjawab dengan membacakan firman Allah Swt.: (yang artinya): Apa saja yang diperintahkan oleh Rasulullah laksanakanlah dan apa saja yang dilarangnya tinggalkanlah (TQS al-Hasyr: 7). Lalu beliau meriwayatkan suatu hadis yang menyebut Rasulullah saw. bersabda: Ikutilah perintah Abu Bakar dan Umar. Kemudian beliau meriwayatkan suatu hadis yang menyebut bahwa Umar ra. Pernah menyuruh membunuh lebah pada saat ihram (padahal secara umum seorang yang mengenakan pakaian ihram dilarang membunuh binatang).
Untuk terus-menerus memelihara urusan umat, ulama tentu harus terus-menerus pula mengetahui keadaaan umat. Bagaimana pandangan Pak Kiai?
Seperti tadi saya katakan, para ulama harus terus memonitor keadaan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan berbagai cara; bisa dengan membaca koran, mendengarkan radio, menonton berita-berita di TV atau mendapatkan laporan dari para santri dan koleganya tentang perkembangan umat di berbagai penjuru.
Setelah itu, dia harus merumuskan permasalahannya apa dan melihat jawaban hukum syariah terhadap masalah tersebut. Kalau sudah ditemukan jawabannya, dia tidak boleh diam terhadap suatu kebenaran yang harus dia ucapkan. Ulama tersebut bisa menulisnya di media massa atau, kalau dia sudah menjadi rujukan media massa, dia bisa memanggil wartawan atau justru wartawan itu sudah menghubunginya untuk menanyakan komentarnya terhadap masalah itu. Di situlah dia harus menyampaikan secara jelas dan tegas bagaimana hukum syariah tentang hal itu. Kalau dia mempunyai hubungan dengan para pejabat yang berwenang atas masalah tersebut, lebih bagus kalau dia menyampaikannya langsung kepada yang bersangkutan. Minimalnya, dia menyampaikannya kepada para jamaah pengajian rutinnya sebagai bentuk pembinaan kesadaran politik umat.
Dalam berpolitik, menurut Pak Kiai, bagaimana seharusnya ulama berinteraksi dengan penguasa dan kekuasaan?
Ulama perlu melakukan komunikasi efektif dengan para pejabat penguasa. Tentunya mereka harus menjaga integritas mereka sebagai ulama, yakni tetap berpegang teguh dengan hukum syariah serta tak canggung untuk menyampaikan nasihat atau kritik kepada penguasa.
Lalu bagaimana agar ulama tetap konsisten dan tidak tergiur atau terkooptasi oleh penguasa dan kekuasaan?
Ulama adalah pewaris para nabi (waratsah al-anbiyâ’). Kalau dia berkuasa, dia akan menerapkan hukum syariah. Kalau dia tidak berkuasa, dia akan senantiasa menyampaikan kritik dan koreksi terhadap penguasa agar mereka menjalankan kekuasaannya tetap dalam koridor hukum syariah. Untuk menjaga integritasnya, para ulama harus menjaga dirinya dari penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Ulama harus wara‘ dan zuhud. Dengan itu, insyaallah virus-virus yang siap menggerus integritasnya tidak akan mampu menembus pertahanan jiwanya.
Idealnya hubunbgan ulama dengan penguasa dan umat itu seperti apa?
Kata Nabi saw., ada dua kelompok manusia yang jika keduanya baik maka manusia atau masyarakat akan baik. Namun jika keduanya bejat, niscaya manusia atau masyarakat umumnya bejat. Mereka adalah ulama dan penguasa. Jadi, dalam menjalin hubungan dengan penguasa, platform-nya adalah hadis tersebut. Bagaimana ulama menjaga dirinya agar tidak tertipu dengan menukar kebahagiaan akhiratnya dengan dunianya penguasa. Bukan berati ulama tidak boleh menikmati dunia. Jelas itu halal. Tapi, janganlah ulama jatuh ke dalam kehinaan dengan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal hanya karena iming-iming dunia. Dengan demikian, dalam masalah hukum halal-haram ulama tidak menjadi subordinasi dari penguasa. Ulama harus jujur menyampaikan hukum syariah apa adanya atas berbagai kebijakan penguasa demi kebaikan penguasa dan ulama itu sendiri serta tentunya masyarakat secara umum. Ulama harus meyakinkan publik bahwa apa yang ditentukan syariah pasti maslahat buat semua.
Terakhir, Pak Kiai. Bagaimana sebetulnya kondisi hubungan ulama dengan penguasa dan umat itu saat ini?
Hubungan ulama dengan penguasa di Indonesia saat ini umumnya kurang ideal. Ulama masih merasa menjadi subordinasi dari penguasa. Padahal penguasa hari ini menerapkan hukum-hukum sekular. Boleh jadi hal itu karena kesalahan dalam memahami ayat: ‘Athî‘ullâha wa athi‘urrasûl wa ulil amri minkum; mungkin karena masalah finansial; atau mungkin karena masalah lain. Wallâhu a‘lam. Masih sedikit, paling tidak dalam penglihatan saya, ulama yang mempunyai integritas sehingga mereka memiliki keberanian seperti para imam mujtahid yang siap masuk penjara di masa para Khalifah, atau ulama seperti Hamka dkk yang masuk penjara Orde Lama dan siap mundur dari ketua MUI untuk mempertahankan fatwa MUI tentang keharaman menghadiri perayaan Natal yang ditolak rezim Soeharto. Sayangnya, hari ini para penguasa dengan santai mengerjakan apa yang dilarang oleh MUI pada masa beliau. Para ulama hari ini pun santai-santai saja; mereka tidak menegur mereka. []