HTI

Opini (Al Waie)

Opini Edisi 81 (Mei 2007)

Nasional atau International?

Abu Ibrahim

Aktifis Dakwah di CIDE (Center Islamic Dakwah and Education),
Station Street, Tempe. NSW- Australia.

Memahami kepopuleran kata nasionalisme adalah karena adanya penjajah yang mendominasi kuat pada suatu negeri yang dijajah sehingga masyarakat negeri tersebut bahu-membahau untuk mengusir si penjajah. Kata inilah yang mempersatukan masyarakat pada pihak negeri yang terjajah. Namun, ketika penjajah hengkang dari bumi jajahannya, mereka pun merasa terpuaskan oleh hasil yang didapati dari ide ini: berhasil mengusir penjajah.

Berangkat dari sinilah, sang tokoh merasa perlu untuk mempertahankan ide itu. Dibuatlah struktur negara yang baru merdeka itu dan sekaligus undang-undangnya, bahasa nasionalnya, peta teritorial negaranya, benderanya bahkan lagu kebangsaannya untuk menjaga eksistensi kemerdekaannya itu. Anehnya, penjajah yang sudah tidak lagi ada di bumi terjajah masih bisa mengatur pengurusan tetek-bengek dalam mengisi program dan persiapan itu. Padahal sang penjajah yang hengkang itu tidaklah pernah mengadopsi ide itu sejak awalnya, walaupun mereka sama-sama mempunyai negara. Ide mereka tetap idealis dan global.

Si penjajah tidak pernah disatukan oleh nasionalisme itu, tetapi oleh sebuah ideologi, yaitu “kapitalis” atau “sosialis”. Dalam hal ini antara negeri yang pernah dijajah dan negeri pejajah masih tetap berbeda, dan jauh tertinggal dalam kemajuan mengatur dunia. Bahkan secara tidak langsung hegemoni penjajah tetap dominan dan negeri yang dijajah tetap terjajah dan membebek.

Pertanyaannya sekarang, apakah kaum Muslim yang mempunyai ideologi sahih peninggalan Nabi saw. dan para Sahabatnya harus convert dengan dua ideologi buatan orang kafir itu? Artinya, apakah kaum Muslim telah siap menjadi penjajah seperti mereka yang tidak mengenal halal dan haram dalam segala aksinya? Bahkan seluruh kebijakan domestik dan foreign policy-nya hanya menggunakan satu alat, yaitu “manfaat”.

Memang, di seluruh negeri kaum Muslim para rezimnya sanggup mengadopsi salah satu dari dua ideolog tersebut. Namun, apakah pernah sukses jika suatu negara tidak didukung dari rakyatnya. Impossible! Sebab, Islam tidak menghalalkan adanya ide kufur dalam kehidupan kaum Muslim apalagi dominasi. Allah Swt. Berfirman (yang artinya): Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk mendominasi orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa [4]: 141).

Kapan lagi kita berani dan tidak malu-malu untuk mengatakan bahwa hanya akidah Islam satu-satunya asas dari sebuah negara dan hanya Khilafah satu-satunya sistim negara untuk dunia Internasional. Allâhu akbar!

Indahnya Persatuan Atas Dasar Islam

Dian Fadilah Hasibuan

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi-USU Jl Binjai km 10,5 Gg. Mesjid No. 12. Medan-Sumut 20352

Saya bukan orang yang berjiwa nasionalis”. Apa yang ada di pikiran kita tatkala dihadapkan pada argumentasi seperti di atas. Sebagian dari kita mungkin menganggap hal tersebut sebagai benih pemberontakan. Sejak jenjang sekolah dasar kita selalu dijejali betapa pentingnya menjadi seorang nasionalis sejati. Memiliki karakter cinta tanah air dan bangga dengan ‘keindonesia’-an yang melekat (atau dilekatkan) sedari lahir. Lalu timbul sebuah kebanggaan atas teritorial dimana bumi berpijak, melabelkan ‘nilai lebih’ pada etnis, klan/kekeluargaan tertentu. Adanya dominasi perasaan berupa kecintaan akan kekuasaan, terutama atas bangsa-bangsa lain, inilah hakikat dari benih nasionalisme.

Keberadaan nasionalisme sebagai perekat individu dalam komunitas masyarakat memiliki beberapa kecacatan. Pertama: dilihat dari alat picunya, yaitu kecenderungan untuk menguasai tampuk kepemimpinan atas bangsa lain sehingga dari sini akan muncul persaingan yang memicu terjadinya adu kekuatan antar manusia. Pada level yang lebih tinggi nasionalisme malah membidani lahirnya konflik. Terbukti dengan munculnya rasisme. Masyarakat Eropa masa lampau menggambarkan  terjadinya tindak aniaya yang dilakukan orang-orang kulit putih atas ras kulit hitam. Bahkan fasisme yang menggurita pada era Hitler, Mussolini dan teman-teman, tak pelak sebagai derivat dari api nasionalisme yang kian berkobar.

Kedua: nasionalisme tidak memiliki konsep untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan karena tidak ada jabaran detail bagaimana mengatur struktur sosial, politik, ekonomi secara praktis maupun konseptual.

Ketiga: yang menjadikan nasionalisme tidak layak dijadikan pengikat, tak lain dan tak bukan, karena berseberangan dengan ikatan yang ditawarkan oleh Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Abu Dawud bahwa Rasulullah  saw. pernah bersabda (yang artinya): Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyyah (nasionalisme/sukuisme), orang-orang yang berperang karena ashabiyyah serta orang-orang yang mati karena ashabiyyah.

Berbeda jauh dari realitas keberadaan ikatan ideologis (mabda’i). Ikatan ideologis merupakan ikatan permanen karena lahir dari keyakinan atas ide dasar yang digali dengan metode rasional (‘aqîdah ‘aqliyyah). Tentu tidak ada lagi hujjah bagi kita untuk menolak ikatan ideologi Islam. Ikatan model ini telah terbukti mampu menembus sendi-sendi bahasa, ras, warna kulit, kecintaan pada tanah air bahkan isu-isu yang provokatif. Terbukti dari tegaknya institusi Islam, Daulah Khilafah, yang meliputi dua pertiga dunia. Tidak ada ketakutan dari kalangan non-Muslim karena Islam memperlakukan mereka secara adil, tanpa ada unsur pembeda di hadapan hukum Islam. Inilah jenis perekat yang memanusiakan manusia.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*