“Pasca PD II sebagian besar dunia memandang AS sebagai pembebas dari tirani. Sekarang AS justru dipandang sebagai penindas yang haus akan minyak dan kekuasaan.” (Suzanne Nossel, Foreign Affairs edisi musim semi 2004).
Hizbut Tahrir Inggris baru-baru ini mengeluarkan sebuah report (laporan) yang sangat menarik tentang Irak berjudul, “Irak; A New Way Forward,” Report tersebut memberikan solusi penyelesaian masalah Irak yang hingga kini situasinya semakin memburuk. Report ini dimulai dengan gugatan terhadap pembenaran AS untuk menduduki Irak, yakni ambisi AS untuk melakukan reformasi terhadap Dunia Islam. Sebagaimana diketahui, kalangan neo-konservatif percaya tentang pentingnya Irak menjadi pintu reformasi Dunia Islam. Keberhasilan demokratisasi di Irak—seperti efek domino—akan mempengaruhi negara-negara sekitarnya. Kelompok neo-konservatif mendasarkan keyakinannya dengan menyebut pengalaman Jerman dan Jepang Pasca PD (Perang Dunia) II serta jatuhnya Uni Soviet sebagai contoh.
Analogi dengan menggunakan Jerman dan Jepang adalah keliru. Sebab, ada perbedaan mendasar kondisi dunia pasca PD II dengan sekarang. Pasca PD II hampir sebagian besar dunia memandang AS sebagai pembebas (liberator). Sekarang justru sebaliknya. Sebagian besar dunia menganggap AS sebagai penindas. Suzanne Nossel menulis dalam Foreign Affairs edisi musim semi 2004, “Pasca PD II sebagian besar dunia memandang AS sebagai pembebas dari tirani, sekarang AS justru dipandang sebagai penindas yang haus akan minyak dan kekuasaan.”
Sama kelirunya dengan analogi kejatuhan Uni Soviet. Pada masa itu, rakyat Uni Soviet dan negara-negara satelitnya memandang Barat sebagai pemberi kebebasan dan kesempatan ekonomi. Blok Kapitalis telah berhasil menarik hati dan pikiran rakyat negara-negara komunis. Sebaliknya, persepsi Dunia Islam malah berbalik 180 derajat. Kecenderungan kebencian Dunia Islam terhadap AS justru semakin meningkat akibat kebijakan AS di Dunia Islam yang brutal dan menindas.
Kredibilitas AS pun semakin hancur ketika dunia melihat nilai-nilai liberal yang hendak dikampanyekan di Dunia Islam banyak dilanggar justru oleh negara-negara yang mengklaim dirinya demokratis. Will Hutton, seorang komentator politik Inggris menyatakan pada 2004, “Lebih dari dua tahun setelah Peristiwa 11 September nilai-nilai dan keyakinan Barat yang selama ini kita junjung malah kita tinggalkan. Kesetaraan di hadapan hukum, asas praduga tak bersalah dan hak mendapat peradilan yang adil, semuanya telah kita kesampingkan; kita merusak peradaban kita sendiri.”
Langkah Membebaskan Irak
Dalam bagian lain, report ini juga memberikan langkah-langkah praktis untuk menyelesaikan persoalan Irak. Persoalan sesungguhnya di Irak adalah pendudukan (occupation) yang dilakukan oleh AS. Karena itu, solusinya adalah AS dan sekutunya harus keluar dari Irak dan negeri-negeri Islam lainnya. Inilah yang akan menyelesaikan krisis di Irak, Timur Tengah, Afganistan dan negeri-negeri lainnya. Karena itu, beberapa langkah yang harus dilakukan adalah:
Pertama: semua personel militer asing yang ada di Irak, Afganistan, Kuwait, dan daerah lainnya harus diminta untuk meninggalkan kawasan itu oleh negara mereka masing-masing. Politisi di AS dan Inggris selama ini percaya bahwa pendudukan mereka di dunia Muslim mendapat dukungan rakyat (popular legitimacy). Namun, pada faktanya, dalam sebuah jejak pendapat yang dilakukan The Baker-Hamilton terbukti bahwa 61 persen rakyat Irak menganggap serangan terhadap militer Amerika dan Inggris adalah baik.
Kedua: Barat harus menghentikan dukungan materi terhadap para pemimpin diktator di kawasan itu. AS, Inggris, dan Eropa seharusnya menyadari, bahwa kegagalan mereka menghentikan dukungan militer dan politik kepada para diktator akan menyebabkan hubungan yang tidak nyaman antara Muslim dan Barat. Dukungan terhadap pemimpin diktator di negeri Islam akan menyulitkan Barat untuk berargumentasi bahwa mereka tidak bersikap standar ganda. Di satu sisi mereka mengkampanyekan demokrasi; di sisi lain mereka justru mendukung para pemimpin diktator yang memenjarakan, menyiksa dan membunuh puluhan ribu umat Islam.
Ketiga: Dunia Islam harus diberi keleluasaan untuk menentukan tujuan politik mereka sendiri tanpa intervensi. Ide bahwa sistem sekular Barat adalah universal merupakan mitos yang tidak bisa dijadikan pembenaran untuk memaksakan sistem itu ke Dunia Islam. Pendekatan Hendry Ford di Timur Tengah dengan prinsip “Kamu bisa memiliki sistem politik apapun sepanjang itu sesuai dengan nilai-nilai Barat” telah gagal. Apalagi di kalangan Barat sendiri telah banyak kritikan terhadap sistem demokrasi. Perang Irak, Afganistan, dan kebrutalan di penjara Abu Ghraib dan Guantamo telah membuat banyak Muslim mempertanyakan otoritas moral Barat.
Memaksakan sistem sekular Barat terhadap Dunia Islam—seakan-akan dunia Islam merupakan dunia terkebelakang—merupakan bagian dari mental penjajah yang kronis. Padahal Dunia Islam telah terbukti selama 14 abad merupakan peradaban yang unggul, maju, dan kaya; dengan sistem yang berasal dari ideologi mereka sindiri, yakni ideologi Islam. Memaksan sistem liberal jelas bertentangan dengan keinginan rakyat Muslim sendiri yang semakin menginginkan syariah Islam sebagai satu-satunya sumber hukum. Keinginan itu tampak dari jejak pendapat yang dilakukan oleh Gallup yang menemukan bahwa masyarakat Mesir, Pakistan, Yordania dan Bangladesh ingin diatur oleh syariah Islam.
Keempat: sumber-sumber kekayaan alam yang jumlahnya banyak harus digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat; bukan ujntuk keluarga kerajaan, elite tertentu, dan perusahaan multinasional Barat.
Kelima: untuk stabilitas jangka panjang di kawasan Timur Tengah, aneksasi Israel tahun 1948 tidak boleh diakui. Meskipun demikian, hak Yahudi, Kristen, Muslim dan yang lainnya tetap wajib dilindungi.
Selama ini banyak pihak yang mengakui, krisis di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari penjajahan Israel di Palestina yang bukan hanya ilegal tetapi juga telah menghancurkan kehidupan, harta, dan tanah masyarakat Palestina. Sistem Islam juga telah menjamin perlindungan terhadap hak-hak berbagai kelompok baik dari Kristen Yahudi maupun Muslim. Mitos bahwa Yahudi dan Muslim tidak bisa hidup bersama adalah mitos yang terbantahkan. Di bawah naungan Khilafah Islam, sejarah membuktikan bagaimana mereka hidup bersama di Palestina, Andalusia. Di era Khilafah Ustmaniyah, Khilafah banyak memberikan perlindungan terhadap kelompok Yahudi yang menyelamatkan diri dari inkuisisi setelah pemerintah Islam runtuh di Spanyol.
Keenam: serangan terhadap sasaran sipil yang tidak bersenjata bukan saja tidak boleh dibenarkan kalau dilakukan oleh individu, tetapi juga oleh negara
Mitos Konflik Sunni-Syiah
Sejauh ini masyarakat Irak yang multietnik dan terdiri dari berbagai kelompok hidup damai di bawah Khilafah Islam sampai kemudian Inggris melakukan invasi pada 1917. Sejak saat itu hingga kini, Irak terus dilanda masalah sebagai akibat dari penjajahan dan intervensi asing.
Karena itu, konflik Sunni dan Syiah yang terjadi saat ini merupakan hal yang patut dipertanyaan penyebabnya. Memang, selama ini dalam beberapa hal ada perbedaan pemahaman Islam antara Sunni dan Syiah. Namun, perbedaan itu tidak berkembang menjadi pertikaian horisontal yang saling membunuh. Justru, konflik ini berkembang ketika AS datang menduduki Irak. Wajar kemudian, banyak pihak yang mengatakan konflik ini merupakan rekayasa penjajah untuk memecah perlawanan rakyat Irak.
Bukanlah kebetulan kalau strategi untuk memecah-belah Sunni dan Syiah ini juga merupakan rekomendasi A RAND Corporation pada report yang dipublikasikan tahun 2004 dengan judul, “US Strategy in The Muslim World After 9/11”. Report ini secara eksplisit menganjurkan untuk mengekploitasi perbedaan Sunni dan Syiah demi kepentingan AS di kawasan ini.
Mitos bahwa Sunni dan Syiah tidak bisa berkerjasama adalah salah besar. Ketika melawan penjajahan Inggris terutama antara tahun 1918-1919, ada tiga gerakan perlawanan yang saling berkerjasama. Di Najaf terdapat Jam‘iyah an-Nahdhah al-Islamiyah dan Jam‘iyah al-Wathaniyah al-Islamiyah. Di Baghdad koalisi Sunni-Syiah membentuk Haras al-Istiqlal (Garda Kemerdekaan). Sebagai tambahan, Revolusi Irak yang terjadi pada tahun 1920—yang disebut oleh Inggris sebagai pemberontakan—merupakan perlawanan jihad yang digerakkan oleh Sunni maupun Syiah berdasarkan fatwa Imam Shirazi, ulama besar Karbala.
Jadi, bukan konflik Sunni-Syiah yang menjadi penyebab krisis Irak. Pendapat senada disampaikan oleh Ezzat Kamil Muslim. Menurutnya, konflik berkepanjangan yang terjadi di Irak pasca jatuhnya Saddam Hussein bukan disebabkan adanya perbedaan kelompok Sunni-Syiah, namun akibat adanya pengiriman tentara Amerika ke kawasan Irak. “Siapapun tidak ingin negaranya dijaga oleh pasukan asing,” ujar Sekjen OKI Ezzat Kamil Muslim saat ditemui sebelum pembukaan Konferensi Internasional Pemimpin Umat Islam, di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat, Selasa (03/4).
“Kami yakin, di Irak yang terjadi bukanlah problem mazhab Sunni-Syiah. Ketika AS datang ukhuwah yang ada semuanya hilang,” ujarnya ditemui di sela-sela Konferensi Internasional Para Pemimpin Umat Islam, di Istana
Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/3).
Pendapat ini didukung oleh ulama Syiah Mehdi Taskiri—dalam acara yang sama—yang menegaskan, bahwa keberadaan AS di Irak seperti virus yang mematikan. AS senantiasa menakuti-nakuti Dunia Islam dengan mengatakan akan terjadi perang antara Sunni-Syiah. Namun, itu hanya bagian dari taktik mereka saja. Ketika telah terjadi perang, mereka memberikan berbagai ide sebagai solusi untuk menyelesaikan perang yang diciptakannya.
Ketiadaan Khilafah dan penjajahan asinglah yang merupakan akar berbagai krisis di Timur Tengah saat ini. Secara tepat hal ini disimpulkan oleh David Fromkin dalam A Peace to End All Peace, “Pembagian bekas Kekaisaran Ottoman (Khilafah Utsmani, red.) setelah Perang Dunia I menjadi biang ketidakpastian politik dan kemelut di Irak modern dan seluruh Timur Tengah dalam setengah abad belakang ini.”
Jadi jelas, solusinya adalah menegakkan kembali Khilafah Islam. [Farid Wadjdi]