Dulu di antara tradisi para ulama adalah mengoreksi dan mengawal penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan mereka membekas di hati. Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun ulama hanya diam. Andai mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan.
Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia, niscaya dia tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’; bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar. (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, VII/92).
Subhânallâh! Berabad-abad yang lampau, Imam al-Ghazali telah mengingatkan kita tentang peran penting ulama dalam mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Allah Swt.
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat dan negara yang tidak diatur oleh hukum Allah Swt. dipastikan akan menuai kehancuran. Dengan sangat jelas Allah Swt. berfirman (yang artinya): Telah nyata kerusakan (fasad) di daratan dan di lautan akibat ulah tangan manusia (QS ar-Rum [21]: 41). Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan, yang dimaksud akibat ulah tangan manusia adalah akibat kemaksiatan mereka, sementara yang disebut maksiat adalah setiap pelanggaran terhadap hukum Allah Swt. Karena itu, masyarakat dan negara yang tidak melaksanakan hukum Allah Swt. akan menuai kehancuran.
Hanya oleh negaralah hukum-hukum Allah Swt. bisa dilaksanakan seluruhnya. Tanpa penerapan syariah Islam oleh negara, umat Islam akan dikuasai oleh para penguasa zalim; umat tidak bisa lagi diurus secara benar; umat pun tidak lagi memiliki penjaga yang benar-benar melindunginya. Kehancuran itu akan terjadi kalau ulama hanya diam tidak melakukan koreksi terhadap penguasa yang menyimpang. Seperti yang disebut oleh Imam al-Ghazali di atas, kalau penguasa menyimpang, masyarakatnya pasti akan hancur.
Tugas mengoreksi penguasa ini memang berat. Tugas ini bisa menuai penderitaan berupa tindakan kejam dari penguasa. Namun, tugas ini sangat mulia. Rasulullah saw. bahkan menyebut aktivitas mengoreksi penguasa ini sebagai afdhal al-jihâd (jihad yang paling utama): اَفْضَلُ اْلجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan (menyampaikan kebenaran) di hadapan penguasa jahat. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Aktivitas mengoreksi penguasa agar hukum Allah tetap terjaga dan terpelihara jelas aktivitas politik. Bahkan inilah aktivitas politik sejati dalam pandangan Islam, yakni aktivitas politik yang berporos pada upaya pengaturan urusan-urusan umat dengan syariah Islam. Aktivitas politik sejati ini, yakni mengatur urusan umat, adalah aktivitas utama para nabi, termasuk Rasulullah saw., dan para Khalifah penerus Beliau, sebagaimana sabda Beliau:«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ. كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ, وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ.
Dulu Bani Israel diurusi oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Namun, sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Yang ada adalah para khalifah dan mereka banyak. (HR Muslim).
Jadi, jelaslah bagi kita, bahwa politik (sâsa-yasûsu-siyâsat[an]) dalam pengertian sejatinya—yakni mengatur urusan-urusan umat berdasarkan syariah Islam—adalah wajib. Politik sejati ini akan terbengkalai kalau para ulama mendiamkan para penguasa yang mengabaikan rakyat. Karena itu, mengoreksi penguasa—yang merupakan bagian terbesar dari aktivitas amar makruf nahi mungkar—menjadi wajib pula hukumnya. Kewajiban ini dipertegas oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ
Demi Zat Yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kalian harus melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah akan menimpakan azab atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, lalu doa kalian tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).
Dengan demikian, upaya memisahkan ulama dan politik jelas merupakan upaya memperlemah umat dan negara. Inilah justru yang merupakan strategi penting penjajah. Dengan ide sekularismenya, mereka memisahkan agama—termasuk ulamanya—dari politik. Sebab, mereka sangat tahu persis, kalau ulama berpolitik, umat akan terjaga, karena para penguasa ada yang mengoreksi. Politik yang dimaksud di sini tentu adalah politik sejati yang didasarkan pada pelaksanaan seluruh hukum Allah Swt. dalam mengatur urusan umat, bukan politik kotor. Politik kotor justru menjadikan ulama sebatas makelar politikus jahat, sekadar sebagai vote getter bagi para penguasa jahat, dan hanya menjadi alat legitimasi kejahatan penguasa atau penjajah asing. Ulama seperti ini adalah ulama jahat yang dosanya sangat besar, karena telah menggunakan posisinya untuk menghancurkan masyarakat dan negaranya.
Ulama seperti ini adalah ulama yang menjual agamanya demi keuntungkan material. Imam al-Ghazali mengingatkan kita, bahwa kerusakan ulama seperti ini, adalah karena mereka telah digenggam oleh kecintaan akan harta dan jabatan. Inilah yang membungkam sang ulama untuk mengingatkan para penguasa. Padahal mendiamkan penguasa jahat adalah dosa besar, apalagi menjadi letigimasi kejahatan penguasa atau menjadi alat penjajah untuk menguasai kaum Muslim.
Wallâhu a‘lam. [Farid Wadjdi]