“Pendidikan adalah Tugas Negara yang paling Penting.” (Edgar Faure, Ketua The Internasional Comission for Education Development).
Menarik kritik Amien Rais dalam Cakrawala Islam (1999) tentang Kapitalisme. Menurutnya, Secara teoretis Kapitalisme memberikan kesempatan sama (equality of opportunity) kepada setiap anggota masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, ia bersifat diskriminatif, bahkan rasis.
Diskriminasi ini wajar saja terjadi, karena ideologi ini menjadikan kepemilikan modal sebagai panglima dalam kehidupan. Atas nama kebebasan kepemilikan modal, siapapun bisa membeli apa saja dan menguasainya. Asal punya uang, Anda bisa membeli apapun. Kalau itu sebatas rumah, mobil, tentu tidak begitu mengkhawatirkan. Namun, kalau berkaitan dengan kepemilikan umum seperti air, listrik, hutan, minyak, dan tambang emas, jelas sangat berbahaya. Penguasaan swasta terhadap air akan membuat rakyat kecil sulit mendapat air. Penguasaan minyak dan tambang emas oleh swasta menyebabkan eksploitasi kekayaan alam oleh sekelompok orang dengan mengorbankan rakyat.
Diskriminasi juga terjadi dalam pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik ditentukan oleh kekuatan modal. Yang punya uang akan mendapat pelayanan transportasi yang baik, ber-AC, tepat waktu, dan dilayani full senyum. Yang miskin terpaksa rela berdesak-desakan, bahkan berdiri saja susah, dan jangan harap dilayani dengan senyum.
Kalau sakit, yang kaya akan akan mendapat pelayanan medis secara optimal. Sebaliknya, yang miskin sering harus menangguhkan pergi ke rumah sakit, mengingat biaya yang mahal. Kalaupun terpaksa ke rumah sakit, yang miskin akan mendapat pelayanan asal-asalan.
Ironi yang sama terjadi di dunia pendidikan. Kualitas pendidikan rakyat ditentukan oleh kekuatan modal. Yang punya uang bisa masuk sekolah unggulan dengan kualitas pendidikan optimal; sarananya juga serba lengkap (mulai dari komputer berikut fasilitas internet, perpustakaan, laboratorium, hingga gedung yang full AC). Yang tidak punya uang harus siap-siap dengan mutu pendidikan yang serba kurang. Jangan mimpi untuk bisa bersekolah tinggi. Makin tinggi sekolah, makin mahal biayanya. Padahal bagi yang miskin, jangankan pendidikan yang mahal, untuk makan saja susah.
Diskriminasi pendidikan pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial. Orang kaya dengan pendidikan yang bagus tentu memiki peluang kerja yang lebih baik dengan penghasilan yang tinggi. Sebaliknya, yang miskin, karena SDM-nya kurang baik, akan lebih sulit mencari pekerjaan dengan gaji yang layak. Jadilah di tengah masyarakat muncul polarisasi antara mereka yang miskin dan yang kaya. Kesenjangan ini akan menjadi potensi konflik sosial yang tinggi.
Pendidikan yang diskriminatif ini juga akan memperlemah negara. Negara akan gagal menciptakan generasi muda yang berkepribadian dan berkualitas.
Meski sudah jelas bahaya dari sistem kapitalis ini, Indonesia malah mengadopsinya. Hal itu tampak jelas dalam berbagai bidang. Privatisasi, pengurangan subsidi, utang luar negeri, sampai eksploitasi kekayaan alam atas nama investasi menjadi kebijakan Pemerintah. Pemerintah tidak peduli betapa menderitanya rakyat akibat kebijakan itu. Bahkan meski sudah banyak yang mengingatkan bahwa kenaikan BBM akan menyengsarakan rakyat, tetap saja kebijakan itu diambil Pemerintah.
Di bidang pendidikan, negara makin lepas tangan. Ini jelas ciri khas negara kapitalis; negara hanya jadi regulator. Peralihan status perguruan tinggi menjadi BHMN merupakan bentuk transisi untuk menjadikan perguruan tinggi layaknya sebuah PT (perseroan terbatas). Dampak langsung dari perubahan status ini adalah kenaikan biaya pendidikan dan komersialisasi kampus. Urusan kualitas calon mahasiswa tidak terlampau penting. Semua ini semakin dikokohkan dengan RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang sedang digodok oleh Pemerintah dan DPR.
Yang paling menyedihkan, Indonesia sepertinya menjadi lebih kapitalis dari pada negara kapitalis sendiri. Di negara-negara maju bidang pertanian masih disubsidi. Indonesia malah berupaya keras menghilangkan subsidi untuk petani. Di AS ada tunjangan bagi yang miskin. Di Indonesia malah negara makin memiskinkan rakyatnya. Negara-negara kapitalis seperti Jerman dan negara-negara Skandinavia mengetahui bahaya diskriminasi pendidikan. Tidak aneh, di negara itu pendidikan murah, bahkan gratis.
Walhasil, Kapitalisme harus segera ditinggalkan, dan kita segara kembali ke sistem Islam. Ketika umat Islam diatur berdasarkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah Islam, umat Islam mengalami masa keemasan pendidikannya. Pendidikan dalam Islam diselenggarakan dengan asas akidah Islam dalam penentuan kurikulum, pengelola dan pengajar serta kultur pendidikan. Tujuannya adalah untuk membentuk kepribadian Islam yang menguasai tsaqâfah Islam serta sains dan teknologi. Sarana dan biayanya menjadi tanggung jawab negara.
Sistem pendidikan seperti itulah yang menghasilkan manusia-manusia yang paham agama sekaligus menguasai sains dan teknologi. Sistem pendidikan ini telah melahirkan manusia-manusia seperti al-Kindi yang ahli optik, Ibnu Haitam pakar cahaya, atau al-Khawarizmi sang jagoan matematika dengan kitabnya yang termasyhur. Dunia kedokteran juga dihiasi dengan karya-karya intelektual Muslim seperti Ibnu Nails al-Qarshi, yang menjelaskan teori sirkulasi darah minor tiga abad sebelum William Harvey, dan Ibnu Sina yang mengarang qânûn tentang perawatan jantung.
Di bidang tsaqâfah Islam, tidak terhitung banyaknya ulama yang luar biasa. Ada Imam al-Bukhari yang hapal 100 ribu hadis sahih dan 200.000 hadis tidak sahih.
Negara Khilafah juga sangat memperhatikan masalah pendidikan ini. Di Bagdad berdiri Universitas al-Mustanshiriyah. Khalifah Hakam bin Abdurrahman an-Nashir mendirikan Universitas
[Farid Wadjdi]