M. Amien Rais, dalam Cakralawa Islam, (1999) memberikan contoh kecil sikap ulama yang menganggap politik tidak harus dikaitkan dengan moralitas. Suatu saat, ia bertanya kepada seseorang yang dikenal sebagi kiai-politikus tentang kepindahannya dari satu parpol ke parpol yang lain. Jawabannya ternyata mengejutkan. Katanya, politik itu merupakan urusan dunia yang hanya main-main dan permainan saja; sambil mengucapkan dengan fasih firman Allah Swt.: Wa mâ hadzihi al-hayât ad-dunyâ illâ lahw[un] wa lâ’ib[un] (Tiadalah kehidupan dunia ini kecuali main-main dan permainan belaka) (QS al-Ankabut [29]: 64).
Cerita kecil ini merupakan salah satu cerminan pandangan yang menyedihkan dari sebagian ulama. Secara tidak sadar, sang ulama sebenarnya sudah terjebak dengan pemikiran sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan politik. Jadilah politik menjadi kehilangan pedoman. Prinsip “asal meraih kekuasaan; mempertahankan kekuasaan” menjadi lebih dominan dibandingkan dengan prinsip “mengurus rakyat berdasarkan syariah”.
Jebakan sekularisme ini juga bisa tampak dari pandangan beberapa ulama yang justru menghindar sama sekali dari dunia politik. Muncul anggapan bahwa politik itu kotor, sementara agama itu bersih; tidak pantas ulama memasuki dunia kotor seperti itu. Ulama seharusnya ada di masjid, pesantren dan majelis taklim. Kajian politik—seperti mengoreksi kebijakan penguasa yang membuat rakyat menderita atau intervensi asing yang mengancam negara—di masjid-masjid atau di majelis-mejelis taklim pun dianggap mengotori agama. Islam akhirnya disempitkan sebatas moralitas (akhlak) atau ibadah ritual seperti shalat, zakat, shaum atau haji. Yang lebih menyedihkan, ulama seperti ini justru akrab dengan penguasa tanpa memberikan kritik terhadap kezalimannya. Jadilah sang ulama menjadi sebatas ‘tukang doa’ bagi penguasa, yang secara tidak langsung memberikan legitimasi terhadap kezalimannya.
Sistem sekular yang diadopsi oleh negara selama ini berperan besar mengkerdilkan peran ulama. Pendapat ini antara lain dilontarkan oleh MR Kurnia dari Lajnah Siyasiyah HTI. Menurutnya, selama ini ulama dipisahkan dari peran politiknya. Selama 350 tahun masa penjajahan, ditambah lebih dari 60 tahun pasca kemerdekaan, Islam dan ulama dimarjinalkan. Dimunculkanlah anggapan bahwa politik itu kotor. “Padahal politik Islam itu jernih dan mulia karena mengurusi urusan rakyat dengan syariah,” tegasnya.
Sistem sekular juga telah membuat ulama menjadi semacam ‘tukang cuci’. Kalau ada kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat atau pejabat, akhlak yang rusak, yang disalahkan ulama. Padahal penyebabnya justru karena penerapan sistem sekular dan pejabat yang tidak amanah. “Bagaimana mungkin menyalahkan ulama atau agama, sementara aturan agama dicampakkan dan ulama dimarjinalkan? Yang harus diisalahkan justru adalah sistem sekularnya,” tegas Kurnia.
Terang saja fatwa ulama atau nasihat ulama tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan karena tidak memiliki kekuatan hukum. Jadilah nasihat atau fatwa sekedar pilihan, bisa dipakai atau dibuang sesuai dengan kepentingan penguasa. “Selama hukumnya bukan berdasarkan syariah Islam, fatwa atau pendapat yang berdasarkan syariah Islam tidak akan dipakai, yang ada adalah asas manfaat,” lanjut Kurnia.
Sayangnya, ulama yang terjun ke politik pun tidak mencerminkan aktivitas politik Islam yang sebenarnya. Alih-alih membawa perubahan dalam sistem politik, sang ulama justru terseret arus; berprilaku tidak jauh berbeda dengan politisi sekular lainnya. Kondisi seperti ini semakin menyebabkan ulama kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Muncullah kemudian pernyataan yang salah, “Begitulah kalau ulama terjun ke politik. Seharusnya ulama itu ngurus pesantren atau masjid saja.”
Di sisi lain, ulama tidak jarang dipakai oleh penguasa untuk membenarkan tindakannya atau dimanfaatkan politisi untuk meraih suara. Setiap menjelang Pemilu atau Pilkada ulama dibujuk dengan tawaran kekuasaan atau harta untuk mendukung calon tertentu. Memang, ada yang menolak tawaran ini, namun banyak juga yang menerimanya tanpa melihat apakah sang calon pantas dipilih berdasarkan syariah Islam atau tidak. Tragisnya, setelah mereka terpilih, sang ulama pun ditinggalkan.
Pihak asing juga memanfaatkan peran ulama. Ulama tertentu dipakai untuk menyuarakan kepentingan dan kebijakan asing. Mereka banyak dilibatkan untuk menyuarakan liberalisasi ajaran Islam. Ilmu ulama kemudian dipakai untuk memutarbalikkan ayat al-Quran agar sejalan dengan kepentingan Barat. Muncullah pendapat dari sang ulama yang tidak lebih merupakan corong asing seperti, “tidak ada negara Islam”, atau “negara tidak wajib menerapkan syariah Islam”, dll. Pikiran-pikiran sekular ini kemudian dihiasi dengan ayat-ayat al-Quran ataupun hadis sehingga seakan-akan berasal dari Islam.
Dalam perang melawan terorisme yang merupakan agenda AS, ulama pun dipakai. Dengan memfaatkan suara ulama, umat Islam dikelompokkan menjadi moderat-radikal, liberal-fundamentalis, tekstual-konstektual, dan istilah-istilah lain yang pada intinya berupaya memecah-belah umat Islam. Jihad pun disempitkan maknanya hanya pada pengertian bahasa: bersungguh-sungguh. Jihad secara syar‘i, yang bermakna perang, yang sesungguhnya merupakan kewajiban utama, lalu dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Umat Memerlukan Ulama yang Sadar Politik
Tampaknya umat Islam semakin kehilangan ulama yang memiliki kesadaran politik yang tinggi dengan komitmen memperjuangkan syariah Islam dan nasib umat. Ketika BBM dinaikkan oleh penguasa yang kemudian menambah kemiskinan rakyat, tidak banyak ulama yang mengkritiknya. Padahal kalaulah seluruh ulama turun ke jalan melakukan koreksi keras terhadap penguasa bersama rakyat, tentu penguasa akan lebih banyak mempertimbangkan kebijakannya. Ulama seharusnya berperan penting dalam politik, yakni politik yang berorientasi pada pemeliharaan urusan-urusan umat berdasarkan syariah Islam. Ketidakhirauan ulama terhadap politik akan sangat berbahaya. Penguasa akan semakin sewenang-wenang tanpa ada yang mengingatkan. Umat pun akan semakin rusak akibat sistem politik yang jauh dari syariah Islam.
Di samping itu, diamnya ulama terhadap kebijakan politik penguasa yang jauh dari Islam, akan semakin menambah penderitaan masyarakat. Kebijakan liberalisi ekonomi, privatisasi, kapitalisasi pendidikan dan kesehatan seharusnya dilawan dan dihentikan oleh ulama karena membahayakan dan mengancam kesejahteraan umat. Ulama juga harus mentang keras intervensi asing atau bahkan kerjasama penguasa dengan pihak asing yang berakibat pada keterjajahan bangsa dan negara ini. Akibat diamnya ulama, hilanglah kepercayaan masyarakat terhadap ulama panutan. Penguasa pun semakin merasa benar akan tindakannya karena tidak ada ulama yang mengoreksinya.
Karena itu, dalam pandangan KH Muhammad al-Khaththat, Sekjen FUI (Forum Umat Islam), ulama seharusnya tampil ke depan mengawal masalah-masalah umat dan keislaman. Di antaranya dengan mendidik umat lewat pembahasan masalah aktual yang dilihat dari sudut pandang Islam. “Ulama harus rajin mengikuti perkembangan politik, baik nasional maupun internasional. Dengan begitu, mereka mampu menyadarkan umat untuk memahami setiap persoalan dari persfektif Islam,” ujarnya.
Sejarah umat Islam telah mencatat, ketika ulama masih memiliki kesadaran politik yang tinggi, umat ini berdiri kokoh dengan kejayaannya.
Sejarah Emas Perjuangan Ulama Indonesia
Sejarah Indonesian pun sesungguhnya dihiasai dengan tinta emas perjuangan para ulama dalam membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan membangun masyarakat islami. Para ulama di Indonesia terlibat langsung dalam pembentukan institusi politik di Indonesia pada masa-masa kesultanan Islam. Pada tahun 808 H (1404 M) berangkatlah sembilan ulama dari berbagai tempat di wilayah Daulah Khilafah atas sponsor Sultan Muhammad Jalabi dari Kesultanan Turki Utsmani ke Tanah Jawa melalui Kesultanan Samudera Pasai untuk berdakwah.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga dai ulama ke Jawa menggantikan dai yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Pada masa penjajahan di Nusantara, para ulama pun ikut berjuang mengusir penjajah. Tuanku Imam Bonjol adalah ulama yang pada tahun 1812-1837 di Minangkabau memimpin Perang Paderi 1812-1837 melawan Belanda. Tahun 1825-1830 di Jawa, Pangeran Diponegoro memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa, juga lawan penjajah Belanda, dalam rangka mengembalikan nilai-nilai keislamaan dalam tatantan kehidupan masyrakt Jawa. Konsep Perang Jawa ini adalah perang sabil. Penjajah Portugis, saat Masuk ke Sunda Kelapa, dihadang oleh Fatahillah (Menantu Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati). Di Makasar, Sultan Hasanuddin juga melakukan perlawanan global melawan penjajah.
Di Aceh, pada 1879-1904, terjadi Perang Aceh, yakni antara Kesultanan Aceh melawan Penjajah Salibis Belanda. Bagi masyarakat Aceh, perang tersebut merupakan perang sabil (Perang di jalan Allah), karena melawan kape (orang kafir) Belanda. Kekuasaan pelaksanaan perang dipimpin oleh ulama dan uleebalang seperti Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman (Wilayah Aceh Barat dan Aceh Pidie), Teungku Chik Di Paya Bakong bersaudara, Teungku Syeh Ibnu Hajar, Tengku Chik Di Paya Bakong Chatib, Teungku Chik Di Paya Bakong Seupot Mata (wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur), Teuku Cut Ali (Aceh Selatan), dan lain-lain.
Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya Sarekat Dagang Islam. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia, bukan Budi Utomo yang berdiri 1908 dengan digerakkan oleh para didikan Belanda. Lalu tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Sejatinya KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan. Pada 17 September 1923 KH Zamzam mendirikan Persis (Persatuan Islam) di Bandung. Melalui organisasi ini, beliau berusaha mengembalikan kaum Muslim pada al-Quran dan al-Hadis; menghidupkan jihad dan ijtihad; membasmi bid‘ah, khurafat, tahayul, taklid dan syirik; serta memperluas tablig dan dakwah Islam. Pada 31 Januari 1926, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Muhammad Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya.
Perjuangan para ulama berlanjut dalam penyusunan konstitusi negara. Perjuangan Islam berhasil dengan menetapkan pemerintah wajib menjalankan syariah Islam bagi umat Islam. Di antara tokoh Islam yang menandatanganinya adalah Abikoesno Tjokrosujoso (Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan KH A. Wahid Hasyim (Nahdhatul Ulama). Diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya 1 hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kejadian yang menyolok mata ini, dirasakan umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang diliputi kabut rahasia.
Pasca kemerdekaan, para ulama yang tergabung dalam Masyumi mengelurakan seruan jihad. Masyumi mengatakan, 60 juta rakyat siap berjihad (7 November 1945). Hal yang sama diserukan oleh ulama NU dengan keluarnya resolusi jihad. Poros perjuangan pun dipimpin oleh para ulama dan pesantren. Perjuangan ulama terus berlanjut hingga kini.
Geliat perjuangan politik ulama mulai menggeliat lagi saat ini. Dalam Kongres Umat Islam Indonesia IV di Jakarta (22/05/2005) secara tegas ulama menyerukan kembali pada syariah Islam sebagai solusi bagi persoalan bangsa. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-VII yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005 juga dikeluarkan fatwa yang sangat jelas dan tegas tentang haramnya sekularisme, liberalisme, dan plurasme. Fatwa ini menimbulkan reaksi hebat dari kelompok liberal.
Sebagai wujud aktivitas politik, Ketua Komisi Dakwah MUI KH Hussein Umar mendorong Pemerintah agar terus mengganyang korupsi, termasuk menyarankan untuk membuka kembali kasus-kasus BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun. Masalah kedua yang harus dihadapi serius adalah budaya pornografi dan pornoaksi. Masalah ketiga adalah perjudian.
Para ulama dulu telah menunjukkan amal salihnya. Bagaimana dengan ulama sekarang? Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto berharap, ulama akan semakin terdorong untuk sungguh-sungguh berjuang bagi tegaknya kehidupan Islam yang diatur oleh syariah. “Ulama harus menanamkan tauhid pada umat dan di atasnya dibangun kesadaran politik yang akan mendorong umat untuk melakukan perubahan ke arah Islam,” harap Ismail. [FW]
ASS WR WB
Afwan sebwlumnya
kpd ikhwan-ikhwan sekalian ane minta artikel kalo boleh yaitu tentang “SDI sebagai pelopor kebangkitan nasional bukan Budi Utomo” dan kirim ke DEEPSHADOW_MASTER@YAHOO.CO.ID