HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Mengokohkan Nafsiyyah Islamiyyah

(Telaah atas Buku Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah)
Oleh: MR Kurnia

Pengantar
Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah. Itulah terjemahan judul buku yang aslinya bertajuk, Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah. Umumnya, buku-buku terbitan Hizbut Tahrir kental dengan warna fikriyah (pemikiran) dan siyâsiyah (politik). Namun, buku kajian wajib bagi para anggota Hizb ini jauh dari kesan itu. Sebagian pengkajinya menyebutkan sebagai “full ruhiah”. Isinya sangat simpel. Dalam setiap uraiannya, alinea demi alinea, sarat dengan rentetan ayat-ayat, hadis-hadis, dan kisah-kisah para sahabat.

Sengaja tidak banyak pembahasan dan komentar, apalagi istinbâth hukum; seakan-akan buku ini ditulis dengan sebuah pesan penting, “Buku ini praktis, tinggal laksanakan saja isinya, tanpa perlu kajian yang bertele-tele!”  Pembahasan topik-pertopik dalam sistematikanya lebih menegaskan pesan ini. Enam belas topik pilihan yang dapat mengokohkan sikap islami (nafsiyyah islâmiyyah) disajikan dalam buku ini.

Buku Penting
Setiap Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islâmiyah). Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami (‘aqliyyah islâmiyyah) dan pola sikap islami (nafsiyyah islâmiyah). Dengan ‘aqliyyah islâmiyyah seseorang dapat mengeluarkan keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan syariah Islam. Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah seorang Muslim juga akan memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar.

Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil, tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan. Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah melainkan harus dipadukan dengan nafsiyyah islâmiyah. Seseorang yang memiliki nafsiyyah islâmiyah akan melakukan perbuatan dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun naluriahnya sesuai dengan Islam. Dia akan melaksanakan hukum-hukum syariah, bukan sekadar mengetahuinya saja.

Tidak berlebihan, dalam bab Pendahuluan disebutkan bahwa buku ini sengaja dipersembahkan bagi seluruh kaum Muslim, khususnya para pengemban dakwah. Tujuannya, agar lisan para pengemban dakwah yang tengah berjuang menegakkan syariah dan Khilafah senantiasa basah dengan zikir kepada Allah; hatinya senantiasa diliputi dengan ketakwaan kepada Zat Yang Maha Gagah; anggota badannya terasa ringan dalam bergegas menuju setiap ketaatan kepada-Nya. Muaranya, kaum Muslim umumnya bersama para pengemban dakwah melangkah dan beramal di dunia, sementara kedua matanya senantiasa menatap jauh ke depan, ke negeri akhirat tempat berpulang. Hatinya terpaut dengan surga, yang seluas langit dan bumi, yang telah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Hanya melalui orang-orang demikianlah kejayaan Islam dan umatnya dapat diraih. Orang-orang seperti itulah yang dapat menciptakan generasi pejuang Islam.

Di sisi lain, paham sekularisme telah menjauhkan umat dari upaya penyucian jiwa. Kelesuan nafsiyyah islâmiyyah terus melanda umat. Kalaupun ada, ia hanya berhenti pada sikap individual; lepas dari upaya perjuangan membangkitkan umat. Padahal Rasulullah saw. diutus dengan membacakan ayat-ayat Allah kepada para Sahabat, menyucikan jiwa mereka, dan mengajari mereka al-Quran dan as-Sunnah. Kini, diperlukan orang-orang yang dapat membangkitkan jiwa yang senantiasa dekat dan taat kepada Allah sekaligus berjuang untuk mengubah masyarakat.

Saat ini, para pengemban dakwah memiliki tugas berat untuk melahirkan umat pendukung dakwah yang ber-‘aqliyyah islâmiyyah dan ber-nafsiyyah islâmiyah. Karena itu, diperlukan rujukan yang dapat menyatukan penyucian jiwa dengan perjuangan untuk menegakan Islam. Di sinilah letak urgensi buku Min Muqqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah.

Dalam perjuangan, setiap Muslim, khususnya pengemban dakwah, ingin meraih kemenangan dalam menegakkan Islam melalui Khilafah Islamiyah. Allah Swt. telah berjanji, bahwa Khilafah akan kembali tegak; bukan sembarang Khilafah, tetapi Khilafah yang berada pada metode kenabian (Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah), yaitu Khilafah ssebagaimana yang dulu ditegakkan oleh para Sahabat. Artinya, siapapun yang berharap agar ditolong Allah dengan mendapat kemenangan tersebut, ia harus melangkahkan dirinya seperti para Sahabat, minimal mendekati sikap dan perilaku mereka. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, bahwa jalan untuk meraih pertolongan dan dukungan dari Allah adalah mendekatkan diri kepada-Nya. Siapa saja yang membela agama Allah, dia tidak akan pernah dihinakan. Siapa saja yang menghina-Nya, dia tidak akan pernah diberi pertolongan. Karena itu, saat ini dibutuhkan para pengemban dakwah yang pikiran dan jiwanya hidup, yang siang-malam berjuang demi tegaknya Islam di dunia, tetapi hatinya terpaut ke langit. Dari sisi ini, pun terlihat betapa penting buku Min Muqqwwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah ini.

Pokok Pemikiran
Manusia hidup di dunia ini untuk beribadah, yakni taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, serta terikat dengan ajaran Islam yang disyariatkan-Nya. Kita diperintahkan untuk melaksanakan syariah. Namun, itu saja belum cukup; perlu kecepatan dan percepatan dalam ketaatan. Dalam rangka itulah, Bagian 1 buku ini membahas tentang bersegera melaksanakan syariah, sebagaimana diperintahkan Allah Swt. (Lihat QS Ali ’Imran [3]: 133). Perintah ini bukan perintah yang mustahil dilakukan. Rasul dan para Sahabat telah membuktikan bagaimana mereka bersegera melakukan perintah Allah dan bersegera pula meninggalkan apa yang dilarangnya, tanpa ditunda-tunda.

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw. pada Perang Uhud, “Bagaimana pandanganmu, wahai Rasulullah, jika aku terbunuh saat ini? Dimanakah tempatku (setelah kematian)?”

Rasulullah bersabda, “Engkau akan berada di surga.”

Mendengar sabda Rasulullah saw. tersebut, laki-laki itu serta-merta melemparkan buah-buah kurma yang ada di tangannya, kemudian ia maju untuk berperang hingga terbunuh di medan perang. Begitu Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan. Sungguh, Sahabat cepat melakukan ketaatan sekalipun nyawa taruhannya.

Ketaatan yang dilakukan bukanlah ketaatan buta, melainkan ketaatan yang bersumberkan wahyu. Karena itu, mengkaji, memperhatikan, dan memelihara al-Quran harus merupakan kebiasaan (Bagian 2). Betapa tidak, al-Quran adalah sebaik-baik bekal bagi setiap Muslim, apalagi bagi para pengemban dakwah. Dengan al-Quran hati akan menjadi hidup, sandaran pun kian kukuh. Para pengembannya akan menjadi laksana gunung yang berdiri kokoh. Dunia pun terlihat remeh di matanya. Dia senantiasa mengatakan kebenaran (al-haq), tanpa rasa takut terhadap celaan para pencela. Hal itu diperolehnya dengan senantiasa membasahi bibir dengan lantunan ayat demi ayat al-Quran yang dibacanya. Hatinya khusyuk menghayati maknanya dan pikirannya jernih mendapatkan sinar pemahaman darinya. Mereka pun menjadi pembela al-Quran dengan sejujur-jujurnya. Mereka bukan sekadar para penghapal al-Quran, tetapi juga berada di garda terdepan dalam melaksanakan dan memperjuangkan penerapan hukum-hukumnya.

Semua itu dilakukan bukan untuk mengejar harta, tahta, dan wanita. Perjuangan seorang Muslim, khususnya pengemban dakwah, dilandaskan pada cinta kepada Allah dan Rasulullah (Bagian 3). Bahkan, cinta dan bencinya pun karena Allah (Bagian 4). Diri mereka benar-benar ingin dicelup dengan cinta Allah. Yang ada dalam pikiran dan hati mereka hanyalah mereguk ridha dan cinta Allah Rabbul ’Alamin. Keimanan, akhlak mulia, perjuangan, dakwah menegakkan kebenaran, bersilaturahmi, menolong sesama, berkorban dalam dakwah dan menyatukan umat dalam Khilafah, semuanya mereka cintai. Mereka pun sangat mencintai para pengemban dakwah. Hanya satu alasannya, Allah dan Rasul mencintai semua itu. Sebaliknya, mereka membenci kekufuran, kefasikan, kemunafikan, pengkhianatan, dan keterpecahbelahan umat. Lagi-lagi, itu dilakukan karena Allah dan Rasul-Nya membenci semua itu. Hatinya diliputi oleh rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia ingin mencintai Allah. Namun, dia pun tahu, Allah Swt. Maha dahsyat siksaan-Nya. Padahal salah dan dosa kadang-kadang ia lakukan. Hal ini semakin mendorongnya untuk menaati-Nya atas dasar cinta yang bercampur takut kepada Allah dalam kondisi sepi maupun ramai (Bagian 5). Dalam jiwanya terngiang sabda Rasulullah saw.: Sesungguhnya azab yang paling ringan dari penghuni neraka pada Hari Kiamat ialah seorang yang diletakkan pada kedua telapak kakinya sendal dari api neraka yang menyebabkan otaknya mendidih. (HR.Muttafaq ‘alaih). Setiap ingat kepada Allah, terbayanglah kehebatan-Nya, kekerasan siksaan-Nya, serta huru-hara kiamat dan hari hisab yang tak terbayang kedahsyatannya. Karenanya, sekalipun seorang Muslim tegar dan gagah dalam perjuangan, ia senantiasa menangis saat ingat kepada Allah karena takut kepada-Nya (Bagian 6). Hal ini dilakukan demi cinta kepada Allah dan demi keselamatannya di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang mengingat Allah, kemudian keluar airmatanya karena takut kepada Allah hingga bercucuran jatuh ke tanah, maka dia tidak akan disiksa pada Hari Kiamat kelak. (HR al-Hakim).Hati seorang Muslim, apalagi pengemban dakwah, merasa amalnya tidak seberapa. Ia selalu khawatir, jangan-jangan amalnya tidak sempurna. Namun, ia tidak mengenal putus-asa. Ia senantiasa mengharapkan rahmat Allah Swt. (Bagian 7). Jiwanya pun menjadi terbuka. Optimis berhasil di dunia dan sukses di akhirat.Perjalanan dakwah bukanlah jalan yang lempang, tetapi jalan penuh rintangan. Tidak sedikit kesulitan ekonomi dijalani, ancaman didapati, penculikan terjadi di sana-sini, bahkan ancaman kematian siap-menyergap setiap hari. Semua itu disadari betul sebagai risiko yang mungkin menimpa siapa saja. Rasul yang mulia saja pernah mengalaminya, apalagi kita umatnya 14 abad kemudian. Berdasarkan keyakinan ini, sabar menghadapi cobaan dan ridha terhadap qadhâ’ mendarah daging dalam dirinya (Bagian 8). Hanya satu yang dapat membentengi dirinya, yakni Allah Yang Mahaperkasa. Dia pun terus meminta perlindungan dengan doa, zikir, dan istigfar (Bagian 9) serta tawakal dan ikhlas (Bagian 10). Semua ini menjadi modal dalam perjuangan. Tidak ada yang patut ditakuti selain Allah. Tidak ada yang layak diraih ridhanya selain Allah. Demi meraih itu, hanya ada satu cara: konsisten dalam kebenaran (Bagian 11). Penyiksaan, tekanan dari ibu, dijemur di bawah terik matahari, larangan menyerukan dakwah, dilempari batu, dilempari kotoran, dan berbagai siksaan lainnya tidak menggentarkan Rasul dan para Sahabat. Demikian pula seharusnya sikap pengemban dakwah zaman kini.

Berdakwah ditujukan untuk membangkitkan umat dan menghancurkan kekufuran. Karenanya, Allah mewajibkan Muslim untuk lemah-lembut terhadap sesamanya dan keras terhadap kaum kafir (Bagian 12). Sesama Muslim diyakini sebagai satu tubuh, satu bangunan, dan satu saudara. Karenanya, mereka bahu-membahu untuk merindukan surga dan berlomba dalam kebaikan (Bagian 13). Bantu-membantu dalam ketakwaan dan kesabaran dengan penuh kasih-sayang (marhamah). Mereka berupaya mencontoh para nabi, syuhada, orang-orang salih, orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abrâr), al-muhsinûn, ash-shâbirûn, dan al-muttaqûn. Merekalah para penghuni surga.

Secara praktis, nilai diri dan reputasi diri menentukan keberhasilan dakwah. Salah satunya terkait dengan akhlak. Karenanya, seorang Muslim, apalagi pengemban dakwah, harus mematrikan hukum syariah menyangkut akhlak mulia dalam dirinya (Bagian 14). Di antara akhlak mulia itu adalah: malu, menahan diri, tidak emosional, lemah-lembut, jujur, cermat dalam perkataan, teliti dalam menyampaikan informasi, bertutur kata baik, menampakkan wajah berseri, diam kecuali dalam kebaikan, memenuhi janji, marah karena Allah, berbaik sangka kepada orang beriman; bersikap baik kepada tetangga, amanah, wara, meninggalkan syubhat; memuliakan ulama, orangtua, dan orang yang memiliki keutamaan; mengutamakan dan menolong orang lain; berderma dan berinfak di jalan kebaikan; berpaling dari orang jahil; dan taat. Bahkan dalam berbicara pun harus beradab, baik dalam mengajar, berkhuthbah, dan berdebat (Bagian 15). Semua ini menunjukkan betapa Hizbut Tahrir sangat memperhatikan akhlak.

Terakhir, setelah menjelaskan sosok pengokoh nafsiyyah islâmiyah, buku ini menjelaskan hadis riwayat Muslim: Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana muncul pertama kali. Karena itu, berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut. (Bagian 16).

Walhasil, siapapun yang mengamalkan isi buku ini, insya Allah ia akan menjadi para pengemban dakwah yang handal dan mulia, cikal bakal ulama dan cendekiawan dambaan umat, pemimpin abad ini. Akan lahirlah para pengemban dakwah bukan hanya seperti matahari yang menyinari, tetapi juga laksana bintang-gemintang yang memberikan arah. Selamat mengamalkan! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*