HTI

Tafsir (Al Waie)

Keharaman Menerapkan Hukum Non-Syariah

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, jangan mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan  kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka karena sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS al-Maidah [4]: 49).

Sabab Nuzûl

Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam Ad-Dalâ’il meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya, dan Syasy bin Qais berkata, “Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkan dia dari agamanya.”

Sesampai di tempat Nabi saw. mereka berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta Yahudi, orang-orang terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, niscaya kami akan beriman kepadamu dan membenarkanmu.”

Nabi saw. menolak permintaan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49-50.1

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa an[i]hkum baynahum bimâ anzala Allâh (Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan penegasan (ta’kîd) terhadap perintah dalam ayat sebelumnya agar berhukum Nabi saw. dengan apa yang diturunkan Allah Swt. dan larangan menyalahinya.2 Pengulangan itu untuk menjadikan perintah tersebut menempati  ghayât at-ta’kîd (puncak penegasan).3

Sebagian mufassir lainnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut mereka, ayat ini tidak mengulangi ayat sebelumnya, namun turun pada topik yang berbeda. Jika ayat sebelumnya turun berkenaan dengan hukuman rajam atas pelaku zina muhshan, ayat ini turun berkenaan dengan darah dan diyat.4

Pihak yang diperintah ayat ini adalah Rasulullah saw. Meskipun demikian, perintah tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya. Sebab, khithâb (seruan) kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya, selama tidak ada qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah ini hanya khusus untuk Beliau.

Dalam hal ini, pihak yang menjadi obyek penerapan hukum, yang diungkapkan dengan menggunakan dhamir hum (kata ganti mereka), adalah Yahudi. Demikian kesimpulan para mufassir seperti al-Thabari, Abu Hayyan al-Andalusi, al-Qinuji, al-Wahidi al-Naysaburi, dan lain-lain.5 Kesimpulan tersebut amat tepat jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya.

Kata bimâ anzala Allâh (menurut apa yang telah Allah turunkan) tidak bisa dilepaskan dengan ayat sebelumnya, bahwa yang Allah turunkan kepada Rasulullah saw. adalah al-Kitab. Setelah Allah Swt. memberitakan bahwa kepada Nabi Musa as. diturunkan at-Taurat dan kepada Nabi Isa as. diturunkan Injil, maka kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan al-Kitab atau al-Quran. Sejak saat itu, hukum yang wajib diterapkan Rasulullah saw. dan umatnya dalam memutuskan perkara adalah yang bersumber dari al-Quran.

Dengan demikian, ayat ini mewajibkan kaum Muslim agar memutuskan perkara dengan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Pihak yang wajib menjadi obyek penerapan hukum syariah tersebut tidak terbatas kaum Muslim saja, namun juga kaum kafir. Menurut sebagian mufassir, ketentuan ini me-nasakh (membatalkan hukum) QS al-Maidah ayat 42 yang memberikan pilihan kepada Nabi saw. untuk memutuskan perkara kaum kafir atau tidak.6 Dalam ayat tersebut Allah Swt. berfirman: Fahkum baynahum aw a‘ridh ‘anhum (Putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka).

Mufassir dan fukaha lainnya tidak melihat adanya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat tersebut. Sebab, untuk memasukkan sebuah ayat telah di-naskh oleh ayat lain diperlukan qarînah (indikasi) yang jelas. Dalam kedua ayat tersebut tidak ada qarînah yang jelas yang menunjukkan tentang itu. Memang, secara lahiriah terlihat adanya pertentangan di antara keduanya. Akan tetapi, sekadar tampak bertentangan secara lahiriah tidak otomatis menunjukkan adanya nâsikh-mansûkh.  Masih ada kemungkinan lain yang membuat kedua dalil tersebut justru sama-sama dapat digunakan. Kemungkinan ini didapat dengan cara mendudukkan kedua dalil itu pada kedudukan dan obyek masing-masing sehingga menjadi tidak bertentangan. Cara semacam ini dikenal dengan al-jam‘u bayna al-dalîlayn (mengkompromikan dua dalil).

Inilah cara yang ditempuh oleh Imam asy-Syafii. Menurut asy-Syafii, kedua ayat itu tidak bertentangan. Jika ayat pertama berkenaan dengan kafir mu‘âhid (kaum kafir yang terikat perjanjian dengan Negara Islam), ayat kedua tentang kafir dzimmi (kaum kafir yang menjadi warga Daulah Khilafah).7Pendapat senada disampaikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Menurut an-Nabhani, ayat pertama berkaitan dengan kaum kafir yang hidup di luar wilayah Negara Islam, yakni jika ada di antara sesama kaum kafir tersebut terlibat perselisihan dan meminta Negara Islam untuk memutuskan perkara di antara mereka. Dalam hal ini, kaum Muslim berhak memilih antara memutuskan hukum atau berpaling darinya. Kesimpulan ini didasarkan pada sabab nuzûl ayat ini yang berkait dengan kaum Yahudi di Madinah yang datang kepada Nabi saw. meminta keputusan hukum. Mereka adalah sebuah kabilah,  yang dapat dianggap sebagai negara lain.8

Adapun ayat kedua berkaitan dengan kaum kafir yang tunduk kepada Pemerintahan Islam dengan menjadi kafir dzimmi, musta’min (meminta perlindungan), atau orang kafir secara sukarela masuk ke wilayah Negara Islam untuk menjadi mu‘âhid dan musta’min.9 Tampaknya, pendapat inilah yang râjih (kuat).

Patut dicatat, meskipun para mufassir dan fukaha berbeda pendapat tentang ada-tidaknya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat itu, mereka tidak berbeda pendapat akan wajibnya penerapan hukum syariah terhadap non-Muslim.

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa lâ tattabi‘ ahwâ’ahum (dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka). Kata al-hawâ, sekalipun kadang-kadang digunakan untuk sesuatu yang terikat dengan kebaikan, pada galibnya digunakan untuk sesuatu yang di dalamnya tidak ada kebaikan.10 Jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini, hawa nafsu yang dimaksudkan memang mengandung makna negatif. Karena itu, frasa ini dapat dipahami sebagai penegasan terhadap perintah sebelumnya. Ath-Thabari menyatakan, “Ini merupakan larangan Allah kepada Nabi Muhammad saw dari mengikuti hawa nafsu kaum Yahudi yang meminta keputusan hukum kepada beliau dalam kasus orang-orang terbunuh dan fasik mereka, sekaligus perintah tetap konsisten dengan Kitab yang diturunkan Allah kepada beliau.11

Selanjutnya Allah berfirman: wahdzarhum an yaftinûka ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu).

Menurut Ibnu Abbas12 dan Abu Ubaidah,13yang dimaksud dengan yaftinûka (memfitnah kamu) adalah mengembalikanmu pada hawa nafsu mereka. Sebab, setiap orang yang terpalingkan dari kebenaran pada kebatilan berarti telah terfitnah.

Frasa ini memberikan peringatan terhadap kaum Muslim untuk berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang berkeinginan memalingkan mereka dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada mereka. Dalam ayat ini disebutkan: ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dari sebagian yang diturunkan Allah kepadamu). Jika berpaling dari sebagian saja tidak boleh, apalagi semua. Oleh karenanya, menurut al-Jashshah dan az-Zuhaili, kata al-ba‘dh (sebagian) bermakna al-kull (keseluruhan). Dengan demikian, frasa tersebut bermakna: ‘an kulli mâ anzalaLlâh ilayka (dari seluruh wahyu yang telah Allah turunkan).14

Allah Swt. mengingatkan: Fa in tawallaw fa‘lam annamâ yurîdullâh an yushîbahum bi ba‘dhi dzunûbihim (jika mereka berpaling [dari hukum yang telah diturunkan Allah] maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak akan menimpakan musibah atas mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka).

Makna kata tawallaw adalah sikap berpaling dari hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw. dan justru menginginkan hukum lainnya.15 Menurut al-Alusi dan al-Wahidi an-Naysaburi maknanya lebih luas, yaitu berpaling dari keimanan dan berhukum dengan al-Quran.16

Dalam frasa ini ditegaskan, mengabaikan hukum Nabi saw. dan berpaling darinya menjadi sebab ditimpakannya musibah di dunia.17 Disegerakannya azab di dunia itu karena pembangkangan mereka yang melakukan sebagian dosa.18  Menurut Sulaiman al-Ajili, jika dalam ayat ini disebutkan bi ba‘dhi dzunûbihim, karena memang hukuman yang diberikan kepada mereka di dunia hanya pada sebagian dosa, seperti pembunuhan, penawanan, atau pengusiran. Adapun hukuman atas keseluruhan dosa ditimpakan di akhirat kelak.19

Menurut Ibnu Mas‘ud, makna bi ba‘dhi dzunûbihim (disebabkan sebahagian dosa mereka) adalah dosa berpalingnya mereka dari hukum Allah Swt. Hal itu untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai banyak dosa, namun dari semua dosa itu ada yang amat besar. Secara tersirat, ungkapan ini menunjukkan besarnya dosa berpaling dari hukum-Nya.20

Allah Swt. menutup ayat dengan firman-Nya: Wa inna katsîran min al-nâs lafâsiqûn (dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik). Frasa ini menunjukkan, tindakan berpaling dari hukum Allah Swt. dapat dikategorikan sebagai fisq,21orangnya disebut fâsiq. Kata fasiq dapat dimaknai sebagai orang yang keluar dari ketaatan.22

Dalam frasa ini diberitakan, sebagian besar manusia tergolong sebagai kaum fasik. Kenyataan ini banyak diungkap dalam al-Quran (Lihat, misalnya: QS Yusuf [10]: 103; QS al-An‘am [6]: 116).

Beberapa Pelajaran

Ayat ini berbicara tentang penerapan syariah di tengah-tengah kehidupan. Ada beberapa hal penting yang bisa dicatat:

Pertama: wajibnya penerapan syariah. Syariah itu wajib diterapkan tidak hanya kepada kaum Muslim, namun juga kepada kaum kafir. Asal mereka menjadi warga Daulah Khilafah, syariah wajib diterapkan atas mereka. Memang, ada beberapa perkara yang dibedakan di antara mereka, namun perbedaan hukum itu memerlukan dalil khusus yang mengecualikannya.

Syariah yang wajib diterapkan juga harus total. Peringatan kepada Nabi saw agar berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang memalingkan Beliau dari  sebagian hukum yang diturunkan-Nya menunjukkan makna demikian.

Kedua: akibat berpaling dari syariah. Ayat ini memberikan ancaman keras kepada setiap orang yang menolak syariah-Nya. Ancaman itu berupa adanya musibah yang ditimpakan kepada pelakunya. Musibah itu tidak hanya akan diterima di akhirat kelak, namun juga di dunia. Hukuman di dunia ini seharusnya membukakan mata mereka, bahwa menolak syariah hanya akan menyebabkan kesengsaraan manusia. Semestinya hal itu membukakan mata mereka yang menolak syariah.

Ketiga: kebenaran tidak selalu sejalan dengan suara terbanyak. Bahkan ayat ini menyebut sebagian besar manusia terkategori fasik. Oleh sebab itu, wajar hukum yang wajib diterapkan adalah yang berasal dari-Nya, yang pasti dijamin kebenarannya, bukan hukum buatan manusia.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

Catatan kaki:

  1. As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/513-512 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990); al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/614 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, II/51-52 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).

  2. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, II/87. (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997).

  3. Al-Biqai, Nazhm al-Durar, II/479. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).

  4. Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003); al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/621 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Qinuji, Fath al-Bayân  fî Maqâshid al-Qur’ân, III/446 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988).

  5. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, IV/613; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, III/512 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, III/446 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989); al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, II/195 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).

  6. Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, II/61 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, 1/236 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); Nidzamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601, 1992 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/609; Abu Hayyan al-Andalusi, Abu Hayyan al-Andalusi Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, III/515; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth, II/195; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/514.

  7. Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/520 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 216-217; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr al-Wâdhîh (tt: Dar al-Tasir, 1992).

  8. Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/232 ( Beirut: Dar al-Ummah, 2003).

  9. An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/232.

  10. Ibu ‘Athiyyah al-Andalusi, Al-Muharrar al-Wajîz, II/202 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).

  11. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, IV/612 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992).

  12. Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, XII/13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990); Nidzamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601.

  13. Al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth, II/196.

  14. Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/621; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/218; Pendapat ini juga disitir Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, II/137 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).

  15. Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf,  1/627 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, IV/159 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).

  16. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, II/35 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth, 196.

  17. Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/221; al-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, 1/442 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).

  18. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, II/35.

  19. Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250.

  20. Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250; Ungkapan senada juga disampaikan al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf,  1/627; al-Qinuji, Fath al-Bayân , III/446.

  21. Nizhamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601.

  22. As-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, 1/442.

6 comments

  1. ada lagi,..
    Meskipun “tidak bertentangan” dengan syariah islam, tapi kalau tidak berasal dari apa yang diturunkan oleh Allah, maka tetap haram untuk berhukum dengannya. Karena kita hanya diperintah untuk berhukum kepada apa yang diturunkan Allah

  2. Mohon dijelaskan sdr titok, apa contoh yang “tidak bertentangan” dengan syariah islam, tapi tetep diharamkan…
    Misalnya Undang-undang Lalu Lintas yg tidak bertentangan dengan syariah islam, lampu merah harus berhenti, lampu hijau boleh jalan, dst. Apakah haram?
    UU Pendidikan, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, dst. Apakah haram?
    “Karena kita hanya diperintah untuk berhukum kepada apa yang diturunkan Allah”… (titok)
    Apakah Islam hanya mengenal 1 sumber hukum? Al-Qur’an?
    Setau saya, sumber hukum ada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
    Hukum (peraturan) di bawahnya, bisa “digali” dari sumber hukum ini.
    Wallahu a’lam.

  3. afwan, Maksud saya haram mengambil hukum yang tidak diturunkan oleh Allah adalah: “haram mengambil hukum yang tidak bersumber dari aqidah islam. contoh berhukum pada sesuatu yang tidak lahir dari aqidah islam adalah, misalnya di Indonesia berlaku hukum bahwa siapa saja yang membunuh akan dibalas bunuh. Hanya saja, prinsip yang melandasi hukum balas ini hanya sekedar “rasa keadilan”, bukan atas dasar hukum syara’. Maka, hukum balas yang diterapkan di Indonesia itu tidak bisa dianggap sebagai hukum syara’ (qishosh). Ini masih terkategori “tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah”.

  4. Terima kasih penjelasan sdr Titok.
    Berarti contoh2 yg sudah saya sebutkan di atas bisa haram, jika aturan-aturan tersebut dilandasi “rasa ketertiban” dan “pemenuhan kemakmuran”, bukan atas dasar hukum syara’?
    Saya pernah membaca, bahwa adat setempat dapat diambil sebagai hukum, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Bagaimana ini?

  5. Janggut_naga83 / Iman

    Assalamu`alaikum Wr Wb seluruh Umat Islam dunia.
    Just Reminding aja!
    Hendaklah apa2 yang kita kemukakan semata Ikhlas karena Allah, jangan membuat pernyataan yang ilmu kita atau pemahaman kita hanya sedikit tentang hal itu dikarenakan bisa menyesatkan umat dan membuat kegelisahan,jangan dulu menafsirkan secara pribadi kalau dasar Al-qur`an dan Al`Hadist serta ijtihad Ulama (bukan ulama sekarang dikarenakan tidak sembarang orang bisa berijtihad)masih ada dasar hukumnya. tetapi bukan pula pintu ijtihad di tutup hanya ditekankan di disini adalah untuk menjadi seorang mujtahid ada persyaratan tertentu.
    Dalam kasus ini Hukum baru merupakan Bid’ah tetapi dalam hal duniawi.
    Bid`ah dalam hal duniawi diperbolehkan dalam Islam selama tidak bertentangan dengan syariah. dalam kasus ini, Bid`ah adalah sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya atau baru diperbuat.pengertian lughawi ‘etimologis’, bukan dengan pengertian terminologis syariat “tindakan mengada-ada dalam beragama”. (Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu) Al-Maidah ayat5. Perkara Ibadah itu pasti tidak dukurangi atau ditambah dikarenakan Allah telah menjamin kesempurnaannya, sedangkan hal dunia lugas artinya bisa dikembangkan demi kemaslahatan umat dan tidak melanggar Hukum Islam!
    Wallaahualam bisshawab!

  6. terimakasih ilmunya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*