HTI

Fokus (Al Waie)

Pendidikan Dalam Cengkeraman Kapitalisme Global

Potret Buram Pendidikan Indonesia

Terbunuhnya praja IPDN akibat pemukulan yang dilakukan seniornya makin mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Praja yang dididik untuk menjadi pengayom rakyat justru menampakkan wajah yang mengerikan; menjadi pembunuh. Ironisnya, ini bukan pertama kali terjadi. IPDN tidak sendiri. Bentrok antar mahasiswa juga kerap terjadi di kampus-kampus yang lain. Tawuran pelajar bahkan seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Berbagai kasus lain juga meningkat di kalangan pelajar kita seperti narkoba, seks bebas, aborsi sampai menjadi pelaku kriminal.

Kualitas pendidikan Indonesia juga menyedihkan. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki peringkat 110 dari 179 negara di dunia; hanya satu tingkat di atas Vietnam. Padahal kita tahu, Vietnam selama puluhan tahun mengalami perang saudara. Kita bahkan jauh di bawah Philipina, Thailand, apalagi Malaysia dan Singapura. Memalukan!

Dari sisi keahlian pun kita sangat jauh dibandingkan dengan negara lain. Dibandingkan dengan India, misalnya, kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. Prestasi India dalam teknologi dan pendidikan sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi oleh pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India yang menduduki posisi bergengsi di pasar kerja internasional. Sekitar 30 persen dokter di AS merupakan warga keturunan India. Tidak kurang dari 250 warga India mengisi 10 sekolah bisnis paling top di AS. Sekitar 40 persen pekerja Microsoft juga berasal dari India. (Kompas, 4/9/2004).

Sudah tidak bermutu, pengangguran di negeri ini juga terus meningkat. Kompas (22/9/2006),  mengutip data Badan Pusat Statistik,  menguraikan angka pengangguran lulusan universitas di Indonesia telah mencapai sekitar 385.000 orang pada tahun 2005. Dari kecenderungan yang ada, bukan mustahil angka tersebut  menembus 500.000 orang pada tahun 2007.

Potret buram di atas menggambarkan kondisi pendidikan kita yang menyedihkan. Pendidikan telah gagal mencetak anak didik yang  memiliki kepribadian yang khas, apalagi kepribadian islami, sangat jauh. Kemampuan sains dan teknologi mereka juga menyedihkan. Padahal dua perkara ini—kepribadian unggul serta penguasaan sains dan teknologi—merupakan perkara penting untuk membangun bangsa ini.

Kondisi di atas tidak bisa dilepaskan dari cengkeraman ideologi Kapitalisme yang semakin menguat di Indonesia. Kegagalan pendanaan pendidikan untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas merupakan dampak langsung dari krisis ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi disebabkan oleh kebijakan neo-liberal yang menguat. Sementara itu, kegagalan pembentukan kepribadian yang unggul, unik dan tangguh tidak lepas dari pengaruh sekularisme yang membuat anak didik semakin jauh dari agama. Cengkeraman Kapitalisme ini memunculkan dua ancaman besar bagi pendidikan kita: komersialisasi dan sekularisasi.

Ancaman Komersialisasi

Orang miskin dilarang sekolah! Mungkin itu yang terjadi tidak lama lagi di Indonesia. Pasalnya, sekolah semakin mahal. Untuk masuk sekolah dasar yang unggul saja, orangtua bisa menghabiskan uang jutaan rupiah. Memang, ada yang murah, tetapi jangan ditanya kualitasnya; tentu apa adanya. Inilah yang disebut diskriminasi dalam dunia pendidikan kita. Kalau punya uang bisa mendapat kualitas pendidikan yang baik, kalau tidak punya,  harus pasrah dengan kualitas pendidikan yang menyedihkan. Padahal seharusnya pendidikan berkualitas harus berlaku sama bagi siapa saja, punya uang atau tidak. Sebab, pendidikan berkualitas merupakan aset negeri dan bukan milik orang kaya saja.

Pengadopsian kebijakan kapitalis dalam dunia pendidikan memang semakin menguat. Dalam sistem kapitalis, peran negara diminimalisasi; negara hanya sebagai regulator. Peran swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah-istilah ‘luhur ‘ yang sebenarnya menipu, seperti otonomi sekolah, otonomi kampus, dewan sekolah; yang intinya negara lepas tangan terhadap dunia pendidikan. Akibatnya, sekolah dan kampus harus jungkir-balik mencari dana. Jalan pintas yang diambil sekolah adalah menaikkan biaya pendidikan. Jadilah pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau orang miskin. Untuk sekolah yang para orangtua muridnya dari kelas atas, mungkin tidak begitu masalah, sumbangan orangtua murid bisa membiayai sekolah. Tidak demikian dengan sekolah yang orangtua muridnya kelas bawah; alih-alih menyumbang untuk sekolah, untuk makan saja susah.

Ancaman komersialisasi menjadi kenyataan ketika perguruan tinggi berubah statusnya menjadi  PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diperkuat dengan RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Alasannya, memang kelihatannya bagus seperti meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Cirinya, peran negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Lagi-lagi yang muncul adalah masalah pendanaan. Perguruan Tinggi akhirnya harus banting tulang untuk mencari sumber pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang menaikkan biaya pendidikan. Hasilnya, pendidikan benar-benar komersialisasi.

Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja, IPB mendirikan Bogor Botanic Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntu tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil, biaya pendidikanlah yang naik.

Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini. Sebagai contoh, di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1,5 juta rupiah meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah.

Dana ini berupa SPP dan non-SPP. Kita bisa mengambil ITB sebagai contoh. Pada tahun 2007 ITB membutuhkan anggaran dana sebesar Rp 392 miliar. Dengan subsidi Pemerintah yang kecil, ITB harus mencari jalan keluar agar kebutuhannya terpenuhi. Lalu ITB menetapkan biaya SPP reguler (S1) untuk tahun ajaran 2007/2008 sebesar Rp 3,25 juta/semester. Bahkan Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan biaya sebesar Rp 625.000, 00/ SKS.

IPB juga menjadi bukti yang lain. Dalam RKAT (Rencana Anggaran dan Kegiatan Tahunan) 2005, IPB memerlukan biaya operasional sebesar Rp 292,99 miliar. Memang, tidak ada kenaikan SPP. Namun, IPB mencari sumber pendanaan lain melalui dana masyarakat non-SPP. Sumber dana masyarakat non-SPP yang diberlakukan IPB adalah sebagai berikut: penerimaan mahasiswa baru, biaya pengembangan institusi dan fasilitas, beasiswa, wisuda, bantuan, uang asrama, sewa fasilitas, kendaraan, uang parkir, pendapatan dari jasa giro, kerjasama penelitian dan pemberdayaan masyarakat.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban Pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya atau pun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Saat ini, status PT-BHMN memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran Pemerintah dalam sektor pendidikan. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8% (Kompas, 10/5/2005). Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang. Sebanyak 25% komponen APBN habis untuk membayar utang. Meskipun Presiden telah membubarkan CGI pada 24 Januari 2007, namun setidaknya 3 kreditor besar (World Bank, ADB, dan Jepang) tetap dipertahankan. Selama ini, cicilannya hampir Rp 50 triliun pertahun.

Ancaman Sekularisasi

Diakui atau tidak, sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan  sekular-materialistis. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang  jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Secara kelembagaan pun, perguruan tinggi dipisahkan antara perguruan tinggi agama seperti IAIN dan perguruan tinggi umum, seperti ITB, UI dan lain-lain.

Hal ini juga tampak dalam Bab X pasal 37 tentang kurikulum pendidikan tinggi yang wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa. Namun, pendidikan agama yang disediakan tidak proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya. Rata-rata pendidikan agama di PT diberikan sebanyak 2 jam pelajaran dengan muatan 3 SKS hanya dalam satu semester dari total perkuliahan selama ± 4 tahun. Lebih parah lagi, matakuliah agama dijadikan sebagai matakuliah pilihan, atau ditawarkan pada semester akhir (ITB), bahkan ditiadakan (Fak Kedokteran USU).

Memang, salah satu fungsi pendidikan adalah untuk mengokohkan sistem negara yang ada. Kalau negaranya sekular, sistem pendidikannya pastilah dirancang untuk mengokohkan sekularisasi itu. Ironisnya, Indonesia, meski mayoritas penduduknya beragama Islam, memilih sistem negara yang sekular. Jadilah kurikulum dibuat untuk mengokohkan sekularisme.

Tidak aneh, kalau sejak dini, kepada anak didik kita ditanamkan nilai-nilai sekularisme, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam pelajaran tertentu, diajarkan bahwa Indonesia adalah plural, terdiri dari berbagai suku bangsa, adat-istiadat, dan tradisi. Karena itu, tidak boleh dipaksakan satu ajaran agama dalam negara. Jadilah agama hanya sekadar moralitas dan ibadah ritual. Agama tidak boleh mengatur aspek publik seperti politik, ekonomi, atau pendidikan. Jelas hal ini merupakan penanaman nilai-nilai sekularisme, karena agama tidak boleh campur tangan dalam sektor publik.

Anak didik pun lebih banyak diajari tentang demokrasi, HAM, pluralisme yang merupakan ajaran pokok Kapitalisme. Dalam pelajaran tatanegara, anak didik kemudian lebih mengenal Jean Bodin, Thomas Hobbes, atau JJ Rousseau daripada para pemikir politik Islam. Sebab, yang diajarkan adalah tatanegara sekular, bukan tatanegara Islam. Sekularisme juga jelas tampak dalam pelajaran sosiologi. Dijelaskan, misalnya, bahwa yang dimaksud dengan sanksi agama adalah sanksi yang diberikan di akhirat; di dunia sanksi agama tidak ada. Hal yang jelas bertolak belakang dengan Islam yang mengajarkan negara harus memberikan sanksi terhadap para pelakukan kriminal, bukan di akhirat, tetapi di dunia ini.

Intervensi Asing

Menguatnya kapitalisasi pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan  dari sejarah kolonialisasi di Indonesia. Sejak awal, penjajah memang memformat sistem Indonesia menjadi sistem Kapitalisme, bukan sistem Islam. Dengan demikian, meskipun Indonesia merdeka, penjajahan tetap berlangsung. Penjajahan dilakukan lewat sistem sekular yang dijalankan oleh para pemimpin yang memang dididik oleh penjajah untuk mengokohkan sistem sekular ini.

Kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik tidak bisa dilepaskan dari peran intelektual yang dididik oleh Barat. Intelektual yang tergabung dalam mafia Berkeley, misalnya, menjadi perumus kebijakan ekonomi Indonesia yang kapitalistik. Dunia pendidikan juga  dirancang oleh intelektual yang dididik oleh Barat. Jadi, intervensi ini terjadi lewat sistem negara yang sekular dan para intelektualnya. 

Bahkan rancangan UU pun dibuat untuk kepentingan negara kapitalis. Muncullah UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal yang makin  mengokohkan Kapitalisme dan  membawa derita rakyat di Indonesia. Campur tangan asing dalam pembuatan undang-undang ini sangat nyata. ADB dan USAID, misalnya, secara terbuka dalam situsnya mengakui telah membantuan membuat RUU Minyak dan Gas yang sangat merugikan rakyat itu.

Intervensi itu pun nyata dalam dunia pendidikan. RUU-BHP (Badan Hukum Pendidikan)   direncanakan akan disahkan sebagai UU pada tahun 2010. Ini merupakan salah satu indikator proyek Dikti, Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (Loan) dari World Bank baik dari dana IBRD maupun dana dari IDA, dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Develeopment Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4.

Pada RUU-BHP pasal 6 tertulis, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWA-nya berwarga-negara Indonesia. Pasal ini mengindikasikan akan terjadi persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan intitusi-institusi asing. Sangat jelas bahwa Indonesia akan kalah karena secara finansial kemampuan Indonesia masih di bawah asing.

Asing bisa masuk melalui beberapa jalan seperti memberikan pinjaman, beasiswa, hibah, menanamkan mahasiswa asing di PT-BHMN serta melalui berbagai penelitian. Berbagai pinjaman sengaja dikucurkan agar kebijakan PT tersebut tunduk di bawah tekanan dan kemauan asing. Begitu pun dengan berbagai hibah seperti A2, A3, QUE, DUE, IMHERE dan lain-lain. Penguasaan asing terhadap PT menjadi lebih mudah dilakukan.

Pertukaran budaya dan pemberian beasiswa seperti Fullbright juga tidak lepas dari kepentingan asing khususnya AS. Jack Plano dalam The International Relation Dictionary (1982) menjelaskan, bahwa program ini dikembangkan oleh pemerintah AS sejak tahun 1946 untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain terhadap AS. Senada dengan itu, Joseph S Nye dalam Soft Power (2004), mengutip pernyataan mantan Menlu AS Collin Powel, menyatakan bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi ’diplomat’ AS kelak. [Farid Wadjdi] 

3 comments

  1. Abu Hudzaifah

    Assalamu’alaikum wrwb.
    Sistem Pendidikan Kapitalistik telah nyata membawa kerugian bagi umat. Hanya segelitir orang pemilik kapital yang menikmati fasilitas, sedangkan yang lain hanya mendapat serpihan-serpihan sisa dari mereka.
    Adapun jika ada program bantuan dan beasiswa dari mereka, itu adalah alat untuk mengokohkan penjajahan mereka atas umat.
    Wallahu a’lam bisShawab
    Wassalamu’alaikum wrwb.

  2. Yodie Indrawan

    Assalamualaikum wrwb.
    konsistensi dalam pelaksanaan anggaran pendidikan negara adalah salah satu solusi perbaikan dunia pendidikan indonesia
    Wassalamualaikum wrwb.

  3. Why don’t we be confident with self-education by activating “ngaji”. Let them (profs, doctors, experts)speak and be tired. They do not understand and certainly know what young moslem generation currently need in Islamic education system. Hi buddies, forget them and start our own system NOW !!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*