HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Ulamâ Sû (Ulama Jahat)

Kata ‘ulamâ’ (bentuk plural dari ‘âlim), secara bahasa artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu. Kata sû’ adalah mashdar dari sâ’a–yasû’u–saw’an; artinya jelek, buruk atau jahat. Dengan demikian, al-‘ulamâ’ as-sû’ secara bahasa artinya orang berpengetahuan atau ahli ilmu yang buruk dan jahat. Rasul saw. bersabda:

«أَلاَ إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ الْعُلَمَاءِ»

Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama. (HR ad-Darimi).

Peran ulama menentukan kebaikan dan keburukan masyarakat. Ad-Darimi menuturkan, ketika Said bin Jubair ditanya tentang tanda-tanda kebinasaan masyarakat, ia menjawab, “Jika ulama mereka telah rusak.

Abu Muslim al-Khaulani mengatakan, bahwa ulama itu tiga macam. Pertama: seseorang yang hidup dalam ilmunya dan orang lain hidup bersamanya dalam ilmunya itu.  Kedua: seseorang yang hidup dalam ilmunya, tetapi tidak seorang pun hidup bersamanya dalam ilmunya itu.  Ketiga: seseorang yang orang lain hidup bersamanya dalam ilmunya, tetapi hal itu menjadi bencana baginya.

Ibn Abi Hatim menuturkan dari jalan Sufyan ats-Tsauri, dari Abu Hayan at-Taymi, bahwa ulama itu juga ada tiga golongan. Pertama: orang yang takut kepada Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya. Itulah orang alim yang sempurna. Kedua: orang yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui hukum-hukum-Nya. Ketiga: orang yang mengetahui hukum-hukum Allah, tetapi tidak takut kepada-Nya; dialah orang alim yang jahat (al-’âlim al-fâjir).

Pada ulama sû’ atau fâjir, ilmu yang dimiliki tidak dijadikan penuntun.  Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui.  Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama sû’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.” [1] Ibn Taimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata, “Inilah kondisi orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-A‘raf ayat 175-176;  ini seperti ulama sû’.”Di antara ulama sû’ itu adalah ulama salathîn, yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa. Anas bin Malik ra. menuturkan sebuah hadis:

وَيْلٌ ِلأُمَّتِيْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّوْءِ يَِتَّخِذُوْنَ هَذَا الْعِلْمَ تِجَارَةً يَبِيْعُوْنَهَا مِنْ أُمَرَاءِ زَمَانِهِمْ رِبْحاً ِللأَنْفُسِهِمْ لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَهُمْ

Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’; mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu. (HR al-Hakim).

Menurut adz-Dzhabi, ulama sû’ adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa; ulama yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa; atau ulama yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran.  [3]

Anas meriwayatkan:

الْعُلَمَاءُ أَمَنَاءُ الرُّسُلِ مَا لَمْ يُخَالِطُوْا السُّلْطَانَ وَ يُدَاخِلُوْا الدُّنْيَا فَاِذَا خَالَطُوْا السُّلْطَانَ وَ دَاخَلُوْا الدُّنْيَا فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ فَاحْذَرُوْهُمْ وَفِيْ رِوَايَةٍ لِلْحَاكِمِ فَاعْتَزِلُوْهُمْ

Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Karena itu,  jauhilah mereka. (HR al-Hakim).

Hal itu karena, jika ulama bergaul dengan penguasa dan sering mendatanginya, yang diharapkan adalah dunia. Tentu yang dimaksud bukan ulama  yang datang untuk beramar makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa. 

Rusaknya ulama di antaranya karena sifat tamak terhadap dunia.  Ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.”

Keluarnya ilmu dari hati maksudnya bukan dilupakan, tetapi ilmu itu ditinggalkan, pengaruhnya hilang dan tidak lagi dijadikan tuntunan.  Hal itu sama saja dengan menukar ilmu atau agama dengan dunia. Inilah satu di antara karakter ulama sû’. Ulama demikian lebih layak di neraka.  Abu Hurairah ra. menuturkan hadis:

مَنْ أَكَلَ بِالْعِلْمِ طَمَسَ اللهُ عَيْنَيْهِ (أَوْ وَجْهَهُ فيِْ رِوَايَةِ الدَّيْلَمِيْ) وَكَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Siapa yang makan dengan (memperalat) ilmu, Allah membutakan kedua matanya (atau wajahnya di dalam riwayat ad-Dailami), dan neraka lebih layak untuknya. (HR Abu Nu‘aim dan ad-Dailami).

Maksudnya adalah ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan. As-Sayrazi mengatakan, “Setan mendandani keburukan di hadapan ulama hingga berhasil menjerumuskan mereka dalam  kemurkaan Allah. Mereka lalu memakan dunia dengan memanfaatkan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan dari para penguasa, serta memakan harta wakaf, anak yatim dan orang miskin. Setan telah berhasil memalingkan perhatian ulama itu untuk mencari gengsi dan kedudukan di hati makhluk. Itulah yang menyeret mereka ke dalam perdebatan, persaingan dan kebanggaan.” [4]

Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya.  Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka  mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” [5]

Kata tidak tahu tidak ada dalam kosakata ulama sû’. Ia merasa gengsi mengatakan tidak tahu. Padahal orang sekaliber Ibn Umar saja tidak merasa malu untuk mengatakan tidak tahu. Ibn al-Mubarak meriwayatkan dari Ibn Umar, bahwa ia pernah ditanya tentang sesuatu, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.”  Kemudian ia menimpalinya dengan mengatakan, “Apakah engkau ingin menjadikan punggung-punggung kami sebagai jembatan bagi kalian ke neraka Jahanam?” [6]

Muadz bin Jabal membagi ulama sû’ di dalam tujuh tingkatan neraka. Tingkat pertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati. Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa. Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya). Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya. Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian. Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja. [7]

Karena semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipudaya ulama sû’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin.  Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama sû’.”

Na‘ûdzu billâh min syarr al-‘ulamâ’ as-sû’. [Yahya Abdurrahman]

Catatan Kaki:

  1. Asy-Syathibi, al-Muwâfaqât, I/76, ed. Abdullah Daraz, Dar al-Ma’rifah, Beirut. tt.
  2. Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasâ’il wa Fatâwâ Ibn Taymiyah fî al-‘Aqîdah, VII/625, Maktabah Ibn Taimiyah. tt.
  3. Adz-Dzahabi, Sayr al-A’lâm an-Nubalâ’, VII/125, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. IX. 1413.
  4. Al-Minawi, Faydh al-Qadîr, VI/84, al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Mesir. Cet. I. 1356.
  5. Al-Minawi, Faydh al-Qadîr, VI/369.
  6. Isma’il bin Muhammad al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafâ’, II/82.
  7. Shadiq bin Hasan bin Ali al-Qinuji, Yaqzhah Uli al-I’tibâr min mâ  wurida min dzikri an-Nâr wa Ahl an-Nâr, I/124, Maktabah Athif-Dar al-Anshar, Kaero, cet. I. 1987.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*