HTI

Iqtishadiyah

Pembiayaan Pendidikan dalam Islam

Pendahuluan

“Orang miskin dilarang sekolah!” Demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara) tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Perguruan tinggi BHMN harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan Pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neo-liberalisme. Sebagai salah satu varian Kapitalisme—seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi Pemerintah—neo-liberalisme justru sebaliknya. Neo-liberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neo-liberalisme global semakin melengkapi kegagalan Pemerintah sekular saat ini.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Beda dengan neo-liberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm. 12).

Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu. (HR Muslim).

Setelah Perang Badar, sebagian tawanan musush yang tidak sanggup menebus pembebasannya diharuskan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijmak Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan  pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah an-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non-formal yang juga gratis atau murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur  (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat ini

Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8/1/2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neo-liberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber:

  1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).

  2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).

  3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp  40 triliun)

  4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan Pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan Pemerintah yang bobrok dan korup.

Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya; bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir. [KH M. Shiddiq Al-Jawi]

Daftar Pustaka

  1. Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah Al-Mutsla. (Hizbut Tahrir: t.p.), 1963.

  2. Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today). Penerjemah Ali Noerzaman. (Yogyakarta: Penerbit Qalam), 2004.

  3. Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah al-Utsmaniyah ‘Awâmil an-Nuhûdh wa Asbâb as-Suqûth), Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), 2004.

  4. An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm. (Beirut: Darul Ummah), 1990.

  5. Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics. (New Delhi: Goodword Books), 2002.

  6. Karim, Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta : IIIT), 2001

  7. Khalid, Abdurrahman Muhammad, Soal Jawab Seputar Gerakan Islam. (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 1994.

  8. Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siyâsah al-Mâliyah li ‘Umar bin al-Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh. (Jakarta: Pstaka Azzam), 2002.

  9. Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf al-Islâmi Tathawwuruhu Idâratuhu Tanmiyatuhu). Penerjemah Muhyiddin Mas Rida. (Jakarta: Khalifa), 2005.  

  10. Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1, Penerjemah Soeroyo & Nastangin. (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995.

  11. Yurino, Ari, “Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya Pendidikan Bangsa”, http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3.

  12. Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. (Beirut: Darul ‘Ilmi lil Malayin), 1983.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*