HTI

Muhasabah (Al Waie)

Menolak Resolusi DK-PBB No.1747

Seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk Indonesia, telah menetapkan Resolusi DK-PBB nomor 1747 yang menambah sanksi terhadap Iran karena dianggap tidak mematuhi Resolusi nomor 1737, 23 Desember 2006. Resolusi 1737 berisi kewajiban Iran untuk menghenti-kan  upaya pengayaan uranium dalam rangka pengembangan nuklir. Iran menolak kewajiban itu dengan alasan, bahwa upaya itu dilakukan untuk kepentingan damai, karena sebagai negara penandatangan NPT (Non-Proliferation Treaty), Iran berhak untuk mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai.

Ketika saya bersama sejumlah aktivis Hizbut Tahrir mengikuti acara sosialisasi tersebut di LIPI pada hari Kamis, 28 April 2005, yang menghadirkan pembicara dari Deplu dan CSIS selain dari LIPI dan Kedubes Iran, saya mengatakan bahwa berdasarkan QS al-Anfal ayat 60, Iran berhak memiliki senjata nuklir. Namun, Dubes Iran yang berbicara pada sesi pertama maupun para atase dari Kedubes Iran yang mengawal forum tersebut bersikukuh bahwa program nuklir mereka adalah untuk listrik, teknologi pertanian, dan lain-lain, bukan untuk senjata.   

Resolusi tersebut memang aneh dan sangat tidak adil. Sebab, sejumlah negara di Asia seperti India, Pakistan, Korea Utara dan Israel yang bahkan telah mengembangkan senjata nuklir.  Bahkan Israel telah memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir dan toh dibiarkan saja!

Oleh karena itu, Forum Umat Islam (FUI) sebagai wadah koordinasi pimpinan dan aktivis ormas dan orpol Islam bersama Front Anti Imperialisme Amerika (FAIA) mendatangi pimpinan DPR pada tanggal  27 Maret 2007 untuk menolak Resolusi DK-PBB tersebut dan memprotes sikap Pemerintah dalam hal ini. Selain itu,  kepada Wakil Ketua DPR Sutarjo Suryoguritno, FUI menyampaikan bahwa Iran dan negeri Muslim lainnya berhak untuk mengembangkan program nuklir secara damai maupun untuk persenjataan yang dibolehkan oleh hukum syariah.  FUI juga menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk bersama-sama memprotes tindakan Pemerintah, sebagai pemimpin negeri Muslim terbesar, yang justru telah tunduk pada dominasi negara-negara Barat imperialis dan melepaskan diri dari hukum syariah dan ukhuwah islamiyah.

Entah dampak dari kedatangan FUI ke pimpinan DPR yang diekspos media atau karena pekanya isu nuklir Iran, seakan bola salju, penolakan atas resolusi DK-PBB nomor 1747 dan sikap Pemerintah atas resolusi tersebut terus menggelinding.  Para mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat di berbagai kota berdemonstrasi menolak sanksi PBB kepada Iran dan memprotes sikap Pemerintah yang dianggap memihak Amerika dan melupakan ukhuwah Islamiyah dengan Iran.  Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat kerjanya dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda (29/3) kecewa dengan sikap Pemerintah Indonesia yang menyetujui Resolusi 1747 DK PBB. Resolusi itu dinilai tidak seimbang dan adil bagi Iran serta tidak sesuai dengan aspirasi sebagian besar masyarakat Indonesia.  Interpelasi pun digulirkan oleh Komisi 1 dan disepakati seluruh fraksi, kecuali Partai Demokrat, partai Presiden SBY.  Bahkan jumlah anggota DPR yang menandatangi interpelasi semakin bertambah hingga lebih dari separuh; suatu rekor buat interpelasi.

Anggota Komisi I dari Fraksi PAN Abdillah Toha dalam rapat kerja Komisi I mengatakan, bahwa dukungan Pemerintah terhadap resolusi tersebut berpotensi menciptakan destabilisasi di dalam negeri, juga bisa menyebabkan radikalisasi kelompok-kelompok di dalam negeri yang justru sedang dimoderatkan oleh Pemerintah. Menurut Abdillah, destabilisasi dan radikalisasi di dalam negeri disebabkan tidak adanya sinkronisasi kebijakan politik luar negeri Indonesia dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat dekat dengan Iran sebagai sesama negara dengan rakyatnya mayoritas Muslim. 

Dalam masalah senjata nuklir ini ada dua hal yang perlu dijelaskan di sini.  Pertama:  penetapan NPT—bahwa yang berhak memiliki senjata nuklir terbatas hanya pada lima negara yang menang perang dalam Perang Dunia—adalah satu bentuk penjajahan (imperialisme).   Dengan menandatangani NPT umat Islam terikat dan terpaksa tidak mengembangkan nuklirnya untuk membangun persenjataan canggih.  Dalam praktik, negara-negara Muslim, seperti Iran, senantiasa dalam pengawasan dan penindasan oleh kebijakan dan apa saja yang dieksploitasi dari kebijakan tersebut.  Implikasi lainnya, karena negara-negara Muslim tidak mempunyai senjata nuklir, negara-negara tersebut mudah dibujuk, ditekan, bahkan tidak mustahil diserang. Kebijakan AS menyerang Irak tidak mungkin mulus manakala Saddam tidak kehilangan instalasi nuklirnya di Kirkuk yang dibombardir Israel pada tahun 1979. Apakah ada jaminan jika Iran benar-benar tidak mengembangkan senjata nuklir AS dan Israel tidak menyerang Iran?

Oleh karena itu, NPT sebenarnya hanya instrumen kaum imperialis kafir untuk menguasai kaum Muslim. Ini jelas diharamkan oleh Allah (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 141).

Kedua: legalitas pemilikan senjata nuklir bagi kaum Muslim adalah didasarkan firman Allah Swt. (yang artinya): Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian serta orang orang selain mereka yang tidak kalian ketahui sedangkan Allah mengetahuinya. (QS al-Anfal [8]: 60).

Ayat tersebut berisi tentang kewajiban untuk menyiapkan kekuatan maksimal bagi umat Islam dalam rangka (wajh al-’illah) menakut-nakuti musuh umat dan musuh Allah yang telah nyata permusuhannya maupun yang masih laten. Intinya, wajib memiliki kekuatan persenjataan yang paling canggih, semisal senjata nuklir, atau kalau ada yang lebih canggih lagi. Rasulullah saw. sendiri selalu memperbaiki persenjataan angkatan bersenjata negaranya.  Beliau mengirim orang-orang khusus untuk mempelajari teknologi pembuatan pedang di Yaman.  Dalam Perang Hunain, misalnya, Beliau  menggunakan senjata mutakhir pada zamannya. Beliau menggunakan dabbabah, yaitu kayu gelondongan yang diberi roda untuk mendobrak  benteng. Beliau juga menggunakan senjata manjaniq, semacam pelontar ketepel yang besar yang diisi peluru batu sebesar kepala manusia.

Berdasarkan dua perkara di atas, sudah selayaknya Indonesia sebagai negara Muslim terbesar menolak Resolusi DK-PBB nomor 1747 tersebut dan mengundurkan diri sebagai anggota tidak tetap DK-PBB.  Kalau itu yang diambil, bolehlah Pemerintah bilang politik luar negeri Indonesia benar-benar bebas aktif. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb! 

One comment

  1. Hello! Good Site! Thanks you! oibgvujupi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*